Tata Kelola Dunia

Mp-Abad modern dalam geopolitik biasanya digambarkan sebagai abad Tata Dunia Baru, atau New World Order. Seringkali ungkapan Tata Kelola Dunia ini berhimpitan dengan istilah multipolar (banyak kekuasaan), bipolar (berpusat pada dua kekuasan), unipolar (berpusat pada satu kekuasan), unilateralisme (satu kekuasaan-dalam ragam kekuasaan), dan dunia tanpa kutub (kekuasaan terbuka-tanpa identitas). Artikel berseri ini akan membahas klarifikasi istilah-istilah tersebut dalam prespektif Aleksandr Gelyevich Dugin-tercermin dalam bukunya, (The Theory of a Multipolar World).  Lahir 7 January 1962. Dipanggil Dugin. Seorang pemikir dan filsuf Rusia, ideolog neo-Eurasianism.Pengantar Tata Kelola Dunia

Sepanjang abad sekarang ini sering secara aktual di sebut multipolar, tetapi kadang-kadang juga disebut sebagai abad bipolar atau unipolar. Multipolaritas mengacu pada jumlah negara-negara besar dalam sistem Eropa dan tidak adanya bipolarisasi tipe Perang Dingin (cluster bipolarity).

Beberapa orang menggambarkan periode 1815–1853 sebagai periode bipolar, dimana Inggris dan Rusia sebagai negara adidaya di Eropa, terpisah dari negara-negara besar lainnya. Di bidang ekonomi-unipolaritas Inggris mendominasi hampir sepanjang abad ini.

Bipolaritas selanjutnya dipegang oleh USA versus USSR paska perang dunia kedua hingga 1991. Setelah USSR runtuh, USA pemegang unipolaritas dengan alat NATO dan Uni Eropa. Selanjutnya setelah pertumbuhan Ekonomi dunia yang digerakkan Cina melampai USA dan seiring perang Rusia dan Ukraina, kompatibilitas dan kepemimpinan unipolaritas USA dipertanyakan. Masing-masing negara besar, terutama diluar aliansi USA, seperti kelompok BRIC menawarkan konsep multipolar, yang saja tentu berbeda dengan konsep multilateralisme.

Multipolar dalam media

Multipolar adalah bahwa kekuasaan tidak didominasi oleh satu negara tetapi didistribusikan ke banyak negara. Istilah multipolar banyak di perbincangkan di media, oleh karena para jurnalis sering mengutip perkataan para pejabat negara dalam pertemuan-pertemuan regional dan internasional. Kemudian dari sana, istilah-istilah tersebut dibahas oleh para ilmuan dalam kajian ilmu Hubungan Internasioal, Geopolitik, Geostrategi, Kemanan, dan Pertahanan, dikupas dalam jurnal dan sesi-sesi diskusi ilmiah.

Sebagai contoh Pertemuan Tahunan Klub Diskusi Valdai ke-20, 2–5 Oktober 2023 mengambil judul besar “Multipolaritas yang Adil: Cara Menjamin Keamanan dan Pembangunan untuk Semua Orang” di Sochi, Rusia.  Dihadiri 140 ahli, politisi dan diplomat dari 42 negara di Eurasia, Afrika, Amerika Utara dan Selatan, mayoritas tamunya adalah peserta asing. Multipolaritas diperbincangkan oleh para ilmuan dan politisi. Termasuk salah satu pembicara utama, presiden Vladimir Putin yang juga berdiskusi dan menjawab pertanyaan hampir 3.5 jam.

Dalam beberapa tahun terakhir, laporan Valdai Club telah melakukan analisis secara rinci dinamika perubahan tatanan dunia-pertama membahas krisis, kemudian membongkar tata dunia baru yang sebenarnya lama. Sistem hubungan internasional yang telah runtuh. Konsep multipolaritas pun bermunculan. Tahun ini, para peserta mencoba menghasilkan gambaran tata dunia baru: misalnya, seperti apa konsep tata kelola dunia pada awal dekade berikutnya.

Ucapan Para Politisi USA

Aktor politik dan jurnalis berpengaruh berkali-kali menyebutkan “Tatanan Dunia Multipolar” dalam pidato dan tulisan mereka. Mantan Menteri Luar Negeri AS Madeleine Albright, termasuk orang pertama yang menyebut AS sebagai “negara yang sangat diperlukan”, mengumumkan pada tanggal 2 Februari 2000 bahwa AS tidak ingin “membangun dan menegakkan” dunia unipolar dan integrasi ekonomi telah menciptakan “dunia tertentu, yang bahkan bisa disebut multipolar.” Pada tanggal 26 Januari 2007, editorial New York Times berbicara langsung tentang “munculnya dunia multipolar,” bersama dengan Tiongkok, yang “mengambil posisi sejajar dengan pusat-pusat kekuasaan lainnya, seperti Brussels atau Tokyo.”

Laporan Dewan Intelijen Nasional AS tahun 2008 tentang “Kecenderungan Global 2025” menyatakan bahwa kebangkitan “sistem multipolar global” diperkirakan akan terjadi dalam dua dekade mendatang. “Pada tahun 2009, banyak orang menganggap Presiden AS Barack Obama sebagai pertanda “era multipolaritas,” dan berpikir bahwa ia akan memberikan prioritas dalam kebijakan luar negeri Amerika kepada pusat-pusat kekuatan yang sedang berkembang, seperti Brasil, Tiongkok, India, dan Rusia. Pada tanggal 22 Juli 2009, Wakil Presiden Joe Biden mengumumkan dalam kunjungannya ke Ukraina bahwa AS “akan mencoba membangun dunia multipolar.”

Namun, dalam buku, artikel, pernyataan yang di kutip media, tidaklah mencerminkan definisi yang tepat dan definitif mengenai apa yang dimaksud dengan dunia multipolar- Multipolar World (MW), dan terlebih lagi, tidak ada teori yang sistematis dan konsisten mengenai hal tersebut.

Kontruksi Theory of Multipolar World (TMW) nampaknya seperti sebuah ajakan “multipolaritas” dalam merespon proses globalisasi oleh pusat dan inti dunia modern (AS, Eropa, dan, lebih luas lagi, ‘Global Barat’) yang tidak dapat diganggu gugat. Para pesaing muncul, Cina, India, Iran, Rusia, negara-negara regional dan blok-blok negara yang berkembang, masuk kategori dunia ‘Kedua’.

Upaya Menuju Elaborasi TMW

Jika dilihat dari sudut pandang ilmiah murni, Teori Dunia Multipolar-yang lengkap, belum ada saat ini. Kita tidak akan menemukannya dalam rak teori dan paradigma klasik Hubungan Internasional (HI). Terlebih konstruk kurikulum HI versi dari Dunia Pertama-Blok Barat yang belum adil dalam melihat diluar kerangka kepentingan Barat.

Namun demikian, semakin banyak karya yang membahas kebijakan luar negeri, politik global, geopolitik, dan hubungan internasional yang didedikasikan untuk topik multipolaritas. Diharapkan semakin banyak penulis yang mencoba memahami dan menggambarkan multipolaritas sebagai model, fenomena, preseden, atau kemungkinan.

Beberapa penulis telah menyinggung seperti; ahli geopolitik Dale Walton (Geopolitics and the Great Powers in the 21st; Multipolarity and the Revolution in Strategic Perspective), David Kampf ( Emergence of a Multipolar World), sejarawan Yale Paul Kennedy ( The Rise and Fall of the Great Empires), ilmuwan politik Amerika Dilip Hiro (After Empire: The Birth of a Multipolar World). Pakar HI asal inggris Fabio Petito yang menjelaskan esensi multipolaritas. Petito mencoba membangun alternatif secara serius dan rasional terhadap dunia unipolar berdasarkan konsep hukum dan filsafat Carl Schmitt.

Perbandingan potensi AS dan Eropa, di satu sisi, dan pusat-pusat kekuatan baru yang sedang berkembang (Tiongkok, India, Rusia, negara-negara Amerika Latin, dll.), di sisi lain, semakin meyakinkan akan relativitas negara-negara tersebut. Superioritas tradisional Barat menimbulkan pertanyaan baru tentang logika proses jangka panjang yang menentukan arsitektur kekuatan global dalam skala global, dalam bidang politik, ekonomi, energi, demografi, budaya, dan lain-lain.

Baik catatan media dan para pakar tentu sangat penting dalam kontek memahami, apalagi untuk membangun Teori Dunia Multipolar. Namun, perlu dicatat bahwa hal-hal tersebut hanyalah fragmen, sketsa dan tentu saja bisa gagal mencapai tingkat generalisasi teoretis dan konseptual yang bisa diandalkan.

Hal yang mendasar kenapa konsep apa itu Dunia Multipolar memperoleh signifikansi dan relevansi dikarenakan seruan terhadap tatanan dunia multipolar semakin sering terdengar di pertemuan puncak resmi, konferensi internasional, dan konggres. Artinya keresahan ditingkat diplomasi makin meluas seiring dengan praktek unipolar yang tidak relevan dengan situasi terkini.

Hal lainya, referensi tentang definisi konsep multipolaritas banyak di cari, karena berkaitan dengan sejumlah perjanjian internasional yang penting dan dalam teks konsepsi strategi keamanan dan pertahanan nasional di banyak negara berpengaruh dan kuat, seperti Tiongkok, Rusia, Iran, dan sebagian Uni Eropa).

Oleh karena itu, perlu mengambil langkah serius untuk memulai elaborasi penuh, teori tentang dunia multipolar sesuai dengan tuntutan dasar pendekatan akademis dan ilmiah disesuaikan dengan tingkat kebutuhan real di lapangan diplomasi.

oleh Muhammad Ma’ruf