Dilema “Two State Solution” dan “One State Solution”

Opsi “two state solution” dan “one state solution” selalu mengemuka saat terjadi ketegangan dan  perang Israel vs Palestina sejak 1947. Pertanyaanya, kenapa “two state solution” lebih popular dan mendominasi daripada “one state solution”. Artikel ini akan berusaha menjawabnya.Jawaban termudahnya karena “two state solution” adalah dambaan dan harapan yang menggiurkan publik dunia. Dua negara Israel dan Palestina yang berkonflik lama dan melelahkan berdiri berdampingan berdasarkan kesetaraan. Bayangan akan terciptanya perdamaian dan keamanan abadi.

“Two state solution” selalu di kutip oleh media menstreim dunia karena keluar dari para pemain kunci panggung perdamaian, USA, Uni Eropa dan Israel. Diluar ketiga entitas tersebut bisa dikatakan, subordinat kekuatan yang ditaklukan dipanggung diplomasi. Negara Israel berdiri tanpa batas wilayah definitif, sementara negara Palestina tidak ada, kecuali sisa 5-10 % menuju penghapusan total.

Jawaban lain, karena “two state solution” adalah sihir diplomasi untuk menutupi praktek penjajahan “one state solution Israel” yang secara defacto terus berlangsung hingga sekarang.

“Two state solution” sebagai opsi  dinarasikan berbarengan secara historis seolah Israel dan Palestina adalah dua pihak saling klaim tanah tak bertuan sejak 1947-2023. Masing-masing tidak akan menyerahkan sejengkal tanahpun yang menjadi haknya, yang disuarakan keduanya sebagai kelompok garis keras; Israel dan Palestina.

Tidak terkecuali paska operasi Badai Aqsa 2023. Biden juga menghembuskan sihir “two state solution” berbarengan dengan bantuan aneka macam bom untuk rezim apartheid Israel dalam menggenosida warga Gaza.

Genosida warga Palestina Gaza yang dilakukan oleh rezim partai likuid (Netanyahu) dan garis keras-kanan, Partai Demokrat USA dan Biden adalah pada dasarnya sama dengan entitas Partai Republik USA dan kelompok liberal Israel. Kedua kelompok kategori politik itu sering menjadi bahan konsumsi para pengamat, untuk mengesankan performa demokrasi dibalik proyek koloni Palestina.

Kata-kata “two state solution” bukanlah pernyataan netral, tapi suatu desain sihir diplomasi. Keluar dari retorika para penguasa USA, Israel dan Eropa. Diantaranya terdeteksi secara acak oleh Biden (2023), Boris Johnson (2021) 2002 (Bush), Hillary Clinton dan Obama (2009, 2015), 2007 Simon Peres (1995, 2012), Netanyahu (2013, 2016), Donal Trump (2017), John Kerry (2014).

Mantan Perdana Menteri Israel Ehud Olmert (2007) mengakui bahwa “jika saatnya tiba ketika [gagasan] solusi dua negara runtuh dan kita menghadapi perjuangan ala Afrika Selatan untuk persamaan hak memilih”, maka kita akan menghadapi perlawanan “apartheid” dan Negara Israel akan berakhir” (McCarthy, 2007). Hal serupa terjadi pada tahun 2017, mantan PM Israel lainnya, Ehud Barak, memperingatkan bahwa rezim tersebut “berada di lereng licin” menuju apartheid (Kaplan, 2017).

Two state solution secara historis berangkat dari UN Plan 1947, menghasilkan secara defacto “one apartheid state solution-Israel” hingga 2023.  Meliputi wilayah hadiah (mandate) hasil okupasi Inggris dari Turki Usmani ditambah okupasi Israel dalam perang 6 hari 1967, Tepi Barat dan Gaza, dari Jordan dan Mesir. Hasil okupasi Israel atas Gaza dan Tepi Barat dijadikan alat menekan Jordan, Mesir, PLO mengakui entitas Israel sebagai penjajah yang legal dan berhak hidup di tanah Palestina. Bahkan saat Hamas bermasalah di Suriah, tahun 2017 di Qatar sempat mencantumkan poin ke 20 dari 42 poin dokumen prinsip perjuangan. Tidak mengakui entitas Israel sejak 1948, pada saat yang sama mempertimbangkan “two state solution”.

Apa yang disebut “two state solution”  bagi Palestina sejak 1967 hingga perjanjian Oslo 1993 adalah janji Palestina akan mendapatkan 22 % (Tepi Barat dan Gaza) dari seluruh tanah historis Palestina dan Yerusalem sebagai ibu kota. Sejak 1993 hingga 2023, tanah yang dijanjikan itu secara defacto tinggal 5 % dalam proses penghilangan total melalui praktek genosida 2023.

Malapetaka “Two State Solution”

Jika mata dunia fokus pada sisa peta tanah Palestina, tentu akan menyadari secara cepat realitas pahit yang sebenaranya. Tetapi ketika fokus pada alur sihir perdamaian “two state solution” yang menyesatkan, suara dunia menjadi beku dan tak berdaya.

Pada tahun 1993, Israel, dipimpin oleh Menteri Luar Negeri Rabin Shimon Peres, mengadakan serangkaian negosiasi dengan PLO di Oslo, Norwegia. Pada awal September Yasser Arafat mengirim surat kepada Rabin yang mengatakan bahwa PLO mengakui hak Israel untuk hidup, menerima Resolusi PBB 242 dan 338 (yang menyerukan perdamaian abadi dengan Israel sebagai imbalan atas penarikan Israel ke perbatasan sebelum tahun 1967), meninggalkan terorisme. dan kekerasan. Beberapa hari kemudian menandatangani Deklarasi Prinsip (dikenal sebagai Perjanjian Oslo), setuju untuk membentuk pemerintahan mandiri Palestina selama lima tahun sebagai imbalan atas kemitraan Palestina dalam masalah keamanan Israel. Isu-isu yang paling kontroversial (termasuk Yerusalem, perbatasan akhir dan permukiman Yahudi di Tepi Barat dan Jalur Gaza, serta kembalinya pengungsi Palestina) akan dibahas setelah periode lima tahun tersebut.

Perjanjian sementara Israel-Palestina mengenai Tepi Barat dan Jalur Gaza (1995), yang dibangun berdasarkan Perjanjian Oslo tahun 1993, membagi Tepi Barat dan Jalur Gaza menjadi wilayah A (kontrol sipil dan keamanan Palestina), B (kontrol sipil Palestina dan kontrol keamanan gabungan Israel-Palestina), dan C (kontrol sipil dan keamanan Israel).

Negosiasi berlanjut ketika Israel dan PLO berupaya menerapkan solusi dua negara. Pada bulan Mei 1994, kesepakatan yang dicapai di Kairo menyebabkan penarikan pasukan Israel dari kota Gaza dan Jericho pada bulan yang sama dan membentuk Otoritas Palestina (PA) untuk melaksanakan fungsi sipil di wilayah tersebut. Pemerintahan otonom Otoritas Palestina diperluas ke enam kota lainnya pada tahun 1995, setelah berakhirnya Perjanjian Sementara mengenai Tepi Barat dan Jalur Gaza (dikenal sebagai Oslo II). Kota ketujuh, Hebron, akan diserahkan pada tahun 1996. Perjanjian ini juga membagi Tepi Barat dan Jalur Gaza menjadi tiga jenis wilayah: wilayah di bawah pemerintahan dan keamanan Palestina (“Area A”), wilayah di bawah pemerintahan Palestina tetapi merupakan wilayah gabungan. Keamanan Israel-Palestina (“Area B”), dan wilayah di bawah pemerintahan dan keamanan Israel (“Area C”).

“Two state solution” juga merujuk pada garis 1967. Mengacu pada garis gencatan senjata sebelum Perang Enam Hari, ketika Israel mencaplok Jalur Gaza dari Mesir dan Tepi Barat dan Yerusalem Timur dari Yordania, serta memperluas wilayahnya melampaui perbatasan “Garis Hijau” yang digambarkan oleh gencatan senjata tahun 1949 antara Israel dan tetangga Arabnya.

Setelah perang, Israel, menduduki Gaza dan Tepi Barat secara militer dan mengizinkan orang Yahudi membangun permukiman di kedua wilayah tersebut. Pada tahun 2005 mantan Perdana Menteri Israel Ariel Sharon menarik pasukan dan pemukim dari Gaza, yang sekarang dikuasai oleh kelompok Islam Palestina- Hamas. Hamas menolak hak keberadaan Israel – Garis Hijau atau tanpa Garis Hijau.

“Two state solution” adalah operasi politik berbarengan dengan operasi militer Israel. Tidak akan keluar dari bayang-bayang Liga Bangsa-Bangsa (1947), Hak Veto PBB, Inggris (Mandat koloni), USA (super power) dan Uni Eropa (sub-super power). Merekalah pemenang perang dunia kedua, penentu perang, perundingan dan aneka perdamaian.

Sekali lagi, “two state solution” adalah narasi para broker perdamaian palsu-USA. Dilanjutkan oleh Kemenlu dari negara-negara yang ingin mendirikan negara Palestina di forum-forum legal internasional.

Sementara Israel defacto terus menerus membangun “zion one state solution” dengan mempraktekan kebijakan apartheid. Memperluas wilayah pemukim illegal, membangun tembok dan jalan raya  dan gang rasis, membunuh, mengusir , memperkuasi warga Tepi Barat dan Yeruslem timur. Memblokade Gaza selama 17 tahun, terakhir dengan menggenosida dan  berencana memindahkan warganya ke Sinai-Mesir dan Jordan.

“Two state solution” eksis sejak UN Plan 1947. Tidak pernah menjadi agenda politik serius semua penguasa Israel sejak 1948 hingga 2023. Jikapun ada, selalu bertolak dari perbatasan 1967, oleh kelompok liberal Israel yang menginginkan pencaplokan 40-60 % wilayah tepi barat. Sementara partai likuid dan garis keras berpijak pada “one state solution”, menguasai seluruh Palestina, dari batas sebelum 1947, bahkan meliputi, wiayah Mesir, Libanon, Suriah, dan Irak.   Sehingga bisa dikatakan kalaupun ada kelompok politisi liberal Israel seolah mendukung “two state solution”, pada dasarnya hanya pencitraan demokrasi ala koloni. Keduanya sedang mempraktekan “one state solution” untuk Israel Raya.

Sehingga  tidak berlebihan jika “two state solution” yang berpijak pada resolusi 242, bahkan menjadi bagian dari strategi “one state solution Israel”. Srategi pendirian  negara zion Israel adalah praktek okupasi dan penguasaan wilayah melalui rekayasa perang yang di rancang untuk menang.

Dengan demikian sekali lagi, “solusi dua negara” dan gagasan “kembali ke perbatasan tahun 1967” sungguh menyesatkan dan mengaburkan realitas kemungkinan masa depan Palestina, karena beberapa alasan. Gagasan ‘two state solution’ bertolak belakang dengan realitas praktek “one state” rezim apartheid Israel.

Seluruh persyaratan yang ditetapkan oleh DK PBB (res. 242 dan penerusnya) untuk “kembali ke perbatasan tahun 1967” sebenarnya telah dihancurkan oleh praktek pemberlakuan rezim apharteid Israel. Seperti praktek okupasi, pembangunan pemukiman illegal, pembagian jalan rasis, check poin, tembok pemisah dan blokade Gaza, baik darat, laut dan udara.

Karena itu solusi yang terbaik adalah “one state democratic solution” untuk tiga agama; Yahudi, Islam dan Kristen yang setara, adil dan abadi versi Palestina dan dunia diluar US, Israel, dan Uni Eropa

Rezim apartheid Israel harus dibongkar, bukan dengan “two state solution”. Karena seperti yang dipahami dengan baik oleh Washington dan Israel, gangguan ‘dua negara’ menyembunyikan apartheid dan menghalangi terbentuknya gerakan anti-apartheid secara luas.

Oleh; Muhammad Ma’ruf