Dr. Husain Heriyanto: Revolusi Saintifik

“Penguasaan sains menjadi elemen niscaya bagi bangsa yang mandiri. Tuntutan agama Islam itu kan menjadi bangsa yang mandiri, tidak hanya semangat jihad khilafah, tapi tidak ada jihad ilmu dan sains”

Keprihatinan saya berawal dari bombardir media baik lokal dan internasional tentang Islam seputar terorisme, poligami, jilbab dan sederet cita-cita syariat. Fokus pemberitaan seolah menggiring pada satu kesimpulan Islam sumber masalah, dan tidak becus mengurus hal-hal lain. Inilah yang tampak dipermukaan, dan menyiratkan banyak pertanyaan. Satu pertanyaan saya, kenapa tidak ada pemberitaan positif tentang kemajuan umat Islam di bidang teknologi dimanapun. Satu pemberitaan yang menarik adalah kenapa, misalnya Iran dipropagandakan membuat  bom atom, bukan Iran berupaya mengembangkan teknologi nuklir untuk sipil. Pertanyaan ini penting dan kebetulan saya membaca tesis Husain Heriyanto  tetang “Revolusi Saintifik Iran. Saya sengaja ke rumahnya untuk bertanya lebih jauh.

Husain menulis begini, Fukuyama yakin dengan bukunya, “The End of History and The Last Man” bahwa demokrasi liberal adalah akhir evolusi sosial budaya manusia dan bentuk final pemerintahan. Ternyata Iran menganut sistem Republik Islam Iran. Politik, sosial dan hukum di Iran tunduk pada prinsip Islam dan yang mengejutkan terjadi lompatan saintifik. Islam ternyata mampu berevolusi dengan masyarakat Iran, dan demokrasi liberal bukan satu-satunya buku suci sistem negara bagi umat Islam.

Dr. Husain Heriyanto, salah satu pakar Sains dan Filsafat Islam tertantang meneliti dan menjawab tesis Fukuyama, bahwa Iran adalah antitesanya. Husain berkesimpulan telah terjadi Revolusi Saintifik di Iran. Artinya, pertama, terjadi lompatan besar perkembangan sains dan teknologi di Iran selama hanya 30 tahun dari posisi yang tidak diperhitungkan. Kedua, terjadi lompatan kemajuan sains di tengah sanksi AS dan Eropa, kemajuan sains menjadi kedaulatan dan kebanggaan nasional. Ketiga, Revolusi Saintifik Iran adalah antitesa Sekulerisme, menggugurkan klaim bahwa agama dan sains tidak mungkin bekerjasama.

“Revolusi Saintifik Iran” adalah judul buku karya Husain Heriyanto yang berisi pembuktian kesalahan tesis Fukuyama. Bagi yang sudah membaca buku ini, tentu sudah mengetahui isinya. Sekitar Juli 2013, saya bertandang  ke rumah Dr. Husain Heryanto untuk mengetahui secara lebih intens isi dan proses kreatif pembuatan buku tersebut.

Wawancara panjang ini bisa menjadi penambah informasi, sekaligus melihat secara dekat dapur proses pergulatan jiwa penulis. Kita bisa melihat Iran tidak hanya dari sisi Revolusi atau Teologinya, tapi dari sisi Sains yang terkait erat satu faktor dengan faktor lain.

Beberapa waktu lalu, Anda telah  berhasil mendapatkan gelar kehormatan Doktor Filsafat dari UI, apa arti penting dari gelar doktor bagi Anda, apa kaitan antara perjalanan hidup Anda dan minat yang ditekuni?

Doktor bagi saya sebuah momen, eksplisitasi dari aktivitas ilmiah yang kita geluti, salah satu “halte” lebih mengintensifkan penelitian dan  pelayanan terhadap kemanusiaan. Sebenarnya Doktor, lebih karena desakan dari temen-temen, di Salemba hampir saya satu-satunya yang tidak punya gelar doktor, di lingkungan “Internasional Society for Islamic Philosophy”, temen-temen banyak Profesor dan Doktor, mereka mungkin nggak enak kalau saya belum Doktor, jadi saya didorong untuk menyelesaikanya. Eksplisitasi, artinya bukan satu-satunya penciptaan, jauh sebelum S1 dan S2 saya sudah bergelut dengan filsafat, ada atau tidak ada Doktor ya tetep jalan. Filsafat bagi saya pergulatan hidup bukan sekedar tempelan.

Anda termasuk orang yang konsisten memperhatikan bidang Sains dan Filsafat, juga logika, Epistemologi, Agama dan Sains, Kosmologi, Filsafat Lingkungan, Filsafat Agama, perbandingan Filsafat Islam dan Barat, apa kaitan antara satu dengan lainya, dan apa benang merahnya?

Sebenarnya semua terkait, antara Logika, Epistemologi dan Sains. Pertama saya suka Logika dan Matematika. Sebelum kuliah saya suka Matematika. Masyarakat Indonesia dan lingkungan akademik sangat membutuhkan logika, semestinya logika itu diajarkan semenjak SD, karena itu dasar-dasar berpikir lurus. Sekarang ini Matematika yang diajarkan lebih ke numerik, tapi logika itu kan nggak mesti numerik. Dulu Fuad Hasan mantan Mendikbud menggalakkan logika diajarkan di S1 semua Fakultas, tapi karena keterbatasan pengajar jadi gagal.

Kemudian Filsafat Sains, dulu saya banyak memperhatikan program Islamisasi Sains, tokohnya Ismail Faruqi, problemnya adalah agenda Islamisasi Sains saya lihat kekurangan basis Filsafat, lebih banyak tambal sulam. Kalau ada sains lalu ditambah Al-Quran, lalu kita bilang Islami, fenomena ini banyak di ICMI.

Jadi benang merah semua itu adalah, pertama saya suka logika, kemudian senang Ilmu pengetahuan, lalu ada kebutuhan umat (Islamisasi Sains), jadi relasi Agama dan Sains.

Seperti juga di ACCROS (Avicenna Center for Religion and Science Studies) yang saya dirikan adalah pengembangan Sains dan Agama. Saya sebenarnya tertarik juga dengan Tasawuf, tapi karena di Indonesia sudah banyak yang menggeluti tasawuf jadi saya lebih tertarik Filsafatnya. Indonesia saya lihat kekurangan nalar diskursif, kalau saya tinggal di Amerika, mungkin saya kembangkan tasawuf Mulla Sadra. Tabatabai dan Taqi Misbah lebih menekankan Filsafat Mula Sadra dibandingkan tasawufnya. Nah di Indonesia, butuh nalar diskursifnya. Seperti ACCROS kan kita menjadikan Ibu Sina, sebagai wakil Saintis, Filsafat di dunia muslim. Bangsa Indonesia butuh budaya Sains. Seperti kata George Sarton, perkembangan sains tidak pernah kosong dari budaya, di Indonesia banyak orang mengembangkan Sains tanpa budaya Ilmiah. Salah satu budaya ilmiah, suka logika, tetapi masyarakat lebih suka budaya konsumtif.

Anda cukup konsen dengan Sains di Iran, apa menariknya bicara Sains Iran sementara banyak negara-negara lain yang lebih maju dan establish?

Dalam 30 tahun paska Revolusi Iran tahun 1979, menurut laporan Royal Society Report tahun 2011,  Thomas Reuters, Social Sciences Citation Index (SCI), Science-Metrix, dan MoSRT, perkembangan Sains di Iran tercepat di dunia dan menempati  peringkat 16 di level negara maju. Iran mengalahkan negara-negara maju seperti Swiss, Rusia, Austria, Denmark.  Iran berada pada posisi kelima setelah China, Jepang, Korea Selatan dan Taiwan. Iran juga  mengungguli semua negara regional termasuk Turki dan teratas di dunia Islam dalam capaian Ilmiah.

Kita lihat Turki bisa maju, wajar karena dekat dengan Eropa dan bekerja sama dengan Amerika. Tapi Iran beda, konteksnya dimusuhi negara Barat. Tidak ada negara yang diperlakukan seperti Iran. Rusia tegang dengan Amerika, tapi masih menjalin hubungan dagang. Kuba juga meski tegang dengan Amerika masih melakukan hubungan dagang. Faktor lebih penting independensinya, berkembang dalam kondisi ditekan itu menarik. Perkembangan kemajuan Sains menjadi bagian dari perjuangan Independensi bangsa, itu angle yang menarik ketika bicara Sains Iran.

Dalam buku Anda “Revolusi Saintifik Iran” menyebutkan banyak negara muslim hanya jadi konsumen Sains dan Teknologi. Banyak negara, maju dalam Sains, tapi tidak menempatkan agama sebagai Falsafah negara, seolah ada yang bermasalah antara Agama dan Sains. Kenapa agama penting menjadi Falsafah Negara? 

Posisi agama biasanya dimaknai konflik dengan perkembangan Sains, seperti kasus Harun Yahya yang sebenarnya diimpor dari Barat pada abad pertengahan, gereja konflik dengan ilmuan. Islamkan berpandangan tauhid, Sains tidak bisa lepas dari pandangan tauhid termasuk etika. Akan terjadi split personality pada seorang muslim Saintis jika masih melihat konflik relasi agama dengan sains, agama menjadi sekuler, seakan harus memilih Sains atau agama. Nah.. dibutuhkan bingkai cara berpikir bahwa mengembangkan sains bagian dari tugas agama. Ibnu Khaitam, Arrazi memandang tugas Sains itu tugas agama. Mengkaji alam, membaca kemauan Tuhan. Kita lihat di Iran, setidaknya ada indikasinya kuat mengarah ke sana. Sains berkembang di Iran. Biasanya kita hanya mendapat informasi tentang  Iran dari sisi Revolusi dan Teologi, kita jarang melihat dari sisi Sainsnya.

Seandainya Iran modern tidak maju di bidang Sains dan nasibnya hanya jadi konsumen, apa Anda masih setuju agama menjadi Falsafah Negara?

Kita melihat dari sisi holistik, pengembangan sains itu menjadi bagian dari perjuangan mandiri sebagai bangsa. Penguasaan Sains menjadi elemen niscaya menjadi bangsa yang mandiri. Tuntutan agama Islam itu kan menjadi bangsa yang mandiri, tidak hanya semangat jihad khilafah, tapi tidak ada jihad ilmu dan sains. Sains menjadi elemen penting. Penguasaan sains itu tuntutan agama. Islam secara fitrah menuntut mengembangkan semua potensi termasuk Sains. Cara berpikir monokausal itu melihat, hanya karena faktor kejepit Iran maju, atau hanya karena faktor Revolusi, Sains berkembang pesat, atau hanya melihat faktor Iran punya modal budaya sejarah Sains.

Harusnya kita pakai berpikir both and, menerima banyak faktor kondisional, contohnya: kertas, udara, api itu elemen-elemen penyebab kertas kebakar. Sains maju di Iran, karena kombinasi, faktor Revolusi, faktor “kejepit”, faktor modal sejarah Sains, faktor tersedianya infrastruktur budaya dan sosio religi.  Pesan jihad ilmu oleh Rahbar itu penting. Fatwa ulama Iran tentang kloning, menjadikan ilmu kloning berkembang pesat di Iran. Kalau teologinya tidak rasional itu nanti jadi penghambat kemajuan Sains.

Jika Anda melihat afinitas yang kuat antara kemajuan Sains di Iran dengan konsep Wilayatul Faqih sebagai sistem negara, apa buktinya, sehingga kita tidak bisa mengatakan kemajuan Sains di Iran hanya kebetulan? 

Sulit membayangkan pengembangan sains di Iran tanpa stabilitas politik. Terciptanya stabilitas dalam suasana ditekan itu karena peran kepemimpinan Rahbar (pemimpi tertinggi). Kalau kita lihat, Ihwanul Muslimin, awalnya gerakan perlawanan imperialis, tapi ketika sekarang mendapat kekuasaan harus bernego dengan Amerika. Ihwanul Muslimin gagal mengkonsolidasikan seluruh elemen rakyat Mesir, bahkan Al-Azharpun tidak mendukung Ikhwanul Muslimin.

Meski ekonomi Amerika turun, tapi sulit bagi negara manapun bertransaksi tanpa Dolar atau Euro. Tidak ada kejadian politik di dunia tanpa campur tangan Amerika langsung ataupun tak langsung. Sulit kita menemukan negara di dunia ini yang betul-betul independen secara budaya, politik, seperti cita-cita Bung Karno. Nah Wilayatul Faqih sebagai penjamin dalam kontek perlawanan terhadap imperialisme dan kolonialisme. India, Cina, Jepang masih bergantung Amerika. Beberapa kali Cina mencabut kerjasama dengan Iran, karena ditekan Amerika. Rusia sekarang kuat karena faktor Putin, dulu zaman Dmitry Medvedev juga tunduk pada Amerika. Nah hanya Iran yang betul-betul Independen, dan itu sebenarnya tuntutan Islam dan kemanusiaan.

Apa turunan konsep Wilayatul Faqih dalam bidang sains sehingga terdapat korelasi yang kuat dengan kemajuan sains di Iran?

Umat itukan ada kesatuan tradisi, ada kesadaran bersama, pandangan ulama itu di dengar baik di dunia Sunni dan Syiah. Nah di Iran, pandangan itu diinstitusionalkan dalam negara. Ulama tidak sekedar jabatan, ulama juga mengemban tugas ilmiah, Wilayatul Faqih itu institusionalisasi peran ulama dalam membimbing dan memajukan umat dan bangsanya, baik dalam kontek politik, budaya dan Sains, dan itu sebenarnya ciri khas Islam.

Bahkan Rahbarpun mencanangkan jihad ilmiah dan ekonomi. Perhatianya sampai detil, jangan sampai jual bahan-bahan mentah yang murah yang belum diolah secara teknologi, itukan ekonomi berbasis Sains. Turunan itu berupa kebijakan eksekutif, ada Wakil Presiden khusus menangani sains. Zaman Ahmadinejad dipimpin seorang wanita, Dr. Nasrin Soltankhah.  Ada juga menteri  kordinator yang terkait dengan semua kementrian yang terkait dengan Sains. Etos cinta ilmu (jihad Ilmu) dilembagakan dalam banyak institusi penelitian di Iran. Cinta ilmiah tidak sekedar diceramahkan. Banyak berdiri Research Center ilmu apa saja di Iran dan itu di dukung negara.

Secara Filosofis terdapat  hubungan integrasi antara Agama dan Sains di Iran, apakah Anda melihat itu hanya spekulasi atau terdapat bukti secara politik dan hukum yang dikodifikasi dalam bentuk perundangan?

Relasi agama dan sains itu bahasa Filsafat. Bagaimana membangun Agama dan Sains dalam satu tarikan nafas, bukan dua digabung jadi satu. Konteksnya bagaimana maju secara sains dan agama dalam sebuah negara. Yang punya kepentingan tentunya para saintis dan ulama. Signifikansinya sangat penting relasi itu. Tidak ada ulama di Iran reaksioner terhadap sains. Isu Agama dan Sains itu konteknya dalam kehidupan modern. Integrasi agama dan sains itu efek konsisten dari pandangan tauhid Islam. Maka jika dibicarakan zaman Ibnu Sina, tidak relevan karena dia pelaku integrasi. Dunia itu satu (Tauhid) bukan ada dunia; dunia agama dan dunia sains. Isu Agama dan Sains tidak hanya terjadi  di Iran, tapi ada di Malaysia, Turki, Arab Saudi, Indonesia tapi hanya wacana dan harapan, kalau di Iran minimal treknya sudah ke sana.

Banyak orang mengira kalau Iran maju secara Sains, tapi kenapa di sana tidak ada gedung-gedung tinggi ?

Kita harus mendefinisikan maju itu apa, maju itu Independen, dengan kepala, otak kita sendiri. Qatar, Uni Emirat Arab tidak bisa dikatakan negara maju. Negara kaya iya, tapi hanya beli, jangankan produksi, mengoperasionalkan alat teknologi canggih saja tidak bisa, harus orang Amerika. Maju itu keberhasilan melawan hegemoni dunia yang ingin menguras kekayaan alam. Maju itu kemampuan  mengambil jarak dan indepen sebagai bangsa. Dalam konteks Iran, Iran itu maju dalam mengambil jarak dan independen dari jebakan Amerika, dan perjuangan itu mempunyai nilai kemanusiaan.  Maju itu menurut saya menciptakan barang-barang sendiri bukan membeli. Etos ilmiah dan petualangan imiah itu penting buat kemanusiaan. Ada masa Sains sebagai proses, dan sains pada lini terakhir sebagai produk. Kita harus mencetak ilmuan bukan membeli hasil sains.

Bagaimana pandangan Anda tentang kontribusi negara-negara kaya muslim terhadap kemajuan sains di dunia Islam?

Banyak negara-negara Timur tengah suka membeli produk teknologi, tetapi pertanyaanya, apa dengan bisa membeli produk canggih otomatis menjadi negara maju secara teknologi, apalagi maju secara kemanusiaan dan peradaban. Justru sebaliknya saya melihat malah uangnya buat membiayai terorisme. Wahabi, kata KH Said Aqil Siradj, selangkah lagi jadi negara teroris.

Uangnya banyak tapi tidak punya visi, tidak ada ceritanya uangya Qatar untuk proyek membangun Universitas di seluruh negara muslim, membangun perpustakan, adanya malah uangnya buat iklan Qatar Foundation untuk klub Barcelona.

Kemudian kenapa di Iran tidak membangun gedung-gedung tinggi, penyebabnya bisa karena boikot dan prioritas nilai kegunaan, sehingga yang dibangun banyak bazar-bazar untuk kepentingan ekonomi rakyat. Kalau gedung sebagai ukuran, jangan dulu kita bangga, Jakarta mempunyai mall terbanyak di dunia, apa kalau sudah begitu Indonesia disebut negara maju.

Banyak orang tidak bangga terhadap Sains Iran, termasuk umat Islam sendiri, apa penyebabnya?

Mereka tidak tahu saja, yang diberitakan heboh-heboh saja, Kompas, Republika nggak mungkin memberitakan perkembangan Sains di Iran. Orang awam juga banyak Profesor pernah ke Iran nggak tahu kalau Iran secara Sains maju. Saya aja yang sering ke Iran kalau tidak meneliti juga tidak tahu, itu masalah perhatian saja. Bisa jadi karena kalau ke Iran hanya ziarah jadinya nggak tau kemajuan Sainsnya. Stereotipe kemajuan sains biasanya Jerman, Amerika karena dari dulu seperti itu. Nah, bicara Iran biasanya hanya dari sisi Revolusi dan nuklir. Kalaupun nuklir yang diberitakan bomnya, bukan saintisnya.

Banyak negara Islam ditekan atau tidak dari Barat, sains tidak mengalami lompatan, apa penyebabnya menurut Anda

Kita cari sebabnya tapi banyak variabelnya. Faktor pertama, dari segi epistemologi, salah konsep tentang ilmu, sains dilihat dari produk semata bukan dari prosesnya. Dengan sendirinya kalau orang itu suka baca, suka meneliti, berpikir rasional, menjaga orisionalitas, nanti produk konkrit itu tinggal ngikut aja. Sebenarnya buku, gagasan, hukum Newton, Filsafat Ibnu Sina itu produk juga. Ilmu itu bukan koleksi produk sains saja.

Kita lihat  1962, Korsel belajar komputer ke Indonesia, tahun 1970 kita ngajari guru-guru Malaysia. Tapi sekarang apa, produk Samsung kita beli secara masal. Kenapa begitu, karena Korsel mengembangkan Ristek Sainsnya, matematiknya dan informatiknya dikembangkan. Tahun 1990 Korea sudah jadi produsen komputer, perlu 30 tahunan. Dulu Indonesia sudah lebih konkrit daripada Korsel. Apa karena kita kurang pinter, nggak.., kita nggak ada budaya ilmiahnya, nggak ada budaya Research. Kenapa kita nggak ada dukungan dana research yang banyak, kita berpikir nggak cepet menghasilkan.

Kedua, “inferiory complex”, faktor kelamaan dijajah, penyakit rendah diri, kalau ingin maju, dikit-dikit merujuk ke Barat. Ketiga, adanya paham keagamaan yang memasung kreativitas berpikir. Ilmuan butuh kebebasan ontologis. Jerman Timur dulu secara politik tirani, tapi ilmuan maju. Kita nggak boleh mengubah gigi, nggak boleh operasi kulit wajah, nggak boleh mikirin Tuhan. Karena banyak nggak bolehnya, jadinya kita nggak kreatif, dan itu menyumbang sains tidak berkembang.

Apakah Anda melihat wajah Republik Islam Iran adalah perwujudan Filsafat Hikmah Mutaaliyah Mulla Sadra?

Saya melihat spiritnya. Sains itu harus independen, semua bagian dari pengembangan jiwa. Iran diperintah oleh ulama dan Filsuf. Pemimpin itu kan ada 3 model menurut Plato,  negara dipimpin manusia kepala (filsuf), negara dipimpin manusia dada (prajurit), ini berbahaya, karena  maunya perang saja, negara juga dipimpin manusia kaki (pedagang) nah ini juga bahaya, negara bisa dijual. Idealnya negara dipimpin manusia kepala. Kalau masyarakat dipimpin hawa nafsu maka hancur. Dalam konteks ini, negara dipimpin oleh filsuf (ulama) itu real dan aktual di Iran sehingga Iran masuk dalam perputaran sejarah membalikan tesis Fukuyama bahwa demokrasi liberal adalah evolusi akhir manusia. Negara dipimpin wali itu mungkin dan sedang terjadi.

Kita lihat, negara dipimpin Taliban sudah, dan gagal di Afganistan, menyebabkan citra Islam malah jadi jelek. Ikhwanul Muslimin gagal di Mesir, jangankan rakyat muslim lain, sebagian besar rakyat di Mesir sendiri tidak mendukung Ikhwanul Muslimin termasuk Al-Azhar. Di saat negara-negara Islam lain sedang mencari kestabilan, setiap saat di Iran sudah mencanangkan kemajuan Iptek. Salah satu contoh, perkembangan nanoteknologi (medis, pangan, informatika, komunikasi, lingkungan pertanian, rekayasa materi, industri manufaktur)  tahun 2013 menempati urutan ke-8, padahal tahun 2011, saat saya meneliti baru urutan ke 10, .. cepet sekali kan.

Artinya apa, jadi kesuksesan dalam mengembangkan sains dan teknologi di Iran memperkuat justifikasi eksistensi negara Republik Islam Iran. Premisnya, kemajuan sains penting bagi kemajuan bangsa dan martabat kemanusiaan, sedang pengembangan martabat kemanusiaan adalah tuntutan Islam. Republik Islam Iran telah terbukti mendorong kemajuan sains, berarti eksistensi Republik Islam Iran selaras dengan martabat kemanusiaan. Kemajuan sains memperkuat legitimasi eksistensi berdirinya Republik Islam Iran.

Anda pernah di Amerika, kira-kira lebih bahagia mana orang Amerika atau Iran?

Saya belum pernah meneliti, jadi saya tidak tahu, tapi bisa dilihat secara fenomenologi. Dari sisi kelapangan, friendship, kehangatan, sorotan mata, persahabatan, saya merasakan itu ada dalam masyarakat Iran dibanding masyarakat Amerika. Tapi ada juga orang Iran yang menyebalkan.  Kalau kita tidak punya kawan atau keluarga di Amerika menderita sekali. Orang Amerika saya lihat banyak tegangnya, mungkin juga karena faktor ekonomi berbasis want, bukan need. Kalau di Amerika lebih berbasis want, sedanga Iran berbasis need.

Ada yang mengatakan jika Iran musnah dibom nuklir dan tanpa sisa, maka konsep teologi Syiah yang ada dalam konstitusi Iran akan gugur, apa komentar Anda?

Keyakinan hanya bisa dikalahkan dengan argumen bukan militer. Jepang dihancurkan dengan bom nuklir, tapi kejepangan kan nggak hilang. Keyakinankan tidak hanya di Iran, kalau dibom nuklir, tidak akan menghilangkan keyakinan, dan keyakinan itu ada di mana-mana. (maruf)