“Cara pertama ini akan mengantarkan pada skeptisisme pada semua agama, karena banyak perilaku penganut agama tidak mencerminkan konsep agama yang di klaim. Lahan metode pertama dipakai oleh kaum orientalis, menjadikan Timur dan Islam sebagai objek kajian, menelaah agama sebagai fenomena sejarah (premis-premis minor). Kaum orientalis ini dibawah bayang paham positifisme dan empirisme.”
Ketegangan agama dan filsafat di Barat, dalam kontek sejarah filsafat Barat bisa ditemukan dari pernyataan para tokoh seperti Newton; Tuhan Yahudi dan Kristen problem karena ditolak sains. Hegel menganggap Tuhan Yahudi sebagai tiran dan Tuhan Kristen barbar dan lalim. Oleh karenanya menurut Nitche, Tuhan telah mati mirip dengan Feurbach, Karl Marx, Charles Darwin, Sigmund Freud, jikapun Tuhan belum mati, manusia rasional harus membunuh-Nya..
Para filsuf Barat ini menganggap mitos dan simbol adalah unsur pembentuk agama, sumber masalah bukan Tuhan tapi doktrin-doktrin tentang Tuhan. Pengalaman kelam agama di Barat bisa di lacak pada abad pertengahan, bagaimana Paus Innocent III pada tahun 1215 M memerintahkan seluruh oparatur negara untuk mengekusi para ateis.
Pengalaman ketegangan agama dan filsafat di barat ini membayang tajam dalam trauma di Barat sehingga agama terpisah dari politik. Agama menjadi trauma yang menakutkan. Sementara dalam dunia Islam, agama dan filsaf mempunyai hubungan buruk ketika para ahli fiqih berkuasa sehingga banyak para filsuf Muslim banyak menjadi korban.
Trauma terhadap agama dalam Islam ini hingga sekarang terjadi tidak hanya membayang di dunia Barat tetapi di dunia Islam. Agama seolah menjadi wacana yang wajib di pisahkan dari politik. Agama diperlakukan seperti mencicipi buah jeruk, rasa manis dan asam, sehingga memeluk agama atau beragama semata urusan pengalaman privat. Inilah cita-cita sekulerisme dan liberalisme, memojokan agama menjadi urusan rasa. Hal ini menjadi semakin kokoh, manakala umat Islam jika mencoba bernostalgia dengan politik atau bercita-cita bernegara maka teror fakta-fakta segera bermunculan, bom bunuh diri, al-Qaida, dan sekarang yang lagi di promosikan terorisme al-Nusra di Suriah dan Irak.
Setidaknya menurut Dr. Muhsin Labib, pakar metafisika Islam – Indonesia, dalam diskusi jurnal Kanz Philosohia, 26/4 di ICAS Paramadina-Jakarta Selatan, ada tiga metode cara meyakini agama. Fenomena pertama, memahami agama dengan jalan induksi, memandangan agama dari fakta-fakta sejarah; proses kemunculan, tata cara ibadah, sekte-sekte, perilaku pemeluknya, juga konflik di dalamnnya, dari fakta partikular kemudian merajutnya dan mengambil kesimpulan baru kemudian menentukan pilihan.
Cara pertama ini akan mengantarkan pada skeptisisme pada semua agama, karena banyak perilaku penganut agama tidak mencerminkan konsep agama yang di klaim. Lahan metode pertama dipakai oleh kaum orientalis, menjadikan Timur dan Islam sebagai objek kajian, menelaah agama sebagai fenomena sejarah (premis-premis minor). Kaum orientalis ini dibawah bayang paham positifisme dan empirisme.
Produk dari cara ini menghasilkan pola pertanyaan, apakah agama berfungsi untuk menertibkan masyarakat yang kacau menjadi tertib atau menjadikan agama menjadi aturan bagi masyarakat yang sudah tertib? Fakta masyarakat yang tidak beragama cenderung tidak percaya lebih tertib, sedang masyarakat yang menginginkan agama menjadi sistem masyarakat terbukti tidak tertib. Inilah alasan mengapa masyarakat lari dari agama.
Metode kedua, dengan cara deduksi, menghimpun seluruh prinsip umum (premis-premis mayor) lalu menyusun secara sistematis dan serba runut. Proses ini biasanya mencari prinsip paling awal dari tonggak agama, membuktikan ketuhanan. Pembuktian ini dengan dua modus, burhan al-limmi (argumen kausal-sebab ke akibat) dan burhan-al-linni- (akibat ke sebab).
Metode ketiga dengan dialog agama, atau menggalakan kegiatan pluralisme agama, memahami hubungan yang terjalin antar agama. Metode ini menganggap bahwa setiap agama mempunyai efek transformatif, prinsip pemusatan diri akan berganti menjadi prinsip pemusatan realitas (Tuhan). Metode ini banyak dipakai oleh kaum percaya dengan dialog antar iman.
Jalan buntu akan terjadi menurut Dr. Muhsin, jika agama dipahami sebagai das sein, apa yang terjadi secara konkrit dalam lembar sejarah. Akan tetapi jika dipahami sebagai das sollen, agama sebagai mana mestinya, maka ditemukan banyak alasan rasional untuk tetap menganut agama dengan semestinya. Pandangan yang semestinya ini adalah memahami agama melalui teologi perubahan yang rasionalis, beragama tanpa mengamputasi akal. Belajar agama tanpa membuang filsafat, belajar filsafat tanpa membuang agama. Harus bersusah payah membuka kembali lembaran-lembaran informasi Nabi melalui Ali Bin Abi Thalib, Ammar bin Yasir, Malik bin Nuwairoh at-Tamimi, Abu Dzar, Malik Atsyar dan para sahabat lain yang lenyap nama dan datanya karena terlajut di X-file-kan (dihilangkan). Jalan ini akan mendapatkan pemahaman utuh, dan mampu memisahkan mana teologi fatalis bahwa semua adalah keputusan Tuhan yang bila ditanyakan bisa dianggap kufur, dan mana teologi yang membebaskan, dimana Tuhan yang maha suci dan tak terbatas telah meciptakan sistem alam dengan segala dimensi dan mekanismenya. (IRIB Indonesia, 2/5/013 / Muhammad Ma’ruf)