Sejak awal reformasi 1998 hingga detik ini, Pancasila mulai hilang. Kehilangan taji dan narasi. Salah siapa?.Yok, kita merenung.
PDIP dan presiden Jokowi telah bersusah payah, bergandeng tangan membangun kualisi, berkuasa bersama, membuat BPIP. Badan sekelas Kementrian.
Presiden sibuk membangun infrastruktur, sementara BPIP sibuk berproses, berideologi, tapi lebih kedalem dan kalah pamor dengan narasi ideologi liberal Rocky Gerung cs yang militan.
Proyek pengembalian marwah Sukarno gagal. Pembinaan penyelenggaraan negara dengan ideologi Pancasila, tak terbaca di media dan mulut para politisi. Sementara akademisi Pancasila sibuk dengan romantisme orde baru dan lama.
PDIP akhirnya berantem dengan Jokowi, saling menjelekkan. Tak ada jejak ideologi Pancasila yang mengikat keduanya, kecuali berkompetisi menguasai negeri ini. Sebagaimana suasana negara kapitalis murni, para pemodal besar menjadi “deep state” mengontrol negara. Bukan ideologi Pancasila yang mengontrol, bukan BPIP yang berwibawa, bukan ikatan identitas komunal nilai-nilai Pancasila yang menguasai, mendominasi dan mengontrol. Tapi brutalitas fakta nilai individual yang menyebar, seperti virus liar yang menguasai manusia Indonesia.
Rebutan panggung kekuasaan, hawa nafsu politik biasa, tanpa karakter kuat sebagaimana awal diberi mandat untuk berkuasa.
Lalu kita bertanya, infrastruktur tol itu apa hubunganya dengan Pancasila, dengan BPIP. Jalan tol mulus, tapi mahal.
Nilai individulah yang berkuasa, nilai pemodal, yang ingin modal balik secepatnya. Dimana nilai-nilai komunal Pancasila, nilai gotong royong, negara membantu meringankan beban penderitaan komunal rakyat banyak-agar bahagia. Rakyat yang berduit dan pemodal yang berkuasa. Murni negara kapitalis, bukan negara Pancasila. Bukan nilai-nilai komunal Pancasila menjadi kekuatan politik yang dominan. Apa respon anda ?.