Sebelum masuk pada tema pilihan teori pendekatan untuk menganalisa masyarakat sebagai tek atau thing, kita harus memperlakukan tema ini dengan pendekatan “prinsip-prinsip sosiologi”. Baik masyarakat dianggap sebagai tek maupun sebagai thing, harus masuk pada frame disiplin ilmu sosiologi, meski pra asumsi tek maupun thing ada pada pembahasan Filsafat Sosial.
Adapun pembahasan pra sumsi dalam Filsafat Sosial kita akan bahasa sejauh berimplikasi pada disiplin ilmu sosiologi dan pilihan pendekatan teoritis beserta metode penelitianya.
As Text
Secara sederhana bisa dikatakan, jika masyarakat dianggap tek, maka yang diperlukan fokus analisa pada pemahaman(understanding). Pendekatan yang biasa dilakukan adalah merujuk pada tradisi Filsafat Kontinental. Pendekatan yang bisa dilakukan adalah dengan mengunakan metode hermeunetika (Gadamer, ricoer, derridaPalmer), geneologi (Foucault) dan analisa kritis (Kantian, Weber, Marx, Lucas, Freud, Nietzsche, mazhab Frankfrurt (Adorno, Habermas). Pendekatan ini lebih fokus pada text dan peka terhadap sejarah.
Pendekatan ini menganggap masyarakat memiliki struktur yang unik, sebagaimana tek yang memiliki subjek, prediket dan objek. Masyarakat sebagai entitas sosial tidak dalam ruang kosong dan tidak berdiri sendiri (dependen). Sebagaimana manusia sebagai makhluk individu dan sosial yang memiliki kompleksitas, maka masyarakat juga memilik varible kompleksitas, seperti sejarah, kesadaran, kehendak, bahasa dan psikologi yang unik. Dari segi sejarah pendekatan ini menjadi cikal bakal humanisme yang memilik kajian independen yang biasa dilawankan dengan tradisi Anglo Amerika atau positivisme.
As Thing
Jika masyarakat dianggap sebagai thing, maka rujukanya pada “phisic”, diperlakukan sebagaimana ilmu alam. Masyarakat di observasi sebagaimana metode ilmu alam. Berusaha mengambil generalisasi sehingga dapat berlaku universal (objektif). Pendekatan ini dipelopori oleh Agus Comte sebagai bapak positivisme. Objektifikatas kajian sosial harus memliki konotasi “positif” (natural science).
Pendekatan ini menganggap masyarakat sebagaimana benda materi yang memiliki komposisi dan gerakan sesuai dengan hukum alam. Hukum gerakan masyarakat diperlakukan sama dengan gerakan benda jatuh dari atas seperti yang berlaku dalam hukum grafitasi. Masyarakat dianggap secara serta merta tidak memiliki “free will” yang mengakibatkan tindakan sosial tertentu.
Pendekatan Metode Kualitatif dan Kuantitatif
Debat masyarakat baik sebagai tek maupun sebagai thing memilik tempat tersendiri dalam Filsafat Sosial.Transisi dari keberhasilan ilmu alam sebagai fondasi Aufklarung memiliki peran besar dalam membentuk warna sosiologi modern. Tema subjektifisme dan objektifisme, debat mana yang lebih real individu atau masyarakat, debat fisika sosial mewarnai kajian masyarakat di tinjau dari disiplin filsafat.
Meski begitu, bagi sosiolog yang harus memilih model pendekatan dan pilihan metode penelitian kualitatif atau kuantitatif, di tingkat praktis, debat filsafat tidak terlalu menentukan.Kenapa demikian, karena filsuf bisa bekerja di belakang meja ketika menganalisa masyarakat tanpa harus mengobservasi secara empirik. Pra asumsi filosofis cukup untuk melakukan analisa secara spekulatif. Akan tetapi berbeda bagi para sosiolog. Mereka menganggap secara otomatis masyarakat memiliki status realitas yang real. Sehingga langkah selanjutnya langsung mengadakan observasi dan berinteraksi dengan masyarakat sebagai pendekatan.
Dalam sosiologi modern dikenal pendekatan positifis dan kontruktivisme. Perbedaaan mendasar keduanya pada anggapan, positifis menganggap masyarakat sebagai “taken for granted”, dibentuk sesuai dengan “commen sense”, sedang kontruktivisme menganggap masyarakat dianggap memiliki banyaka variable dependen, memilik keunikan karakter yang harus dicari tahu dengan berinteraksi secara langsung. Observer menganggap dirinya tidak tahu. Sedang pengetahuan di dapat dari responden.
Kedua pendekatan ini memiliki kesamaan bahwa masyarakat harus di dekati secara empiris. Sedangkan pilihan metode penelitian, keduanya bisa memilih baik kualitatif atau kuantitatif atau bisa juga gabungan keduanya. Masing-masing metode memilik penekanan tersendiri. Seperti yang diuraikan Amir B. Marv a s t i-(Qualitative Research in Sociology,page; 22) dalam bukunya;
It was suggested that quantitative sociology emphasizes technical rigor (systematic adherence to the mechanics of doing research) and qualitative sociology conceptual rigor (systematic adherence to the theory of doing research). However, it is important to keep in mind that oppositions in academic texts, not unlike the ones in everyday life, serve as useful starting points for learning the basics. As you gain more knowledge and experience about the field, it is very likely that you will move beyond simplistic dichotomies. In practice, many scholars in sociology make use of both techniques, depending on the topic of their interest and other contingencies.
Terdapat anggapan bahwa semakin kita mempertentangkan kedua metode tersebut, maka masalah akan menjadi semakin kabur, baik positifis atau kontruktivisme, metode kualitatif atau kuantitatif adalah soal pilihan tehnis dan mandat tujuan penelitian.
At the very least, there is wisdom in knowing the opposition. Criticizing what one is not fully knowledgeable of and accepting the opposing view without careful examination is unnecessary at best and embarrassingly unlearned at worst. Extensive learning about various fields of knowledge should precede a strong commitment to them. It is usually the case that the more one learns about the opposing sides of a given issue, the more blurred the divisions become. Positivism and constructionism, as well as qualitative and quantitative perspectives, should not be thought of as philosophical or methodological opposites. Instead, they are different ways of doing research with the common goal of exploring the social world and generating knowledge.The remainder of this book provides an introductory understanding of how qualitative sociology achieves this goal through its various research techniques (Amir B. Marv a s t i-Qualitative Research in Sociology,pag; 22)
Lebih jelas lagi masalah ini lebih pada akurasi data, dan tujuan penelitian;
We are not faced, then, with a stark choice between words and numbers, or even between precise and imprecise data; but rather with a range from more to less precise data.… [O]ur decisions … should depend on the nature of what we are trying to describe, on the likely accuracy of our descriptions, on our purposes, and on the resources available to us; not on ideological commitment to one methodological paradigm or another. (Hammersley 1992: 163, as cited in Silverman 2000: 1)
References;
Hammersley 1992: 163, as cited in Silverman 2000: 1
Amir B. Marv a s t i-Qualitative Research in Sociology, 2004
Yvonne sherratt, Continental Philosophy of Social Science, Cambridge 20016