Dalam banyak penjelasan para filsuf, kita sering menjumpai ungkapan berikut: “masalah ini sesuai dengan nafs al-amr (perihalnya-itu-sendiri)”.
Di antaranya juga berkenaan dengan proposisi-proposisi hakiki (qadhāyā haqīqiyyah), dimana sebagian atau tidak satu pun dari referen-referen subjek mereka berada di luar, akan tetapi kapan saja referennya itu ada, predikat proposisi hakiki itu niscaya berlaku padanya.
Mengenai proposisi-proposisi semacam ini dikatakan bahwa kriteria kebenaran mereka adalah kesesuaian dengan nafs al-amr (perihalnya-itu-sendiri), karena seluruh referen mereka tidak ada di realitas di-luar untuk bisa kita timbang kesesuaian kandungan mereka dengannya dan bisa kita nyatakan bahwa ia sesuai dengan realitas di-luar.
Demikian pula halnya proposisi-proposisi yang terbentuk dari objek-objek kedua akal seperti: proposisi logis atau proposisi, yang menetapkan predikat tertentu pada hal-hal ketiadaan atau yang mustahil-ada. Oleh para filosof dikatakan bahwa kriteria kebenaran dua macam proposisi ini adalah kesesuaian dengan nafs al-amr (perihalnya-itu-sendiri).
Ada banyak penjelasan yang dikemukakan seputar makna teknis istilah ini; sebagiannya terkesan dipaksakan, seperti penjelasan sejumlah filosof bahwa maksud dari kata amr (perihal) di sini yaitu alam adaan-adaan abstrak; dan sebagian lainnya malah sama sekali tidak memecahkan masalah, seperti perkataan bahwa nafs al-amr adalah sesuatu itu sendiri, karena pertanyaan mendasar masih kuat menghadang: pada akhirnya, dengan apa kita harus membandingkan proposisi-proposisi ini untuk mengetahui nilai (kebenaran atau kesalahan) mereka?
Berangkat dari uraian yang telah dikemukakan mengenai kebenaran dan kesalahan proposisi, jelas bahwa maksud dari nafs al-amr, selain adaan-adaan di-luar, juga merupakan medan kenyataan akali (tsubūt ‘aqlī) bagi objek-objek representasi yang berbeda-beda dalam tiap-tiap kasus. Maka, dalam kasus-kasus tertentu seperti: proposisi-proposisi logis, medan kenyataan aklaninya adalah tingkatan tertentu dari pikiran. Dalam kasus-kasus lain seperti dalam kasus objek representasi dari proposisi “dua kontradiktif mustahil bertemu”, medan kenyataan aklaninya adalah kenyataan eksternal asumtif (mafrūdh).
Dan dalam kasus-kasus yang lain lagi, medan kenyataan aklaninya secara aksidental (bi al-‘aradh) dinisbatkan ke realitas di-luar. Misalnya, para filosof mengatakan, “sebab ketiadaan akibat adalah ketiadaan sebab”. Dalam proposisi ini, hubungan kausalitas pada hakikatnya berlaku nyata antara ada/keberadaan sebab dan ada akibat, namun secara aksidental diberlakukan pada ketiadaan mereka (sebab dan akibat).
(Muhammad Taqi Mishbah Yazdi, Buku Daras Filsafat Islam, Daras 19).