Tauhid Berkelas

MP-Usia perdebatan tanzih dan tasbih sudah ribuan tahuan. Setidaknya 400 tahun paska nabi Muhammad wafat, kalam, filsafat, tasawuf sudah memperbincangkan. Tanzih adalah istilah untuk mensucikan zat Tuhan, sementara tasybih, metode untuk menyerupakan sifat Tuhan dengan makhluk. Tanpa upaya pensucian Tuhan, tauhid menjadi rusak dan bisa terjebak dalam syirik. Tapi tanpa penyerupaan sifat Tuhan dengan makhluk hampir dipastikan tidak ada bahasa manusia yang mengenalinya.

Dalam dua tarikan tanzih dan tasbih, ada kecenderungan untuk melakukan pemutlakan. Karena sifat karakter manusia yang ingin sempurna dalam bertauhid. Tanzih mutlak bisa mengakibatkan kekosongan mutlak (ta’til), sementara tasybih mutlak bisa mengantarkan pada mujassimah (benda). Manusia dalam tauhid ubudiyah bisa menyembah kekosongan mutlak dan juga bisa menyembah benda mutlak. Lalu bagaimana mengambil jalan tengahnya, olehkarena Tuhan sendiri antara transenden dan imanen, zohir dan batin, antara pengukuhan dan penafikan, antara terjangkau dan tidak terjangkau ? inilah yang disebut paradoxikal tauhid.

solusi

inti masalahnya adalah bagaimana muslim bertauhid diantara dua tegangan tersebut ? apakah kondisi paradoxikal manusia sendiri adalah kondisi terbaik  spiritual manusia  ?.

salah satu pemikiran yang menjembatani dua tarikan tersebut adalah adanya gagasan bahwa zat sebagaimana zat, maqom tanpa nama, tauhid absolut,  tidak bisa diidentifikasi pengetahuan manusia, tanpa nama dan bentuk, membicarakanya artinya pikiran mengenalnya, jika mengenalnya maka ada potensi sirik kecil disana.  Tapi perlu di garis bawahi, justtru kondisi tersebut adalah sumber tarjet bertauhid-“ketiadaan mutlak” atau “absolute nothingness”. Rangkuman negasi dari berbagai ungkapan diatas.

Nah, jika manusia berusaha menjangkaunya, artinya bukan menjangkau seluruh keidentikan zat-sifat Tuhan sebagai mana adanya (mutlak per se), tapi sebagian dari tajalli Tuhan akan turun sesuai kesiapan manusia menerimanya (isti’dat). Dua kondisi inilah yang di sebut “qouz nuzul”, busur yang turun dari anugerah absolut Tuhan, manusia dalam kondisi pasif, keluasan dan bobot manusia dalam menerimanya tergantung dari wadah kesiapan manusia, pada titik ini disebut “qous syuud” (busur naik), manusia aktif berikhtiar. Wadah “aktif” itulah yang disebut koleksi bekal  suluk manusia sambil menerima kemurahan anugerah tajalli Tuhan secara “pasif”.

Manusia “diam”  pada saat menerima tajalli, menyampaikan pada manusia jika diperintahkanNya, tetap  bisu, menjadi hiasan dan kebanggan rahasia keterjagaan hati seorang mukmin.

Kondisi amal ibadah, keihlasan, kepasrahan, usaha ikhtiar yang kuat, juga filsafat transenden atau rasionalitas-spiritual, irfan teori bisa menjadi alat dan konten untuk mengkualifikasi keabsahan gerak subtansial-spiritual-ruh manusia (qous syuud-busur naik), wallahualam.