Sikap Iran yang ngotot membela teknologi nuklir, bukan sebuah ambisi untuk menguasai dan dominasi kepentingan layaknya wataknya imperialis. Sikap Iran lebih karena martabat dan harga diri, hak setiap bangsa. Di titik wilayah norma ini Iran bicara di dunia internasional.
Tulisan ini awalnya tugas kuliah New Theologi yang diampu oleh Dr. Zaenal Bagir di IC-Jakarta untuk merespon paper yang ditulis oleh beberapa penulis yang berkutat soal “science dan religion”. Diskusi di kelas seputar sampai sejauh mana science bisa berintegrasi dengan agama Islam. Lalu saya teringat dengan isu nuklir Iran. Menurut saya menarik karena Iran contoh gamblang dan relevan sebagai sebuah negara berlandaskan Islam dan sedang membela mengembangkan nuklir untuk tujuan damai. Ini tidak saja soal isu geopolitik dimana Iran mencoba untuk menjadi pemain di area Timur Tengah, persis seperti sebagian pengamat politik bicara. Bukan pula soal rebutan kapling minyak dan pengaruh kekuasaan.
Sikap Iran yang ngotot membela teknologi nuklir, bukan sebuah ambisi untuk menguasai dan dominasi kepentingan layaknya wataknya imperialis. Sikap Iran lebih karena martabat dan harga diri, hak setiap bangsa. Di titik wilayah norma ini Iran bicara di dunia internasional. Hal ini bila dicari akarnya tidak bisa keluar dari garis Revolusi Islam Iran oleh Imam Khomeini. Sehingga bicara soal science dan agama versi Iran adalah turunan dari garis Islam Syiah, yang menggunakan teologi dan filsafat sebagai basis argumentasi. Semua komentar dan argumetasi dari presiden Iran dan pemimpin spiritual Iran berasal dari teologi dan filsafat Syiah.
Sikap Iran tentang Teknologi nuklir adalah contoh gamblang betapa science Islam sedang diperjuangkan bangsa Iran. Iran di wilayah ketegangan wacana Science dan agama nampaknya cukup menjadi teladan dan terdepan, saat umat muslim di luar Iran mencoba mengislamkan science, atau setidaknya sibuk mengintegrasikan Islam dan science, Iran sudah memilih teknologi nuklir sebagai simbol jihad science. Iran di tingkat praktis kebijakan teknologi, tidak lagi bingung antara kebenaran science dan agama, atau menghadapi dilema krisis identitas, hasil science harus dilegitimasi kebenaran Islam. Nampaknya ini tidak sekedar perkara praktis tetapi di tingkat teologi, filsafat dan fiqih Ja’fari sudah sedemikian padu, dan komandonya itu adalah sosok pemimpin spiritual, Ayatullah Ali Khamenei di bawah bendera Republik Islam Iran, sebuah negara berlandaskan agama Islam bukan di luar Islam, sebuah pilihan sistem ketatanegaraan yang mengundang banyak musuh.
Keputusan penetapan Hari Teknologi Nuklir Iran pada hakikatnya bukan merupakan simbol perjuangan dan solidaritas masyarakat Iran saja, namun di sisi lain juga merupakan dukungan terhadap perjuangan bangsa lain untuk menggapai teknologi tersebut. Inilah universalitas nilai yang harusnya diperjuangkan oleh setiap bangsa. Sudah cukup jelas, setiap negara yang menandatangani perjanjian Non Proliferasi Nuklir (NPT) berhak memiliki program nuklir untuk kepentingan damai. Salah satu bagian dari program nuklir adalah pengayaan uranium. Karena itu, mendesak sebuah negara yang mematuhi NPT agar menghentikan program nuklirnya adalah desakan yang tidak benar, ilegal dan bertentangan dengan amanat NPT. Piagam PBB bahkan mengakui hak setiap negara untuk maju, dan itulah yang diinginkan Iran.
Hanya saja, sikap benar bangsa Iran itu tidak bisa diterima oleh negara-negara maju karena watak ontologis science yang dikembangkan barat (ex-negara-negara imperialis) masih menggunakan jubah kono imperialisme kuno ( ekspansi, dan dominasi). Hal ini tidak saja masalah praktis, tapi psikologi penjajah berikut penyebaran teknologi (sosiologi) terbawa hingga zaman modern. Karena itulah Iran di tekan (embargo) ekonomi, teknologi, hingga diancam secara militer.
Persaingan ketat antara negara-negara besar industri seperti AS, Inggris, Perancis, Cina, Rusia, Jepang, dan sejumlah negara maju lainnya, serta upaya mereka untuk mencegah meluasnya teknologi tersebut di negara-negara lainnya, merupakan bukti pentingnya posisi teknologi nuklir dalam kehidupan moderen dewasa ini. Meski di mata sejumlah negara, teknologi nuklir lebih difokuskan pada produksi bom-bom destruksi massal dengan tujuan-tujuan ekspansionis dan imperialis, namun berdasarkan Traktat Non-Proliferasi Nuklir (NPT), perluasan jenis senjata tersebut dilarang dan pendayagunaan teknologi nuklir sipil merupakan hak setiap negara anggota NPT. Poin yang perlu diperhatikan, nuklir telah menjadi contoh betapa science bila dipadukan dengan teologi Islam Syiah, filsafat Islam Syiah dan fiqih Islam Syiah menghadapi tantangan nyata antara kebenaran dan kebatilan, tidak saja melulu berkutat bingung mengintegrasikan teoritis “science dan agama”. Menempatkan prestasi science di negara Islam adalah nilai universal harus diperjuangkan tentu dengan nilai-nilai Islam yang vis a vis dengan watak nilai imperialis (dominasi dan ekspansi). Tekhnologi nuklir adalah hak setiap bangsa, dan hak itu dipilih Iran karena nilai spiritualnya. (di publikasikan IRIB Indonesia)
21 Desember 2012 pukul 8:16