Debat pro-kontra kasus Rocky Gerung soal etik atau kritik Jokowi makin panas. Apakah pernyataan Rocky Gerung, “Bajingan Tolol” masuk kategori penghinaan pribadi Jokowi atau kritik terhadap kebijakan Jokowi sebagai Presiden. Rocky menganggap bukan penghinaan karena yang dikritik kebijakan publik Jokowi sebagai presiden.Bagaimana menganalisa predikat “Bajingan Tolol” hanya berhubungan dengan kebijakan Jokowi dan tidak berhubungan dengan Jokowi sebagai pribadi (privat). Apa yang di sebut privat, apa yang di sebut publik. Apakah Jokowi sebagai privat dan publik bisa di pisahkan secara mutlak.
Deret pertanyaan diatas yang perlu di jawab, sebelum masuk pada kontruksi hukum. Namun sebelum masuk wilayah hukum dan kesimpulanya, perlu diberi pengantar, seperti apa tipikal karakter berpikir kedua kubu tersebut.
Memahami Tipikal Sruktural Fungsional
Cara berargumen Rocky dalam kontek pembelaan dirinya sebagai seorang oposisi versus kekuasaan adalah struktural fungsional. Dia menganggap dirinya warga negara Indonesia dan Jokowi sebagai presiden, kedua entitas manusia dianggap setara di hadapan hukum (equality before the law). Hak dan kewajibanya, dua arah menurut struktur dan fungsi yang melekat di mata hukum. Keduanya adalah makhluk konstitusional dimana kedirianya sudah di representasikan oleh konstitusi (UUD). Di luar UUD secara gramatikal, maka identitas kedunya sebagai makhluk pribadi (privat) di luar kontek hukum. Basis yang dijadikan legitimasi adalah pijakan kontrak sosial yang memiliki dimensi politik yang di kukuhkan oleh hukum (legal). Relasi Rocky dan Jokowi semata kontrak sosial, melalui mekanisme prosedur demokrasi pemilu. Kontrak sosial itulah yang memberi gen bernama negara Pancasila.
Gen Absolutisme Kebebasan Kantian
Cara berpikir Rocky dan sebagian besar pendukungya sebenarnya menginduk pada salah satu dasar legitimasi kekuasaan Weberian, rasional-konstitusional. Dasar pemikiran ini mengandaikan, bahwa konstitusi identik dengan kebebasan rasionalisme absolut. Konstitusi adalah representasi rasionalitas. Logika yang dipakai adalah logika sirkular. Seluruh argumentasi akan berawal dan kembali ke awal pada relatifitas rasional jutaan warga. Dari rakyat oleh rakyat untuk rakyat, absolutisme rakyat. Demokrasi sama dengan publik. Pribadi (privat) bersifat irasional sejauh tidak ada pasal hukumnya.
Pejabat publik adalah impersonal. Gen teori ini ada pada Kantian, rasio dalam diri manusia secara independen dapat menyelesaikan seluruh masalah profan manusia. Manusia tidak perlu mencari di luar dirinya. Tidak ada nilai yang lebih tinggi selain nilai kebebasan berpikir manusia. Dari sinilah asal mula wilayah privat dan publik.
Implikasinya dalam menafsirkan Pancasila menganggap bahwa kebebasan manusia pada sila 2 Pancasila, dipahami tipikal humanisme absolut. Ketuhanan pada nilai sila Pancasila pertama bukanlah sumber dan pembatas kebebasan manusia (sila ke 2).
Filsafat dasar Hukum dan Politik Pancasila di Indonesia
Sementara cara berpikir pendukung Jokowi yang menganggap pernyataan Rocky sebagai penghinaan sebagai “pribadi dan presiden” sebenarnya menginduk pada filsafat hukum dan politik Pancasila. Hanya saja di ekpresikan dengan ungkapan “budaya ketimuran, etika akademik demi pendidikan politik”. Sumber argumentasinya bahwa publik dan privat tidak bisa dipisah secara absout melalui batasan hukum. Identitas manusia konstitusional antar warga negara setara sebagai manusia, tetapi tidak setara secara struktur dan fungsi hak dan kewajibanya. Baik Rocky dan Jokowi setara secara hukum sebagai manusia (warga negara), tetapi tidak setara (hirarkis) dalam struktur fungsi di mata hukum. Presiden Jokowi adalah panglima tertinggi di TNI Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara., jika dalam keadaan perang, mengharuskan seluruh warga dewasa ikut berperang, maka Rocky sebagai warga harus wajib ikut perang.
Konstitusi adalah manifestasi nilai ideologi Pancasila atau maksimalnya manifestasi nilai dalam pembukaan UUD. Kebebasan demokrasi hak warga negara dan aparatur negara di batasi oleh nilai ideologi Pancasila atau nilai yang ada dalam pembukaan UUD beserta UUD dibawahnya. Asumsi pertama inilah yang harus dipegang. Bukan merekontruksi secara bebas tanpa batas tafsir konstitusi per pasal sehingga kehilangan induk makna.
Evaluasi pihak pro dan kontra Rocky
Setelah menilai dasar basis legitimasi cara berpikir baik pro Rocky dan Pro Jokowi, ada baiknya kita menelaah konstruk hukum pada frase “penghinaan dan kritikan”. Lepas dari latar belakang kesesuaian zaman apakah menganut kerajaan dan demokrasi. Sudah atau belum masuk delik aduan. Setidaknya kita membaca secara harfiah dalam konstitusi.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
Pasal 240
“Yang dimaksud dengan “menghina” adalah perbuatan yang merendahkan atau merusak kehormatan atau citra pemerintah atau lembaga negara, termasuk menista atau memfitnah.
Menghina berbeda dengan kritik yang merupakan hak berekspresi dan hak berdemokrasi, misalnya melalui unjuk rasa atau menyampaikan pendapat yang berbeda dengan kebijakan pemerintah atau lembaga negara.
Dalam negara demokratis, kritik menjadi hal penting sebagai bagian dari kebebasan berekspresi yang sedapat mungkin bersifat konstruktif, walaupun mengandung ketidaksetujuan terhadap perbuatan, kebijakan, atau tindakan pemerintah atau lembaga negara.
Pada dasarnya, kritik dalam ketentuan ini merupakan bentuk pengawasan, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan masyarakat.”
Ayat (1)
“Yang dimaksud dengan “pemerintah” adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia yang dibantu oleh Wakil Presiden dan menteri sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Yang dimaksud dengan “lembaga negara” adalah Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, dan Mahkamah Konstitusi.”
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
Pasal 218
Ayat (l)
“Yang dimaksud dengan “menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri adalah perbuatan yang merendahkan atau merusak nama baik atau harga diri, termasuk menista atau memfitnah.”
Ayat (2)
“Yang dimaksud dengan dilakukan untuk kepentingan umum” adalah melindungi kepentingan masyarakat yang diungapkan melalui hak berekspresi dan hak berdemokrasi, misalnya melalui unjuk rasa, kritik, atau pendapat yang berbeda dengan kebijakan Presiden dan/atau Wakil Presiden.
Dalam negara demokratis, kritik menjadi hal penting sebagai bagian dari kebebasan berekspresi yang sedapat mungkin bersifat konstruktif, walaupun mengandung ketidaksetujuan terhadap perbuatan, kebijakan, atau tindalan Presiden dan/atau Wakil Presidern.
Pada dasamya, kritik dalam pasal ini mempakan bentuk pengawasan, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan masyarakat.”
UU ITE
Jerat pasal pencemaran nama baik di media sosial selain dalam KUHP juga dapat merujuk pada Pasal 27 ayat (3) UU ITE jo. Pasal 45 ayat (3) UU 19/2016 yang mengatur setiap orang dengan sengaja, dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik dipidana penjara paling lama 4 tahun dan/atau denda paling banyak Rp750 juta.
Kesimpulan
Setidaknya terdapat beberapa kata kunci yang termuat dalam konstitusi diatas, “menghina, mengkritik, konstruktif, demokrasi, kepentingan umum, kehormatan atau harkat dan martabat diri”.
Olehkarena itu secara gramatikalnya, apakah frase “Bajingan Tolol” masuk kategori “penghinaan dan kritikan”. Jawabanya adalah, pernyataan Rocky tersebut menghina secara destruktif baik sebagai pribadi dan presiden dengan menggunakan logika fallasi (sesat) ad hominem. Apakah memuat kritikan, jawabnya ia, memuat kritikan secara destruktif. Karena terjadi relasi kuat antara umpatan “Bajingan Tolol” dan kesimpulan Jokowi menjual negara ke Cina. Kenapa masuk kategori destruktif, karena frase “Bajingan Tolol” per se adalah ungkapan penghinaan, dimana muatan (isi) argumentasi kritiknya tidak sebanding dan tidak relevan. Apakah kebijakan Jokowi sesuai yang di tuduhkan Rocky, membutuhkan dallil fakta telaah detil lebih lanjut.
Pernyataan Roky, baik sebagai ”penghinaan dan kritikan” keduanya masuk dalam dalam konstruk pemikiran konstitusi Negara Republik Indonesia. Rocky sebagai warga negara telah menghina presiden dengan frase “Bajingan dan Tolol” baik sebagai presiden dan warga negara. Namun pada saat yang sama, Rocky sebagai warga negara yang baik, juga telah melakukan kritik terhadap kebijakan Jokowi soal Ibu Kota Nusantara (IKN) dan Omni Bus Law, keduanya mewakili kepentingan umum sebagaimana dalam konstitusi.
Intinya adalah frase ”penghinaan dan kritikan” dikembaikan pada definisi apa itu hakekat manusia konstitusi Indonesia. Fundasionalisme Filsafat Pancasila semestinya menjadi dasar pemikiran “kontruk hukum” di Indonesia. Bahkan konstruk politik Indonesia sebagai bahan legitimasi hukum. Kontruk hukum per pasal harus merujuk pada makna objektif (Pancasila). Bukan dikembalikan pada relatifitas jutaan warga atau kepada para pakar hukum yang miskin wawasan fallasi logika hukum.
Rocky manusia apa ?
Tipikal dan gaya berpikir Rocky ini, seperti dalam dunia filsafat, disebut sebagai upaya dekontruksi, artinya destruksi sebagai lawan dari konstruksi. Dekontruksi fokus pada perang diskursus, perang wacana, subtansinya perang itu sendiri. Sementara konstitusi Indonesia hanya mengenal “kritik konstruktif” , kiritik desktruktif tidak ada dasar hukumnya.
Roky juga tidak tahu dan tidak mau tahu soal solusi. Tugas dia, sebagai filsuf flamboyan. Tingkatanya pada kaum politikus retoris dan lawyer, penikmat ketenaran dan pemujaan diri. Sang pelopor kaum sofis Indonesia yang tidak percaya pada kebenaran, musuh kaum Aristoteles dan Socrates yang percaya pada alur pakem logika dan kemungkinan kebenaran dari lawan bicara.
Roky suka melawan logika yang benar, dia menggunakan logika fallasi tidak relevan (sesat/fallacies of irrelevance). Fallasi tu quoque (tidak sesuai isi argumen), circumstantial (kesimpulan yang tidak relevan), guilt by association (rasa bersalah karena asosiasi), abusive (kasar) ad hominem. Karakter umum argumen ad hominem, yaitu alih-alih berurusan dengan esensi argumen, tetapi menyerang karakter pribadi untuk menjatuhkan dan menghina lawan.
Rocky juga gemar menggenalisir masalah (fallasi), membuat definisi kata dari dirinya sendiri, tidak menerima dan cenderung mengabaikan definisi orang lain sebagai bahan dialogis. Padahal subjek logika adalah kekuatan makna kata dari definisi dan argumentasi yang relevan. Rocky membuat definisi berdasar tujuan subjektif dari dirinya sendiri, kemudian di manipulasi, di retorikaan dengan secara propagandis atas nama “akal sehat”. Padahal sebenarnya menginduk pada akal fallasi (sesat).
Rocky adalah tipikal pengikut fanatik Nietzsche dan Sartre. Percaya pada kebenaran unik dari dirinya sendiri (katak dalam tempurung). Bergaya agnostik, dan malu disebut ateis. Pemuja humanisme absolut. Pemuja kebebasan “untuk ini dan itu”, bukan kebebasan “dari”. Minder, lembek dan mandul di depan kapitalisme, imperialisme, neoimperialisme, kolonialisme, IMF dan World Bank.
Rocky versus BPIP
Rocky tidak percaya Pancasila memiliki nilai ideologi secara spesifik, sehingga membatasi kebebasanya sebagai warga negara dalam mengkritik kebijakan pemerintah. Rocky, dengan kata lain sebenarnya membawa ideologi kebebasan humanisme absolut khas produk revolusi Prancis mengisi dasar pemikiran Pancasila sebagai sumber dasar hukum. Memberi dasar filosofi fallasi sebagian besar argumen ruh demokrasi reformasi dan amandemen UUD.
Sementara disisi lain, Badan Pembina Ideologi Pancasila (BPIP) yang menjadi bagian dari produk kebijakan Jokowi, semestinya memberikan penerangan kepada publik batasan penghinaan dan kritikan. BPIP harus mensyarah pasal penghinaan dan kritikan, harus menunjukkan kelasnya sebagai kaum elit pemikir dan ideolog yang di gaji negara. BPIP harus menerangkan fundasionalisme Pancasila untuk melawan logika fallasi Rocky beserta “ideologi absolutisme-humanisme kebebasan” yang berasal dari slogan”Liberty, Equality, Fraternity” gaya baru.
Jokowi tidak perlu melakukan delik aduan ke polisi. Tetapi menfungsikan para PNS dan pemikir ideologi Pancasila yang ada di BPIP agar menerangkan pasal tentang “penghinaan dan kritikan” secara rasional dan kuat. Gaji yang di terima oleh para pegawai BPIP adalah amanah untuk menyelesaikan diskursus panas pro kontra Rocky Gerung. Amanah Penderitaan Rakyat (APR) yang merindukan dapat mengalahkan dan “membina” argumen Rocky secara telak, sebagaimana yang di tantang Rocky, “duel argumen”. Hayo PNS BPIP, mana kehebatanmu dalam membina ideologi Pancasila !!!.