Proposisi Self Evident sebagai Cermin Bersama

Tidak bisa di pungkiri, banyak kemajuan sains dihasilkan dari dunia barat. Berlimpahkanya produk teknologi telah membawa kesejahteraan sejak paska revolusi Prancis. Dunia Islampun meniru, memodifikasi bahkan menduplikasi “rasionalitas barat instrumental dan subjektif “menjadi fondasi memahami Islam.

Tulisan berikut akan mengurai dari sisi pergeseran makna filsafat klasik menuju modern dan potensi proposisi badihiyat (self evident) menjadi cermin bersama.

Salah satu cara melihat pemikiran dunia barat dibangun adalah memperhatikan bagaimana para pemikirnya memahami filsafat dan bagaimana dunia Islam meresponya. Setidaknya bisa dibagi dalam beberapa era, sains modern, transmodern, posmodern.

Karakter Sains Modern
Ciri khas era sains modern adalah telah mengubah makna filsafat dari pengertian klasik, mencari dan menemukan realitas (truth, hikmah) menggantinya dengan natural sains. Kegiatan filsafat dianggap bukan sebentuk sains, kemudian menempatkan natural sains menjadi metode universal untuk melihat realitas (sense).

Upaya itu dilakukan oleh sponsor utamanya Decartes dan Kant, kemudian ditajamkan secara ekstrim oleh kaum empiris dan positifis. Oleh kaum empiris (Thomas Hobbes dan John lock) dan postifis (Comte), justifikasi sains semata dengan lima sensor indera.

Filsafat dianggap sebagai bagian dari sains mental. “I am exist, there are for I am” (Decartes),dipakai sebagai panduan dan menjadi benih manusia soliter barat. Pintu pengetahuan yang masuk ruang mental dihukumi semata kognitif rasional.

Sementara Kant memberi anyaman menggiurkan, membagi pengetahuan menjadi dua, “pengetahuan apriori”, non via pengalaman manusia dan “pengetahuan aposteriori”, via pengalaman manusia. Fisafat masuk kanal aposterori, sehingga menjadi disiplin ilmu bagian dari pengalaman kebudayaan. Waktu dan tempat sebagai wadah sains pengalaman di scan dan masuk saringan 12 kategori. Metafisika sebagai filsafat dalam pengertian klasik di tiadakan. Kegiatan berfilsafat bukan misteri lagi. Filsafat dianggap bukan sains, semacam kebudayaan, humanity dan bersifat dependen.

Pola berpikir ini menjadi budaya modern dan menghasilkan berlimpah ruah barang kemajuan. Oleh para pemikir muslim mengira kemajuan fisik ini dihasilkan dari metode saintifisme (natural sains). Pola ini kemudian diadopsi agar kemajuan terjadi di dunia Islam dengan cara menafsirkan sumber ajaran Islam dengan natural sains. Alquran di tafsir dengan natural sains. Para pemikir tersebut diantaranya Muhammad Abduh (Mesir), Ahmad Khan (India) dan Bazarghan (Iran).

Karakter Transmodern
Kelompok ini menganggap realitas terbentuk dari realitas relatif manusia. Masing-masing manusia memahami realitas. Realitas hanya bisa dijangkau via realitas. Wakil pemikir kelompok ini diantaranya Heidegger, Husserl.

Posmodern
Posmodern adalah modern tanpa jubah. Mereka menganggap realitas semata konstruksi mental relatif. Memahami realitas artinya memahami kontruksi realitas yang terbentuk dalam benak subjektif. Tokoh Islam yang mengikuti salah satu nya Al-Jabiri.

Ketiga karakter berpikir ini berpengaruh kepada dunia Islam, baik sadar ataupun tidak sadar. Setidaknya terjadi dalam kurun 100 tahuan terakhir. Hingga kemudian Tabatabai, seorang ulama sekaligus filsuf muslim kontemporer memberi alternatif, “proposisi badihiyat”.

Proposisi Badihiyat (self evident)
Tabatabai, mufasir penulis tafsir Mizan mengenalkan suatu pola berpikir simpel, yaitu “badihiyat proposition”. Dalam logika pengetahuan “Necessary”  dipadankan dengan pengetahuan “badihiyat” beroposisi dengan  pengetahuan konsep (memerlukan taaqul).

Dalam hubunganya dengan sebab akibat, proposisi badihiyat di dahulu oleh “necessary being”, sebab pertama, Tuhan sebagai primary berpikir. Sebab pertama kemunculanya tanpa membandingkan dengan sesuatu yang lain, karena jika mengadakan pembandingan maka bukan pertama lagi, dan akan terjadi daur (infinite) “couse and effect”. Atau jika “couse and effect” terjadi secara simultan, sebab bisa menjadi akibat atau sebaliknya maka posisi “necessary being” akan berada di tengah, dan tidak bisa menjadi yang utama.

Proposisi badihiyat juga disebut proposisi intuitif, seperti ungkapan “I am being” , atau senada dengan “keseluruhan lebih besar daripada sebagian”, atau proposisi psikologis, saya lapar, saya bahagia, saya jatuh cinta, yang kesemuanya mengarah pada kesatuan “known” dan “knower”. Proposisi ini dalam pengertian tertentu bersifat tidak terbatas, bisa menjadi fondasi apapun, bisa di share satu sama lain, dan bersifat general.

Terdapat hubungan yang dekat antara “necessary being” dengan proposisi badihiyat. Pernyataan “I am being” semakna dan menjadi bagian dari “being dalam arti umum, dan berhubungan secara eksistensial gradatif (intuisi intelek) dengan being dalam makna khusus (Tuhan).

Modern Science                 Posmodern                  Transmodern                     Dunia Islam
============================================================================
Reality is not science    Reality is constructed            Reality from reality          Proposisi badihiyat

Proposisi badihiyat sebagai fondasi berpikir memerlukan perluasan kesadaran, dia hidup, dan bisa berkembang membesar. Dia tidak sekedar kognitif, tapi intuitif. Kesadaran ini berpotensi besar mampu meletakan kegiatan berfilsafat ketempat semula, yakni menemukan realitas (truth). Kegiatan berfilsat karenanya bisa mengubah paradigma sains modern, transmodern dan posmodern. Yang semula subjektif, sebatas konstruk mental, terjerat ruang waktu pengalaman manusia, menjadi kegiatan benar benar objektif-intutif sekaligus rasional, tasawur (konsep) harmonis dengan tasdiq (putusan). Proposisi ini berpotensi mampu menjadi cermin bersama (Barat dan Islam).