Sekilas Sejarah Filsafat Islam
Salah cara mengenal dunia Islam kontemporer adalah dengan cara melihat konsistensi aspek alur/sambungan (stream) filsafat dari waktu ke waktu. Para ulama muslim tradisioanal mengenal betul medan tantangan setiap zaman.Olehkarenanya mereka berkarya berbasis problem tantangan zaman dan menjawabnya dari warisan tradisi yang mengakar kuat. Tulisan berikut menjelaskan secara ringkas sekilas perkembangan sejarah Filsafat Islam.
Perkembangan Filsafat di zaman Islam dengan semakin meluasnya daulah Islam dan kecenderungan masyarakat yang berbeda dalam hidup, memberikan warna pada agama. Banyak berdiri pusat pembelajaran dunia yang datang dan masuk ke dalam wilayah Islam.
Telah terjadi pertukaran ide-ide besar di antara para sarjana, pertukaran buku di antara perpustakaan dan terjemahan buku-buku dari berbagai bahasa: Hindi, Farsi, Yunani, Latin, Ibrani, dll, ke dalam bahasa Arab, yang telah menjadi bahasa internasional secara de facto dalam dunia Islam.
Hal ini mempercepat laju pengembangan filsafat, ilmu pengetahuan dan kerajinan (industri tradisional). Banyak buku para filsuf Yunani dan Aleksandria, dan pusat-pusat pembelajaran terkemuka lainnya diterjemahkan ke dalam bahasa Arab.
Pada awalnya, kurangnya bahasa umum dan istilah-istilah teknis yang disepakati oleh para penerjemah, dan ketidaksesuaian mengenai prinsip-prinsip Filsafat Timur dan Barat membuat pengajaran filsafat menjadi sulit dan membuat penelitian dan seleksi di antara prinsip-prinsip ini menjadi lebih sulit.Tetapi tidak lama kemudian orang-orang jenius seperti Abū Naṣr Fārābī dan Ibn Sīnā dapat mempelajari seluruh pemikiran filosofis pada waktu itu dengan upaya yang konstan.
Dengan talenta yang diberikan Tuhan yang berkembang di bawah pancaran cahaya wahyu dan penjelasan para Imam, mereka kemudian dapat meninjau dan memilah diantara prinsip-prinsip filosofis yang tepat dan menyajikan sistem filsafat yang matang, dengan memasukkan ide Platonis, Ide-ide Aristoteles dan pemikiran Neo-Platonik dari Alexandria, dan ide-ide dari mistikus oriental (‘urafā). Juga termasuk pemikiran yang baru dan dengan demikian mampu unggul atas semua sistem Filsafat Timur dan Barat, meskipun bagian terbesar dari sistem itu dari Aristoteles, dan untuk alasan ini Filsafat mereka memiliki warna Aristoteles.
Kemudian, sistem filosofis ini berada di bawah kaca pembesar kritis para pemikir seperti Ghazālī, Abū al-Barakāt Baghdādī dan Fakhr Rāzī. Di sisi lain, mengambil keuntungan dari karya-karya orang bijak dari Iran kuno, dan membandingkannya dengan karya-karya Plato, Stoa dan Neo-Platonis. Suhravardī mendirikan sekolah baru filsafat, yang disebut filsafat iluminasi, yang memiliki lebih banyak Warna platonis. Dengan cara ini, lahan baru telah dipersiapkan untuk pertemuan antara ide-ide filosofis, perkembangan dan pematangannya.
Berabad-abad kemudian, para filsuf besar seperti Khwājah Naṣīr al-Dīn Ṭūsī, Muḥaqqiq Dawānī, Sayyid Sadr al-Dīn Dashtakī, Syaikh Bahā’ī dan Mīr Dāmād mampu melengkapi pengayaan Filsafat Islam dengan ide-ide cemerlang mereka sendiri. Lalu datanglah giliran Ṣadr al-Din Syīrāzī yang memperkenalkan sistem filsafat baru dengan kejeniusan dan inovasinya sendiri yang tersusun dari unsur-unsur harmonis, Filsafat Peripatetik, iluminasi dan syuhud mistik, yang dengannya ia menambahkan pemikiran yang mendalam dan ide-ide yang berharga, dan ia menyebutnya dengan teosofi transenden (ḥikmat muta’āliyyah).
Filsafat Islam kontemporer, sebagian ide besar berasal dari karya Ṣadr al-Din Syīrāzī (w. 1641), umumnya dikenal sebagai Mulla Ṣadrā dengan gelar kehormatan, Ṣadr al-Muta’allihīn, kebanggaan para teosofis.
Ṣadr al-Muta’allihīn adalah seorang filsuf yang membangun sebuah sistem yang disebut Ḥikmah al-Muta’āliyyah (teosofi transenden) yang mencakup unsur-unsur pemikiran Ibn Sina (d. 1037), Suhravardī (w. 1191), Ibnu ‘Arab (d. 1240) dan para teolog Syi’ah seperti Khwājah Naṣīr al-Dīn Ṭūsī (wafat tahun 1274) dan ‘Allāmah Ḥillī (1325).
Pengaruh Ṣadra meningkat hanya secara bertahap setelah kematiannya, tetapi pada abad kesembilan belas pikirannya telah memantapkan dirinya di antara para mahasiswa filsafat Syiah, dan Sharḥ al-Manzūmah dari Ḥakim Sabzavārī (meninggal 1878), yang sesuai dengan semua tesis utama teosofi transenden Ṣadrā, menjadi teks standar bagi siswa yang secara pribadi belajar filsafat di seminari (hauzah).
Pada paruh kedua abad kedua puluh, filsuf syiah dihadapkan oleh minat yang semakin meningkat aliran Marxisme di kalangan pemuda, dan mereka berusaha untuk memenuhi tantangan filosofis ini dengan penjelasan prinsip-prinsip teosofi transenden.Untuk tujuan inilah ‘Allāmah Ṭabāṭabā’ī menulis Uṣul-e Falsafah va Ravish-e Ri’ālīsm (Asas-Asas Filsafat dan Metode Realisme) dalam bahasa Persia, dan mengikuti kepemimpinannya, di Najaf, Shahīd Bāqir Ṣadr menulis Falsafatunā nya (Filsafat Kita).
Perang ideologis antara Marxisme dan Islam menyebabkan beberapa inovasi dalam Filsafat Islam. Hingga abad ke-20, karya-karya dalam Filsafat Islam ditulis untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh para pemikir Muslim dalam konteks budaya Islam.
Tidak ada referensi yang dibuat untuk pemikiran Eropa modern. Namun, dengan ancaman Marxisme, para filsuf Muslim mengarahkan diri mereka pada pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh orang-orang Eropa, terutama untuk pertanyaan-pertanyaan epistemologis.
Sementara Filsafat Islam klasik terutama berkaitan dengan isu-isu metafisika, fitur penting dari filsafat Islam abad kedua puluh adalah perhatiannya terhadap epistemologi.
Allāmah Ṭabātabāī’s dalam Uṣūl-Falsafah adalah karya pertama Filsafat Islam yang berisi diskusi yang menonjol dan panjang tentang isu-isu epistemologis yang terkait dengan Barat modern (khususnya Marxis). Pemikiran dan perhatian serupa diberikan pada masalah yang sama oleh Bāqir Ṣadr dalan Falsafatūnā.
Dalam karya-karya ini, skeptisisme diserang dan kapasitas akal dibela. Para rasionalis Eropa modern, dengan perhatian yang diberikan terutama kepada Descartes, jelas lebih disukai para kaum empirisis dan Kantian.
Alasan lain perhatian yang diberikan kepada Filsafat Eropa Modern dan masalah-masalahnya adalah bahwa Filsafat Barat telah mulai masuk ke universitas-universitas dunia Islam (di mana filsafat Islam, sayangnya, sebagian besar diabaikan ), dan terjemahan beberapa karya filsafat Eropa mulai muncul dalam bahasa Arab dan Persia.
Salah satu guru tradisional pertama yang belajar di Barat pada abad ke-20 dan kembali ke seminari adalah Sayyid Muḥammad Kāẓim ‘Aṣṣār, yang belajar di Perancis, kemudian mengajar di Najaf, setelah itu di Universitas Teheran.
‘Allāmah Ṭabāṭabā’ rupanya berkenalan dengan Filsafat Barat melalui terjemahan bahasa Arab pada saat di Najaf. Di Iran, Filsafat Barat diajarkan di Universitas Teheran sejak didirikan dan bahkan lebih awal. Diantara kalangan para ulama Syi’ah, beberapa diskusi Filsafat Barat telah dimulai. Sementara tujuan utama dari Prinsip-Prinsip Filsafat Allāmah adalah untuk memenuhi tantangan Marxisme, disamping itu kita bisa menemukan bukti di halaman-halaman bukunya tentang perhatian yang lebih dalam kepada Filsafat Kant dan Hume.
Jadi, proyek ‘Allāmah untuk mendasarkan reformasi doktrin di seminari-seminari dengan teosofi transenden dimulai dengan memaparkan pandangan terhadap pemikiran Barat pada umumnya, dan juga pada ilmu-ilmu alam. (Muhammad Ma’ruf-Peneliti Pemikiran Barat dan Islam).
Bottom of Form