Pancasila Sebagai Pedoman Solusi Miras

Sulit di bantah, problem praktis Miras di Indonesia adalah bahwa pemerintah Indonesia sejak dulu sudah tahu bahwa Miras adalah buruk bagi individu dan sosial, tetapi tetap saja di legalkan.

Terdapat hubungan sebab dekat dan jauh antara pelegalan yang menciptaan pra kondisi dan kecanduan serta dampak buruk yang lebih besar. Sebuah fenomena kontradiksi antara pikiran dan produk kebijakan yang diakibatkan lemahnya pemahaman atas validitas nilai Pancasila sebagai dasar pertimbangan membuat hukum untuk manfaat terbaik bagi warganya.       

Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) meneken Peraturan Presiden Nomor 74 Tahun 2013 dengan pertimbangan penguat secara hukum keberadaan Miras, pentingnya pengawasan dan pengendalian di 34 propinsi. Sementara Jokowi meneken Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2021 yang telah di cabutnya  dengan pertimbangan transformasi pengembangan dari industri kecil menuju industri Miras yang lebih besar di 4 propinsi. Presiden Jokowi sebenarnya tidak melegalkan miras dari yang sebelumnya ilegal, tetapi bermaksud mengembangkan kebijakan industri miras secara lebih expansif  yang sebelumnya sudah legal.

Sementara problem teoritis persoalan pelegalan dan pelarangan Miras Indonesia adalah kekaburan prinsip pertimbangan utama tentang pelegalan miras. Pertama, Miras dipandang sesuatu yang buruk secara mutlak, dengan memegang prinsip kehati-hatian secara maksimal, kedua, Miras adalah sesuatu yang buruk tidak mutlak, dengan prinsip kehati-hatian secara minimal, ketiga, Miras adalah sesuatu baik secara mutlak, tidak perlu hati hati. Tulisan ini akan mengurai dan memberi solusi atas persoalan tersebut.

Definisi Miras

Istilah Miras, baik definisi hukum negara Indonesia maupun agama secara subtantif sama. Miras bisa di padankan dengan “Khamar” (bahasa Arab: خمر‎) sebuah istilah dalam Islam untuk “sari anggur yang difermentasikan” atau arak. Secara garis besar ditujukan kepada hal yang memabukkan secara umum, seperti candu dan ganja. Setiap hal yang memabukkan adalah khamar, dan setiap khamar diharamkan. Khamar terbuat dari dua tanaman, anggur dan kurma.

Minuman keras berasal dari Likeur (Latin),  Liqueur (Inggris), Liqueur (Prancis).  Liquifacere artinya “melarutkan” adalah minuman beralkohol rasa manis dengan perisa buah, herbal, rempah-rempah, bunga, biji, akar, tumbuhan, kulit kayu, dan kadang-kadang krim. Likeur mendapatkan aroma dari bahan ganda rasa yang terlarut dalam alkohol.

Menurut Kepres No. 3, Tahun 1997, Miras di definisikan secara lebih tehnis dalam ilmu Kimia,

“Minuman yang mengandung ethanol yang diproses dari bahan hasil pertanian yang mengandung karbohidrat dengan cara fermentasi dan destilasi atau fermentasi tanpa destilasi, baik dengan cara memberikan perlakuan terlebih dahulu atau tidak, menambahkan bahan lain atau tidak, maupun yang diproses dengan cara mencampur kosentrat dengan ethanol atau dengan cara pengenceran”

Sementara Perpres no 74, Tahun 2013, pasal 1, Miras di definisikan secara tehnis dan sebagai fenomena adat;

  1. Minuman Beralkohol adalah minuman yang mengandung etil alkohol atau etanol (C2HSOH) yang diproses dari bahan hasil pertanian yang mengandung karbohidrat dengan cara fermentasi dan destilasi atau fermentasi tanpa destilasi.
  2. Minuman Beralkohol Tradisional adalah Minuman Beralkohol yang dibuat secara tradisional dan turun temurun yang dikemas secara sederhana dan pembuatannya dilakukan sewaktu-waktu, serta dipergunakan untuk kebutuhan adat istiadat atau upacara keagamaan.

Secara tegas, dua definisi tersebut mengikut definisI ilmu Kimia seperti susunan, struktur, sifat, dan perubahan materi. Bukan dalam ilmu Farmasi, yakni ilmu membuat obat dari bahan alam maupun sintetik yang cocok dan nyaman untuk didistribusikan dan digunakan dalam pencegahan dan pengobatan penyakit. Artinya  Perpres tersebut tidak maksudkan melegitimasi bahan alkohol sebagai obat, tetapi murni pertimbangan ekonomi dan adat.

Islam dan agama lain

Umat Islam hampir dipastikan jatuh pada pilihan prinsip pertama, “Miras dipandang buruk secara mutlak” di dasarkan pada tek agama dan dampak buruk bagi individu dan sosialnya, sehingga implikasinya tidak perlu ada pengendalian, karenanya kekawatiran penyalahgunaan yang menyebabkan gangguan kesehatan dan ketertiban menjadi nol.

Alquran al-Baqarah; 219:

“Mereka bertanya kepadamu tentang khamr dan judi. Katakanlah: ‘Pada keduanya terdapat dosa yang besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya.’ Dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah: ‘Yang lebih dari keperluan.’ Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu supaya kamu berpikir.”

Alquran al-Maidah ; 90

“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.”

Alquran Annisa ; 43:

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, (jangan pula hampiri masjid) sedang kamu dalam keadaan junub, terkecuali sekadar berlalu saja, hingga kamu mandi. Dan jika kamu sakit atau sedang dalam musafir atau datang dari tempat buang air atau kamu telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak mendapat air, maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci); sapulah mukamu dan tanganmu. Sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun.”

Anggapan Miras buruk secara mutlak bukan hanya secara eklusif milik ajaran Islam, dalam ajaran Kristen, Hindu, Budha, Kong Hucu, memiliki semangat yang sama, cenderung menganggap Miras sesuatu yang buruk, meski tidak setegas dan selugas umat Islam.

Semua agama diatas, dari sisi meminum Miras, menganjurkan masing-masing umatnya untuk menghindarinya. Akan tetapi air berkadar alkohol untuk kepentingan manfaat kesehatan dalam ilmu kedokteran dianggap sebagai air yang suci. Sehingga penyalahgunaan yang dapat menimbulkan kecanduan dan pemanfaatan kadar alkohol untuk kesehatan menjadi kata kunci pembatasan kandungan alkohol.

Buddha

Agama Buddha menganjurkan untuk menjauhkan diri dari miras dengan berlandaskan pada buku Paritta suci: 30: “Menjauhi melakukan kejahatan, menghindari minuman keras, tekun melaksanakan dharma, itulah berkah utama.”

Larangan minum alkohol atau minuman memabukkan juga terdapat dalam kitab Manu Smriti Bab 9 ayat 225, Rigved Book 8 hymn 2 ayat 12 dan Rigved Book 8 hymn 21 ayat 14, Manu Smriti Bab 11 ayat 151, Manu Smriti Bab 7 ayat 47-50,.

Kong Hu Cu

Agama Kong Hu Cu menganggap pengguna miras sebagai orang yang tidak berbakti pada agama. Hal tersebut didasari dari Kitab Mengzi jilid IV B Li Lo 30.0. salah satunya yaitu suka berjudi dan mabuk-mabukan serta tidak memperhatikan pemeliharaan terhadap orang tuanya.

Kristen

Kitab Imamat 9:8-9, Tuhan berfirman kepada Harun, “Janganlah engkau minum anggur atau minuman keras, engkau serta anak-anakmu, supaya kamu jangan mati. Itulah suatu ketetapan untuk selamanya bagi kamu turun temurun.”

Korintus 6:10 “Pencuri, orang kikir, pemabuk, pemfitnah dan penipu tidak akan mendapat bagian dalam Kerajaan Allah.”

Amsal 23:20-21a “Janganlah engkau ada di antara peminum anggur dan pelahap daging. Karena si peminum dan si pelahap menjadi miskin.”

Namun aspirasi masing-masing umat beragama yang  tentu saja menginginkan Miras di larang di Indonesia sebenarnya tidak di akomodasi pemerintah, karena tidak ada keterangan hukum yang melarangnya.

Pemerintah

Sementara dari posisi pemerintah, jatuh pada pilihan prinsip premis kedua, “Miras adalah buruk tidak mutlak”.  Sebagai bukti tidak ada pelarangan dari sisi hukum, namun di awasi dan kendalikan dengan perpres 74 tahun 2013. Sehingga Prespress 74 Tahun 2013 yang di tanda tangani presiden SBY itu berfungsi memperkuat dasar hukum pelegalan Miras. Kita perhatikan ambiguitas menimbang dari perpres tersebut;

“Bahwa berdasarkan Putusan Mahkamah Agung Nomor 42 P/HUM/2012 Tanggal 18 Juni 2013 yang menyatakan Keputusan Presiden Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengawasan dan Pengendalian Minuman Beralkohol tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan hukum, dipandang perlu untuk mengatur Kembali pengendalian dan pengawasan terhadap pengadaan, peredaran, dan penjualan minuman beralkohol sehingga dapat memberikan perlindungan serta menjaga kesehatan, ketertiban dan ketentraman masyarakat dari dampak buruk terhadap penyalahgunaan minuman beralkohol”

Arti “dikendalikan” adalah bahwa pemerintah sudah tahu “Miras itu buruk” dan mengakui dampak buruk kecanduan penyalahgunaan miras pada kesehatan individu, dampak terhadap ketertiban sosial dan nyawa orang lain. Tidak mutlak buruk dengan bukti pemerintahan membolehkan dengan perpres tersebut. Perpres 74 tahun 2013 adalah tentu saja berstatus dasar hukum miras, meski diberi judul, “PENGENDALIAN DAN PENGAWASAN MINUMAN BERALKOHOL”.

Kapitalis Miras dan Pendukung Kearifan Lokal Miras

Posisi kelompok kapitalis Miras dan pendukung “kearifan” lokal budaya Miras jatuh pada prinsip dan premis ketiga, “Miras adalah sesuatu yang baik secara mutlak”, karena potensi keuntungan penjualan Miras dan pelestarian budaya Miras. Miras dianggap sebagai fenomena kearifan yang melekat pada adat. Sementara kearifan tersebut sebagai dasar moral industrialisasi miras.  Lokalitas miras atau kearifan lokal dipandang sebagai ekpresi kebinekaan vis a vis universalitas nilai dalam agama, terutama, Islam.

Aspirasi kaum kapitalis Miras dan pendukung kearifan lokal Miras ini di akomodasi oleh pemerintah melalui Perpres 74 Tahun 2013, Pasal 8

“Bupati/Walikota dan Gubernur untuk Daerah Khusus Ibukota Jakarta melakukan pengendalian dan pengawasan terhadap produksi, peredaran dan penjualan Minuman Beralkohol Tradisional untuk kebutuhan adat istiadat atau upacara keagamaan di wilayah kerja masing-masing”.

Adanya pencabutan Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2021 oleh presiden Jokowi yang sebelumnya dimaksudkan membatasi investasi industri Miras dan di lokalisir di empat propinsi sebenarnya tidak mengubah status Miras di Indonesia menjadi illegal, karena  perpres 74 tahun 2013 masih berlaku. Bahkan status legal tersebut membolehkan Miras boleh di jual di tiga puluh empat propinsi, tidak hanya empat propinsi. Sehingga status pencabutan itu tidak bisa dimaknai sebagai upaya diskriminatif dan pembelaan politik terhadap mayoritas muslim. Namun yang lebih tepat, dengan pelegalan Miras oleh pemerintah Indonesia sejak dahulu, membuktikan diskriminasi terhadap semua agama di Indonesia, terutama Islam. Karena pelegalan Miras adalah suatu bentuk akomodasi kebijakan secara spesifik terhadap kepentingan industri miras baik skala kecil maupun besar. Legalitas Miras artinya juga  mendukung  kebiasaan (habit) meminum minuman keras.

Secara tegas dapat di katakan, menganggap budaya miras ekuivalen dengan kearifan lokal merupakan bentuk manipulasi hakekat kearifan lokal yang sudah di presepsi oleh publik sebagai bentuk pengertian kebaikan secara umum. Karena sesuatu dapat di katakan arif, secara rasional tentu tidak bertentangan dengan manfaat kesehatan jiwa dan raga manusia sebagai individu dan sosial.

Subtansi Masalah

Lalu timbul pertanyaan penulis, sebenarnya apa subtansi masalahanya?….jawaban penulis sangat sederhana, apakah ideologi Pancasila sudah kita jadikan sebagai pedoman yang tepat sebagai rujukan nilai untuk mempertimbangkan pelegalan miras. Apakah pemerintah sudah memilih dengan tepat tiga prinsip diatas.

Secara de jure, posisi pemerintah jelas pada posisi kedua, “Miras tidak buruk secara mutlak”.  Tetapi persoalanya, apakah kebijakan pemerintah sudah tepat dan seiring dengan nilai objektif Pancasila. Kebijakan pelegalan miras, menurut penulis tidak tepat karena hanya sesuai nilai subjektif Pancasila yang di sesuaikan dengan kepentingan yang spesifik, industri miras dan dukungan terhadap budaya miras. Fenomena ini membenarkan pendapat Sukarno bahwa kedaulatan dalam demokrasi liberal sebenarnya di pegang kaum kapitalis, bukan pada rakyat yang miskin dan lemah secara umum. Sementara secara de facto, pendapat agama dan pemeluk agama, menganggap miras adalah sesuatu yang buruk secara mutlak.

Bisakah pemerintah mengubah status Miras dari “buruk tidak mutlak menjadi buruk secara mutlak”. Tentu saja bisa, selama bisa meyakinkan pemerintah bahwa kebijakan selama ini hanya menguntungkan kapitalis Miras dan pendukung kearifan Miras. Artinya mengubah mindset pemerintah bahwa kolusi pikiran “Miras itu baik secara mutlak dan buruk secara tidak mutlak bertentangan dengan keyakinan agama bahwa Miras adalah buruk secara mutlak”.

Jikapun diasumsikan pendukung “kearifan miras” mewakili semua warga di empat propinsi, yakni Bali, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Utara, dan Papua terus menuai kontroversi. maka perlu di buat referendum nasional, untuk membuat produk hukum nasional tentang miras, olehkarena kebijakan miras berdampak pada kesehatan jiwa dan raga manusia lintas propinsi.  Hal ini sebenarnya tidak hanya sebatas kasus miras, tetapi menyangkut banyak kasus lainya, sehingga idealnya hasil amandemen UUD 2002 sebagai supreme law oleh DPR harus di putuskan oleh seluruh rakyat melalui referendum konstitusi.

Solusi Akademik Pancasila

Sebagai penegasan lebih lanjut, kita perlu bertanya bagaimana caranya menyelesaikan secara akademik terhadap problem miras. Jawabnya adalah, kita harus membuat pertanyaan primer dan sekunder. Pertama, secara aksiologis, apakah miras sesuai atau bertentangan dengan nilai Pancasila. Pertanyaan sekundernya, apa itu Pancasila secara ontologis dan epistemologis. Apa itu nilai Pancasila, apa itu miras. Pertanyaan selanjutnya mengenai legal atau illegal Miras di Indonesia, setelah pertanyaan primer dan sekunder tadi diketahui jawabanya.

Jika ditanya, kenapa acuanya adalah Pancasila, karena nilai Pancasila yang ada dalam jiwa rakyat adalah dasar kekuasaan dan sumber dari segala sumber hukum negara Indonesia. Pancasila adalah patokan kebijakan pemerintah, dasar nilai dan sumber hukum.  Baik nilai adat dan agama sebagai sumber nilai dan hukum harus di uji ke publik, mana yang lebih rasional dan mendatangkan kebaikan lebih besar bagi manusia Indonesia di seluruh propinsi, tidak hanya sebatas empat propinsi. Semangat dasar nilai dan hukum harus bergerak ke arah objektifitas dan universalitas nilai sebagai patokan, bukan menginduksi dan melegalkan nilai adat yang di presepsikan bermanfaat bagi adat tertentu. Dampak dan bisnis Miras tidak tepat jika di lokalisir dengan hukum pengecualian, tetapi semestinya, semangat manfaat hukum secara umum yang memiliki nilai inhern dan valid bagi jalan kesempurnaan manusia secara umum untuk kemanfaatan sebagian. Norma dan dasar hukum di tarik dari yang paling universal, menuju nasional, propinsi, kecamatan, desa dan pada akhirnya merembes pada unit terkecil, keluarga yang sehat secara jasmani dan rohani, tidak ada yang kecanduan Miras.

Terakhir, penulis tegaskan lagi, pelegalan miras oleh pemerintah Indonesia jelas tidak selaras dengan nilai objektif dan fundasional Pancasila. Maksud “nilai objektif Pancasila” adalah deduksi pra asumsi nilai Pancasila yang memiliki nilai inheren dan valid yang berasal dari agama dan adat, sebagai fondasi yang memiliki hirarki nilai paling atas.

Sementara, nilai subjektif Pancasila adalah hasil induksi fakta kepentingan keuntungan kapitalis miras dan asumsi pengikut budaya miras yang mengatasnamakan kearifan lokal. Jika nilai subjektif Pancasila dijadikan patokan, maka artinya Pancasila sebagai dasar negara dan sumber hukum hanya bersifat artifisial, karena fakta kondisi ekonomi mengambil alih dan berposisi sebagai dasar negara, menjadi infrastruktur. Sementara nilai adat dan agama menjadi suprastruktur. Nilai agama dan adat di definisikan oleh tuntutan kondisi kepentingan ekonomi.

Debat konklusi “legalitas dan pelarangan miras” di Indonesia menurut penulis harus selesai ditingkat teoritis dan praktis, siapapun presidenya, minimal kita mau mengevaluasi kebenaran konten dan materi premis mayor dan minor. (Oleh Muhammad Ma’ruf, peneliti Pancasila dan isu kontemporer).