“Karena mukjizat bagian dari hukum kausalitas itu sendiri. Kehendak Allah itu sistem hukum alam itu sendiri.”
Hari jumat penuh berkah, 11/5, saat di perpustakan IC-Jakarta, saya bertemu secara tidak sengaja dengan kawan lama, Fuad Nawawi, mahasiswa jurusan Filsafat Islam IC-Jakarta, angkatan 2007. “Alhamdulillah saya telah menyelesaikan tesis saya berjudul, Mukjizat dan Kausalitas menurut Muthahhari, katanya. Saya tertarik tahu lebih jauh pandangan Murtadha Muthahhari, kata dia, pertemuan kita ini tidak bisa lepas dari hukum kausalitas, tidak ada yang kebetulan di dunia ini”.
Ketika saya tanya riwayat pendidikan hingga latar belakang tema tesisnya “Mukjizat dan Kausalitas menurut Muthahhari” dia menjelaskan secara singkat, ” saya Sekolah Dasar dan Madrasah di Subang, SMA Aliyah Krapyah Yogyakarta, kuliah di UIN Sunan Kalijaga, jurusan Tafsir Hadits, kemudian meneruskan ke IC-Jakarta, jurusan Filsafat Islam.”
Fuad mendalami lebih jauh persoalan “mukjizat’ awalnya karena tertarik dengan dialog Imam Ghozali denga Ibnu Rusyd. Mengutip Ghozali, Fuad mengatakan, “Aliiktiron bainama yaktaqidu fil addah sababan wabainama yaktakidu musababan laisa dhoruron ngindana” adapun rentetan peristiwa yang kita namakan sebab dan akibat adalah bukan sebuah kepastian, karena Allah menentukan penciptanya secara berurutan bukan karena mesti pada dirinya”.
Pernyataaan Imam Ghozali ini kemudian dibantah oleh Ibnu Rusyd, “faman rofa’a alasbab faqad rofaa alaqal”, barangsiapa menafikkan sebab, berarti dia menafikan akal.
Dialog ini menjadi semakin menarik ketika Imam Ghozali dan Ibnu Rusyd membicarakan dalam wilayah mukjizat, kata Ghozali, hukum kausaltias itu berada dalam wilayah kemungkinan, rentetan satu peristiwa satu dengan yang lain hanyalah kemungkinan, terbukti ketika Mukjizat nabi Ibrahim tidak terbakar karena api, karena semua kejadian alam ini sebenarnya kehendak mutlak Tuhan.
Kemudian Ibn Rusyd membantah, kalau tidak ada hukum kausalitas tidak akan ada sesuatu yang pasti di dunia ini, padahal hukum kausalitas adalah basis ilmu pengetahuan. Ketika hukum kausalitas dinafikan, sama saja dengan menghancurkan basis pengetahuan proses kejadian alam ini untuk sampai kepada Tuhan.
Lalu yang menjadi pertanyaan Ibn Rusd, mukjizat itu apa? Menurutnya, persoalan mukjizat adalah persoalan Tuhan, pengetahuan kita dengan Tuhan berbeda, sehingga mukjizat hanya layak diimani. Hukum kausalitas hanya ada wilayah material saja.
Kemudian Muthahhari menengahi perdebatan ini, Mukjizat adalah sesuatu yang mungkin dengan tidak perlu menafikan hukum kausalitas, karena mukjizat bagian dari hukum kausalitas itu sendiri. Kehendak Allah itu sistem hukum alam itu sendiri.
Menurut Fuad, bisanya ketika membicarakan masalah “mukjizat” selalu dibahas dalam wilayah teologi, tetapi di tangan Muthahhari dibawa ke ranah filosofis, inilah yang menjadikan berbeda, hukum kausalitas tidak hanya sekedar pada hal-hal yang material, tetapi juga yang spiritual (sababul madiyah, asabab alma’nawiyah). Mukjizat menjadi mungkin karena di sana yang dominan hukum kausalitas yang spiritual, sedangkan sebab materialnya itu tidak dihapus/dihilangkan, karena sebab-material hanya pindah sebab material yang lain.
Kontribusi Muthahhari lewat penjelasanya menjadikan tema mukjizat itu bagian dari hukum kausalitas, sehingga mukijizat dipahami tidak hanya mendasarkan pada iman, tetapi orang awampun bisa memahami secara logis.
Ketika kita meletakkan hukum kausalitas bukan hanya pada masalah material saja tetapi juga spiritual, akhirnya setiap tindakan perbuatan apapun akan berefek, seperti ketika kita bersekedah kok bisa mendapatkan berkah, lewat Muthahhari kita mendapatkan penjelasan rasional melalui hukum kausalitas.
Menurut Muthahhari, manusia itu “alinsan illahiyah, juga alinsan madiyah (material)”, jadi alam akan bereaksi terhadap setiap tindakan kita. Jadi kata Muthahhari, kita harus memilih dan Muthahhari menyarankan menjadi makluk ilahiyah.
Menurut pandangan Fuad mengutip Muthahhari, Mukjizat itu masuk dalam bahasan hukum alam bukan hukum akal (alhukmul attobi’iyyah, laisa alhuumul aqliyah), jadi bedanya, pasti yang namanya seluruh lebih besar dari sebagian, kalau hukum aqli kebenaranya sudah pasti, kalau hukum alam yang kita pahami sebenarnya hasil pengamatan subyektif kita, karena hukum alam yang sebenarnya masih tertutupi. Yuridu ayyatima fiklahu an yatima( Tuhan ingin menyempurnkaan pekerjaan nabi itu).
Memahami persoalan mukjizat dengan kaca mata Muthahhari menjadikan kita semakin luas pandanganya, seringkali kata Fuad kita mendengarkan ceramah-ceramah berkenanan dengan fadilah bersedekah tetapi peran kita hanya dituntut untuk percaya (iman), tetapi lewat Muthahhari kita mendapatkan penjelasan yang rasional. Kasus ini tidak hanya berlaku pada kasus mukjizat akan tetapi bisa diterapkan dalam setiap tindakan kita bahwa; implikasi perbuatan apapun yang kita lakukan pasti akan ada efeknya, baik secara material maupun spiritual ( in ahsantum ahsantum lianfusikum wain asa’tum falaha).
Cukup lama Fuad mempelajari pikiran Muthahhari, Fuad telah menyelesaikan penelitian dari buku-bukunya seperti; Annubuwah, Alfalasafah, Alimdadul ghoibi, Allah fihayatil Insan, Naqdul Fiqri alislami, aladlul illahi, “tapi hasilnya setimpal, saya mendapatkan pencerahan akal, bahwa hal-hal yang ada di wilayah Tuhan yang sebelumnya saya pelajari, bisa dijelaskan dengan akal secara sederhana,”Fuad menyimpulkan. (IRIB Indonesia)
12 Mei 2012 pukul 13:36
Oleh: Muhammad Ma’ruf