Sebagian kalangan menolak moderasi beragama, sebagian menerima?. Apa sih moderasi bergama, kenapa harus di tolak dan kenapa harus di terima?.
Moderasi beragama oleh para pemikirnya, di sepadankan dengan kata “adil, di tengah, seimbang” dalam beragama, dengan ciri toleran, anti kekerasan, dan komit pada kebangsaan dan negara Indonesia.
Sebuah diskursus, sebuah produk intelektual yang terus berkembang, terbuka dan bertransformasi, sebuah alat tangkal paham yang berkebalikan dengan definisi diatas. Yakni segala sesuatu yang”berlebih lebihan atau berkekurangan” dalam beragama yang menimbulkan sikap intoleran, pro kekerasan, menolak gagasan kebangsaan, apalagi misi NKRI. Titik ekstrimnya memahami agama secara salah hingga menimbulkan efek disharmoni, eklusif di tengah masyarakat yang multikultural dan melawan visi negara Pancasila.
Dari pengertian diatas cukup jelas, sehingga ambiguitas bisa di hindari. Namun, jika masih terdapat ambigu, ada beberapa teknik introspeksi yang dapat diterapkan pada frase “moderasi beragama” seperti membuat parafrasa (sinonim), mengklarifikasi definisi, mencari contoh, memperlihatkan kontras, dan menunjukkan asal-usul.
Jika masih terdapat ambigu, ada baiknya yang menolak juga kita cek, adakah fallasi disana. Nah dari sini jelas, tolak ukur penerimaan dan penolakanya.
Moderasi beragama era Prabowo ?
Asal usul moderasi beragama sebagai situasi berupa respon situsional adalah wajar. Apalagi dari pemerintah-Kemenag. Karena memang tanggung jawab pemerintah lebih daripada masyarakat pada umumya, sebagai pemegang mandat legal pembinaan kerukunan umat beragama (internal). Era Prabowo sekarang tentu semestinya naik secara kualitatif dan kuantitatif. Moderasi beragama harus menjadi softpower yang lebih menyatukan dan menasional. Karenanya butuh integrasi kerja Kemenag-Kemenlu.
Sebagai kontras, kontra moderasi beragama adalah entitas tidak moderat, ekstrim, intoleran, asal usulnya tidak berasal dari ruang kosong. Hasil proses pertukaran informasi geopolitik, afiliasi, ideologi, yang bercampur dengan sikap intoleran dalam beragama, berbangsa dan bernegara yang mengglobal. Intoleransi adalah fenomena global sejalan dengan terorisme internasional. Nah, situasi geoplitik zaman Prabowo tentu lain dan lebih progresif.
Fenomena intoleransi dan terorisme internasional sekarang bersifat mana suka. Termasuk kekuatan global yang memanfaatkanya. Disinilah pembacaan situasi global semestinya selaras dengan kepentingan nasional indonesia diperlukan dan objektif.
Moderasi beragama era terbaru sebagai sebuah sikap universal, pencarian identitas beragama, bernegara, berbangsa berkembang sedemikian rupa, hasil tarik menarik dinamika internal manusia paling dalam, internal Indonesia dan ekternal di luar teritori negara.
Gagasan mulia ini bukan milik secara eklusif kelompok tertentu, tetapi memang di pelopori kelompok tertentu pada awalnya. Gagasan ini memang semestinya lebih menasional, daya terimanya menaik, yang menolak jadi menerima karena memang kualitas gagasanya yang semestinya berakar dari epistemologi yang kuat. Berkembang dalam ruang intelektual dan praktek yang harmonis, alamiah dan menyejukkan.
Disamping itu tentu wawasan dan sikap ekternal dalam kerangka situasi geopolitik harus koheren dan tidak bertentangan dengan matra tradisional- sikap politik bebas aktif.
Moderasi beragama era baru, sebagai sebuah sikap beragama tidak lain dan tidak bukan adalah pengembangan lebih lanjut dari proses pencarian jati diri manusia Indonesia dari waktu ke waktu.
Sebuah proses pencarian identitas kemanusiaan eksistensial yang di pagari oleh seluruh nilai yang termuat dalam pembukaan UU. Melampaui sekat sosiologis dan politis. Menjadi manusia merdeka yang dibatasi Ketuhaan Yang Maha Esa, selalu terdepan, menjadi bagian proses perdamaian dunia. Manusia merdeka berbasis ketuhanan yang memiliki misi persatuan, demokrasi, dan keadilan.
Karenanya, moderasi beragama, menempatkan kedirianya sebagai hamba ciptaan sang Tuhan Yang Maha Esa, proses perjalanan menuju Tuhan yang harmonis dengan nilai kebangsaan dan keindonesiaan.
Lima nilai Pancasila sebagai pagar proses perjalanan identitasnya. Sehingga identitas diri dalam keberagamaan, kebangsaan, keindonesiaan tidak asing dengan dirinya sendiri, misinya tidak asing dengan misi nasional, karena kedirinya melebur di dalam dimensi kemanusiaan yang paling sublim, tempat asal usul manusia, identitas hakiki/kedirian/sifat-sifat Tuhan-asal usul nenek moyang manusia nusantara.
Sehingga bisa dikatakan, dalam proses bermoderasi beragama, proses menemukan jati dirinya menaik, dalam bingkai gradasi, mengalami spektrum terbaik, termaksimal, dan tentu saja batas minimal.
Dalam proses perjalanan identitas itulah bangsa dan negara menjadi rumah terbaik, menemukan jati dirinya, sepenuhnya termanifestasi di rumah sendiri-NKRI. Agama, budaya, bangsa, dan negara dalam satu tarikan nafas. (muhamad ma’ruf, pemikir moderasi beragama)