Misil Balistik Zolfaqar dan Arti Kebebasan

Paska kekalahan kekhalifahan Ottoman sejak Perang Dunia I, telah mengubah wajah Eropa dan Amerika mendominasi dunia Islam. Kolonialisasi seolah menjadi panen hasil Revolusi Industri abad 17. Sebaliknya, penurunan kekuatan politik hingga kini terjadi merata di dunia Islam.

Tunisia dijajah Perancis tahun 1881, Mesir dibawah Perancis tahun 1798-1801, sejumlah daerah Iran pernah diduduki Rusia dan Inggris. Arab Saudi muncul hasil dari bentukan Inggris untuk melumpuhkan kekuatan Ottoman 1792-1810, sekaligus menguasai tempat suci Mekah dan Madinah. Sementara Zionis Israel tahun 1948 sebagai negara penyangga (buffer state) berhasil dicangkokkan Inggris di tanah suci Alquds Palestina. Sempurna sudah, dua tempat suci Islam dikendalikan oleh kolonial hingga kini sementara negara-negara Islam sekitar jadi penonton pasif.

Sejarah Arab Saudi menjadi pengecualian karena kerajaan terbentuk bukan dari okupasi tapi hasil konspirasi dengan Inggris melawan Ottoman dan membantu menguasai Riyadh, Nejd, Hasa, Asir, dan Hijaz menjadi satu dinasti. Abdul Aziz tahun 1916 menerima 1300 senjata dan 20.000 keping emas dari Inggris. Mereka berunding untuk menentukan perbatasan yang ditentukan oleh Percy Cox, utusan Inggris. Tahun 1927-1928 Inggris juga membantu Ibnu Sa’ud melawan Duwaish (salah satu suku dari Nejd). Suku Nejd menyalahkan Ibnu Sa’ud yang dianggap terlalu menerima inovasi Barat.

Hubungan Saudi dengan AS berawal dengan ditemukannya ladang minyak. Standart Oil Company dari California pada 29 Mei 1933 memperoleh konsesi selama 60 tahun berubah menjadi Arabian Oil Company pada tahun 1934. Pada mulanya, pemerintah AS tidak begitu peduli dengan Saudi. Deplu AS Pada tahun 1944, menggambarkan daerah tersebut sebagai “Sumber yang menakjubkan dari kekuatan strategi dan hadiah yang terbesar dalam sejarah dunia”.

Inggris berjasa bagi pembentukan Arab Saudi dan Israel sedangkan AS sebagai pewaris tahta Inggris tersebut. Empat negara inilah kemudian menjadi penyangga utama kolonisasi di dunia Islam (Timur Tengah). Kisruh dan gejolak isu terorisme, gas dan minyak bumi setiap era tidak bisa lepas dari negara-negara tersebut.

Hingga kini salah satu penopang ekonomi dan politik kolonial terutama AS dan Inggris hasil dari penaklukan wilayah Islam sejak awal Perang Dunia I dan II. Sementara sistem politik mayoritas negeri jajahan di Timur Tengah dibiarkan tidak berkembang dan mornarki absolut menjadi tak tergantikan. Sebuah kontradiksi terjadi. Demokrasi negara induk begitu mengagumkan dan dipamerkan, dijadikan rujukan para ilmuan politik dan sosial negara ketiga, sementara sistem politik di negara periferi (jajahan) dibiarkan primitif dan tak tersentuh dari analisa hiruk pikuk akademik

Kolonisasi yang terjadi di dunia Islam menurut Tariq Ramadhan memiliki beragam dimensi. Bagi negara jajahan, menimbulkan mental lemah dalam mengambil setiap keputusan baik pemimpin maupun rakyat awam. Kemudian menjalar pada dimensi selanjutnya, yaitu selalu menggunakan kekuasaan orang lain untuk memikirkan dirinya. Kemudian dari lemahnya keputusan akibat menggunakan kekuasaan negeri penjajah maka pemimpin dan rakyatnya menjadi terasing dari diri dan negaranya sendiri. Sehingga kebebasan pada titik nol. Jikapun ada kebebasan, maka kebebasan itu dipraktekkan dari pikiran orang lain (negara induk). Kemudian fatalnya, menurut Tariq, hasil terparah dari kolonisasi adalah kolonisasi perjalanan sejarah negara yang dikendalikan negara penjajah. Orang mengira telah berpikir dan bertindak objektif, padahal objektifitas itu diperoleh dari hasil dominasi kolonial. Begitu komentar Tariq Ramadhan, cucu Hasan Al-Banna dalam sebuah ceramah perkumpulan muslim AS –Canada.

Kolonisasi Menuju Liberalisasi

Tidak bisa tidak, kolonisasi adalah musuh Al-Quran. Oleh karenanya harus dihapuskan. Salah satu misi Alquran adalah membebaskan manusia dari kemusyrikan (baca: keterikatan elemen penjajahan). Kolonisasi membawa dampak dominasi dan penetrasi budaya, ekonomi, dan politik pada negri jajahan. Oleh karena itu, salah satu cara terbebas dari kolonisasi budaya, politik dan ekonomi adalah mengupayakan liberalisasi (pembebasan) dari efek karakter kolonial. Liberalisasi di dorong oleh Alquran sendiri, dengan cara “spiritual liberation”. Caranya adalah dengan memahami secara holistik konsep Islam. Terdapat hubungan erat antara “diri” (nafs) dan universalitas Islam.

Pesan ajaran Islam yang universal hanya bisa ditangkap dan dipraktekkan oleh jiwa yang bebas. “Jiwa bebas “selalu berlawanan dalam pengertian “liberalisasi material”; bebas tanpa batas untuk mengkonsumsi, memiliki dan termasuk mendominasi. Bebas dalam Islam bermakna disiplin spiritual untuk dapat bebas dari dominasi tubuh dari tarikan materi (dunia). Hasilnya adalah untuk pelayanan pada kemanusiaan dan keadilan.

Cinta Dunia dan Keabadian Kolonial

Terdapat hubungan yang erat antara kecintaan pada dunia dengan keabadian dominasi kolonial. Dengan kata lain, dominasi kolonial yang dipraktekkan negara induk (kolonial) di wilayah negara periferi (jajahan) telah membuat pemimpin dan rakyatnya dipaksa untuk cinta dunia. Mata dimanjakan dengan misi “welfare state” artifisial dengan hotel dan gedung mewah seolah tujuan puncak dari negara dan manusia lunas tuntas dengan pameran kemewahan. Mobil-mobil mewah berjajar-jajar, mal-mal penuh perhiasan, kapal pesiar dan jet super mewah di parkir di mana-mana. Cara menikmati (gaya konsumsi) kekayaanpun persis seperti negara induk. Akhirnya lamanya periode rakyat di negeri jajahan terjerat sibuk cinta dunia, menjadikan kolonialisme modern akan terus abadi.

Sementara, aspirasi keutuhan kebebasan manusia di wilayah jajahan dipangkas, mereka hanya diperbolehkan(?) mengakses sumber agama yang mengokohkan penjajahan (Takfirisme). Keluasan dunia hakiki manusia yang maha luas (mikro kosmos) tidak diberi kesempatan berkembang. Kampus-kampus di negeri jajahan tidak disediakan kurikulum berpikir (kreatifitas). Buku-buku Filsafat yang mengajak rakyatnya berpikir dilarang, karena sebagai negara jajahan rakyatnya memang tidak perlu berpikir dalam-dalam, karena berpikir kemerdekaan hakiki bisa membahayakan kekuasaan. Kekuasan raja seolah absolut independen, padahal kekuasaan itu diberikan oleh negara induk.

Dunia alam semesta (makrokosmos) sebagai objek kajian sains dan perenungan eksistensial dibiarkan mati. Dunia sains murni sebagai penopang kemajuan aplikatif sains tidak diijinkan berkembang. Akhirnya semua produk fundamental negara tergantung pada negara induk.

Industri baja untuk pembuatan tank dalam negri tidak ada, industri dirgantara kosong sehingga Boeing satu-satunya produsen untuk kebutuhan pesawat komersial dan militer. Oleh karena itu ketika serba tergantung, ketika negara induk punya hajat, maka negara periferi hanya melayani. Pembelian peralatan militer oleh Arab Saudi senilai Rp. 4.666 trilyun dan Qatar sebesar 12 milyar USD baru-baru ini adalah salah satu contoh bagaimana sistem manipulative kolonial berlangsung.

Keputusan Zolfaqar dan Kebebasan

Meski demikian, dari sekian banyak dunia Islam, tidak semua menyedihkan. Enam buah misil dalam negri Iran- Zolfaqar- medium range 700-750 KM telah dilesatkan Korps Garda Revolusi Islam Iran (IRGC) dari propinsi Kermanshah dan propinsi Kurdistan, Iran barat. Targetnya pusat komando ISIS di Deir Ezzor (Suriah Timur)” sebagai balasan 17 martir dari serangan ISIS di parlemen Iran dan makam Imam Khomeini pada 7 Juni lalu.

Zolfaqar adalah misil berbahan cairan padat- medium-range ballistic missile (SRBM) yang dapat menjangkau 700 hingga 750 KM dengan akurasi 5 hingga 10 meter. Varian terbaru dari Fateh-110 seri misil — kategori solid-fueled SRBM yang diproduksi Iran sejak 1990.

Penembakan misil ini bermakna Iran berusaha keras sampai pada titik setara dalam teknologi misil dengan negara induk (kolonial). Juga bermakna ajakan untuk menjadi manusia bebas dari dominasi kolonial bagi negara periferi (Arab Saudi). Kebebasan itu bermakna ajakan lepas dari buta teknologi, juga bermakna spiritual karena cara kasar (primitif) dari kebiasaan kolonial untuk memaksakan kehendak agenda politik dan ekonominya bisa direspon dengan cara alamiah dan tidak melanggar aturan Internasional (hikmah). Bedakan penembakan pesawat Sukhoi Su-22 AU Suriah di Propinsi Raqqa Utara oleh AS tepat saat militer Suriah menggempur ISIS. Juga pemasangan M142 High Mobility Artillery Rocket System (HIMARS) launchers dari Jordan di tempatkan di Suriah Selatan oleh AS. Juga pasukan Amerika Serikat (AS) yang sekarang berkonsentrasi di daerah perbatasan segi tiga Yordania, Irak dan Suriah tanpa izin pemerintah Suriah adalah jelas tindakan pelanggaran kedaulatan sebuah negara merdeka (Hukum Internasional).

Kealamiah kebijakan peluncuran misil Iran tersebut tidak bersumber dari politik pragmatisme dan bukan juga sebuah spekulasi politik yang susah ditebak. Akan tetapi dari hasil pemahaman kebebasan dari Al-Quran, menjadi manusia bebas, bebas total dari kecintaan dunia yang pararel dengan kebebasan dari dominasi kolonial. Politik kolonial yang berujung pada dominasi, menghisap dan menindas direspon dengan keputusan politik yang berujung pada pelayanan pada negara yang ditindas; Suriah, Palestina dan Yaman. Kebebasaan bukan untuk bebas berkonsumsi tanpa batas, menindas tanpa batas, tapi kebebasan dari dominasi politik global (dunia material). Dinamika tarikan hawa nafsu dan sedotan malaikat tidak hanya berlaku pada para pejalan spiritual yang bersifat individual, akan tetapi bisa juga berlaku pada kebijakan politik luar negeri. Kebebasan tidak berarti keputusan politik bebas hanya memikirkan kepentingan negaranya sendiri, dan tegas tidak berpihak pada yang lemah.

Terbebasnya negara dari kecintaan pada dunia sebagai manifestasi negara yang merdeka, dapat tercermin pada bagaimana memahami kematian dan mencabut nyawa dalam peperangan. Baik perang sebagai permainan bagi negara kolonial, tentu harus direspon dengan tepat bagi negara yang merdeka.

Kebebasan dalam konteks negara niscaya butuh kekuatan politik. Kekuatan politik bisa berasal dari hasil jaringan manipulasi media yang mengatasnamakan rakyat, atau dari kekuatan rakyat yang percaya pada bimbingan wali (wakil Tuhan). Tetapi sayang-dunia politik sekuler mengunci mati-tidak mengizinkan cara berpikir seperti ini. Tapi penulis yakin misil balistik Zolfaqar yang diluncurkan ke luar negri yang pertama kali ini adalah manifestasi dari kesuksesan produk politik yang bebas dari dominasi. Karena mampu mengatasi jeratan propaganda, konspirasi negara-negara pemenang perang dunia ke-dua. Politik fitrah mengalahkan politik manipulatif. Konspirasi (makar) dilawan tidak konspirasi (tidak makar). Politik adalah manifestasi akhlaqpun terjadi. (m.ma’ruf)