“Logiskah Demonstrasi dalam Negara Demokrasi” adalah judul diskusi, permintaan panitia diskusi dari HMI Komisariat Insan Kamil, Cabang Jakarta Selatan, 4/4/21. Jawaban panitia ketika saya tanya, apa latar belakangnya, mereka menjawab, kita negara demokrasi, meski sudah ada DPR, jika mahasiswa tetap demo itu wajar, jadi logis saja karena negara kita negara demokrasi.
Sepintas jawaban panitia begitu polos. Saya anggap judul ini sebagai isu aktual, karena real dipikirkan oleh kalangan mahasiswa. Saya berusaha menemani mereka untuk berdiskusi lebih dalam dan luas.
Jika kita perhatikan judulnya, ada kata logika, demonstrasi dan demokrasi. Kira-kira tebakan saya, mahasiswa sedang mencari dan membutuhkan justifikasi rasional aktualisasi demonstrasi pikiran dan aksi ke jalan, karena mahasiswa menganggap Indonesia negara demokrasi.
Demokrasi
Sebenarnya tidak ada kata “demokrasi” dalam konstitusi Indonesia secara ekplisit. Kecuali kata “demokratis” yang menunjukan sifat, Pasal 18 ayat 4, “Gubernur, Bupati dan Walikota masing masing sebagai Kepala Pemerintah Daerah Provinsi, Kabupaten dan Kota dipilih secara demokratis”.
Secara implisit yang bisa mengukuhkan pengertian demokrasi di Indonesia adalah bentuk “Republik” Indonesia (Pasal 1 ayat 1), pembukaan UUD alinia empat, pasal 1 ayat 2 dan sila keempat Pancasila. Sila keempat Pancasila bisa memberikan karakter dan batasan demokrasi di Indonesia. “Kerakyatan yang dipimpin oleh “hikmat” kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan”.
Kata “hikmat” bisa menjadi modal pembatas dan pengarah demokrasi di Indonesia. Demokrasi dari, oleh, untuk rakyat diasumsikan di pimpin oleh hikmat, bukan lautan masa yang diasumsikann equal dalam pemikiran, kapasitas modal sosial, akses kekuasaan dan ekonomi, overlapping dan arbitrer. Hikmat mengandaikan superioritas pengetahuan secara hirarkis, multisiplitas pengetahuan yang diarahkan oleh sains yang lebih tinggi.
Hikmat
Kata hikmat melekat kuat dalam tradisi Metafisika Barat dan Islam. Menjadi modal berharga, akan tetapi sayangnya kurang mendapat perhatian dari banyak kalangan. Justru kata “gotong royong” lebih menarik dibanding dengan kata hikmat, seolah “gotong royong” menjadi satu-satunya dasar dan sumur kebenaran geneologi historis manusia sosial asli Indonesia. Sementara dengan adanya amandemen UUD 2002, hakekat manusia Indonesia yang diwaliki konsep rakyat dalam lautan kedaulatan rakyak menjadi lepas landas, tanpa wakil, tenggelam dalam mantra konstitusi[1].
Kata hikmat atau cinta kebijakan (wisdom) adalah tujuan berfilsafat, artinya memiliki pengetahuan kebijakan. Filsafat (Indonesia) asli dari akar kata Latin φιλοσοφία, philosophia, philosophos (Greek), philo- “loving” ( philo-) + sophia “knowledge, wisdom,” atau dari kata sophis “wise”, lover of wisdom, love of knowledge, kebenaran (truth), penyelidikan secara sistematis (systematic investigation). Hikmat diasumsikan manusia dapat menjangkau, mengenali dan mengalami kebenaran (truth).
Menurut Aristoteles, tujuan belajar Filsafat adalah menjadi bijaksana, dan bijaksana (wisdom) artinya memiliki dan menyadari secara penuh akan pengetahuan tentang Prinsip-Prinsip segala sesuatu dan Sebab Pertama[2]. Pengetahuan jenis ini lebih bijaksana dibandingkan pengalaman (akibat)[3]. Orang yang sampai pada pengenalan pengetahuan jenis ini berarti akan mudah mengenali dan mendeteksi pengetahuan yang lain yang lebih rendah, karena karakter pengetahuan ini adalah pengetahuan alamiah setiap manusia, induk dari segala pengetahuan.
“Kami telah mengatakan pada bagian Etika, apa perbedaan antara seni, sains dan fakultas sejenis lainnya; tetapi inti dari pembahasan kita saat ini adalah ini, bahwa semua orang mengira apa yang disebut Kebijaksanaan (Wisdom) berkenaan dengan penyebab pertama (the first causes) dan prinsip-prinsip (asas-asas) segala sesuatu; sehingga, seperti yang telah dikatakan sebelumnya, orang yang berpengalaman dianggap lebih bijaksana daripada pemilik persepsi indra apa pun, seniman lebih bijaksana daripada orang yang memiliki banyak pengalaman, pekerja ahli lebih bijaksana daripada mekanik, dan jenis pengetahuan teoritis merupakan Kebijakan yang lebih alamiah daripada pekerjaan produktif. Jelaslah, Kebijakan adalah pengetahuan tentang prinsip-prinsip dan sebab.”[4]
Ciri-ciri Pengetahuan Bijaksana (Prinsip-Prisip Segala Sesuatu dan Sebab Pertama) sehingga orang bisa dikatakan orang bijak (The Wise Man) menurut Aristoteles[5];
- Jenis sains tentang segala sesuatu adalah sains yang paling alamiah
- Lebih superior dan lebih tinggi dibanding sains lainya
- Memiliki prinsip yang lebih sedikit dan pasti di banding prinsip sains lain
- Paling otoritatif
- Lebih bisa di ketahui
- Sains yang lain menjadi subordinat
- Tidak bisa diperintah tapi memerintah (instruktif) pada sains lainya
Menjadi bijak, artinya memiliki kekuatan pengetahuan kontemplasi mengembalikan tabiatnya segala sesuatu yang bersifat universal kepada sebab dan prinsip pertama. Inilah pengetahuan yang menurut Aristoteles bisa menvalidasi ilmu-ilmu yang lain, seluruh pengetahuan ada pada pengetahuan segala sesuatu. Pengetahuan tentang prinsip pertama dan sebab pertama.
Termasuk pengetahuan demokrasi yang menjadi disiplin ilmu tentang politik. Suatu pengetahuan pengaturan masyarakat yang secara alamiah akibat desakan berkembangnya kebutuhan dan harapan masyarakat terjadinya ketertiban (order) dan menghindari keos, dimulai dari unit terkecil masyarakat (keluarga) hingga membentuk pemerintahan kota (polis). Pengetahuan (Ilmu) Politik haruslah di kembalikan pada dasar dan menginduk pada awal pengetahuan (metafisika). Masyarakat politik yang diatur oleh pengetahuan yang fokus pada prinsip segala sesuatu dan sebab awal, sehingga semua warga menjadi bijak.
Namun Metafisika di Barat kemudian berkembang menjadi disiplin ilmu, menjadi cabang dari filsafat. Akibatnya politik pun cabang dari cabang. Sementara dalam tradisi Islam, Metafisika atau Filsafat Pertama tetap menjadi inti dari filsafat itu sendiri. Prime mover Aristoteles menjadi wajibul wujud atau wujud mutlak. Sementara semua gerak dalam contingent being (wujud mumkin) menjadi musnah dan tidak abadi.
Kira-kira seribu tahun lebih setelah Aristoteles, buku Aristoteles, “Metafisika” di respon di dunia Islam oleh para filsuf muslim. Filsafat dalam tradisi Islam, meski pada periode akhir mengalami ekpansi untuk merespon isu-isu kontemporer, akan tetapi hingga saat ini masih setia dengan pengertian klasik sebagaimana yang di gagas Plato dan Aristoteles.
Inti Filsafat maksudnya adalah ilmu universal tentang keberadaan, Filsafat Pertama yaitu Metafisika atau Ontologi. Sebagaimana di definisikan Al-Kindi, Ibnu Sina dan Tabatabai, Filsafat dipadankan dengan kata Hikmah (الحكمة). Inilah emergence of political science dalam Islam, atau sifat alamiah (nature) garis edar pengetahuan politik melingkari dan menjadi bagian dan menginduk pada pengetahuan segala sesuatu, yakni “nature”nya segala sesuatu merembes ke pengetahuan politik, menjadi manifestasi dari kekuasaan (will) Tuhan Yang Maha dari Segala Sesuatu yang mengarahkan dan membatasi tindak kebebasan manusia agar terarah pada sumber awal dan akhir kebijakan, yakni kebenaran (truth), menjadi “being” itu sendiri.
Al-Kindi (801–873 AD) yang hidup pada masa khalifah Abasiyah mendefiniskan, yang dimaksud Filsafat adalah Metafisika, disebut sebagai Filsafat Pertama. Menurut Al-Kindi, seorang filsuf bekerja untuk mendapatkan kebenaran ini, kegiatan filsuf bukanlah sebuah kegiatan tanpa akhir[6]. Menemukan pengetahuan politik yang benar artinya menemukan penyebab pertama, menjadi kunci menemukan kebenaran. Memahami politik hingga menjadi niscaya.
“Kita tidak akan mendapatkan kebenaran tanpa menemukan penyebab eksistensi dan kontinuitas segala sesuatu (kebenaran tunggal) yang eksis secara niscaya dan yang menyebabkan segala sesuatau eksis”[7].
Ibnu Sina membaca Metafisika Aristoteles hingga empat puluh kali akhirnya lebih tegas mendefinisikanya dalam Al-Syifa,
“Anda pernah mendengar bahwa ada filsafat dalam arti sesungguhnya, adalah filsafat pertama; dan filsafat ini memberikan validasi kepada prinsip-prinsip ilmu lainnya; dan itu, pada kenyataannya, adalah kebijaksanaan. Anda juga pernah mendengar, pada suatu waktu, bahwa kebijaksanaan adalah pengetahuan terbaik dari objek pengetahuan terbaik; di sisi lain, pengetahuan itu adalah yang paling benar dan sempurna; dan, di sisi lain, Filsafat Pertama adalah pengetahuan tentang penyebab pertama dari segala sesuatu.”[8].
Seorang mufasir sekaligus filsuf muslim kontemporer Tabatabai, meringkas,
“Metafisika (al-hikmat al-ilahiyyah), secara harfiah berarti ‘kebijaksanaan illahiayah) sebuah disiplin yang membahas “ada sebagaimana ada, being qua being, mawjud qua wujud. Subjeknya berhubungan dengan sifat-sifat esensial dari “being qua being”. Tujuannya adalah untuk mencapai pengetahuan universal tentang realitas dan untuk membedakannya yang ada (real, exist, الموجودا الحقيقية) dari yang tidak benar-benar ada (non exist ,العدم)”[9].
Kegiatan Filsafat paling awal juga disebut Tabatabai, Filsafat Pertama,
“Metafisika juga disebut Filsafat Pertama dan sebuah Pengetahuan Yang Lebih Tinggi (al-‘ilm al-a’la). Subjeknya adalah being qua being dan akhirnya adalah untuk membedakan keberadaan yang ada dari apa yang tidak ada (non eksis), dan untuk mengenali penyebab yang lebih tinggi (al-‘ilal al-‘aliyah) keberadaan, terutama Penyebab Pertama (al-‘illat al-ula), yang mengakhiri seluruh rantai keberadaan, dan yang paling indah Nama dan sifat mulia (atribut luhur); yang di sebut, Allah, yang diagungkan Nama-Nya”[10].
Tabatabai secara tegas menyebut Metafisika sebagaimana dikatakan Al-Kindi, Filsafat Pertama (الفلسفة الأولى, First Philosophy, the Higher Science (al-‘ilm al-a’la). Memiliki subjek dan tujuan yang tegas dan jelas ;
- Subjeknya adalah ada sebagaimana adanya (being qua being)
- Memiliki tujuan untuk membedakan yang real dan yang tidak real
- Untuk mengenali sebab yang lebih tinggi (the higher causes/ al-‘ilal al-‘aliyah) dari eksistensi, khususnya sebab pertama (the First Cause (al-‘illat al-ula), yang mengakiri seluruh keberadaan eksistensi (sifat-sifat Tuhan paling agung dan mendalam).
Kembali pada demokrasi atau pemerintah rakyat. Demokrasi yang menjadi subjek ilmu politik yang fokus pada power dan kedaulatan dengan demikian bagian dari Filsafat Pertama. Mengisi pengetahuan politik (political sovereignty) rakyat dengan Filsafat Pertama, dan menjadikan ilmu dan praktek politik bagian dari Filsafat Kedua.
Pada intinya, pengetahuan manusia pada saat mengatur urusan antar manusia seyogyanya di isi dengan pengetahuan tentang sebab dan prinsip pertama. Sila pertama Pancasila, “Ketuhanan Yang Maha Esa” memberi legalitas penuh untuk mengevaluasi, menafsirkan dan mengisi konten pengetahuan demokrasi (sila keempat) dengan mengembalikan pada pengetahuan sebab pertama, niscaya dan pada prinsip-prinsip universal. Bukan pada pengetahuan akibat (pengalaman) geneologi historis manusia asli Indonesia.
Tuhan menjadi prime mover secara real, memiliki legitimasi secara de facto dan de jure, manusia berekpresi sebebas bebasnya dalam bingkai keterarahan pemenuhan potensi secara maksimal agar semua orang yang berdemokrasi menjadi bijak, terbebas dari kerangkeng pengetahuan sensasional (empiris dan positifis), menjadi awas luar dan dalam, memiliki pengetahuan segala sesuatu, fokus pada sangkan paraning dumadi, mengikuti arahan pengetahuan mabda dan maad (awal dan akhir). Singkatnya tujuan dari pesta pora demokrasi adalah memiliki dan mengalami sila pertama, tunduk dan patuh serta bertransformasi dari pengetahuan the many menuju pengetahuan the one.
Demonstrasi
Demonstrasi pikiran mahasiswa dalam terma Aristoteles sebenarnya adalah termasuk akal teoritis, bersumber dari intelek spekulatif, mempresepsi demokrasi secara deduktif untuk kemudian dijadikan hukum universal sebagai bahan untuk menilai (value) kehidupan politik. Inilah yang kemudian menjadi premis atau postulat, fundasi primer berpikir. Bersifat tetap. Menjadi bintang statis atau leitstar statis (Pidato Sukarno).
Sementara observasi mahasiswa adalah induksi dari fakta dan kondisi sosial serta aksi secara uptodate, menjadi bahan isu kontemporer yang bersifat dinamis, Bersumber dari akal praktis. Menjadi bintang penuntun dinamis, leitstar dinamis. (Pidato Sukarno).
Skema dari Aristoteles ini bisa diadopsi menjadi panduan berpikir aktifis muslim dan non muslim di Indonesia, memiliki kompetensi akal praktis (akal nadhori/teoritik akal-intuisi, fuad (hati). Memiliki kompetensi akal praktis, bertindak (amali), yakni amal sholeh (kebaikan) yang ikut membentuk karakter pengetahuan dan tabiat manusia Indonesia.
Tahap pertama adalah pengetahuan deduktif-imaterial, sehingga membentuk tahap kedua, pandangan dunia (world view) imaterial dalam kerangka sila pertama Pancasila, kemudian akan terlihat pada tahap ketiga, ideologi (konstitusi/UUD), dan pada akhirnya membentuk tahap keempat, tindakan menuju bijak (menjadi sempurna/insan kamil).
Demokrasi di Indonesia
Diantara bentuk pemerintahan aristokrasi, monarki, oligarki, demokrasi, Aristoteles memilih pemerintahan konstitusional. Aristoteles tidak setuju pemerintahan demokrasi karena rakyat yang di observasi pada masa itu masih lemah dan bodoh, sehingga dianggap tidak kompeten untuk memimpin pemerintahan. Pemerintahan konstitusional dipilih Aristoteles karena percaya kekuatan akal yang di wakili konstitusi dapat mengatur jalanya pemerintahan. Pertanyaan kemudian, siapa yang paling kompeten dan memiliki otoritas membuat konstitusi yang mewakili seluruh “kebaikan” rakyat. Jenis akal seperti apa yang mampu mendemontrasikanya. Bagaimana prosedur rakyat memilihnya, siapa saja yang berhak mewakili adalah sejumlah pertanyaan yang berkembang dan dijawab dalam area demokrasi modern.
Pemerintahan konstitusional berbeda dengan demokrasi konstitusional. Pemerintahan konstitusional mengandaikan selalu ada orang atau elit secara natural di setiap periode yang memiliki kompetensi mengatur pemerintahan. Dikenal sebagai legitimasi natural. Dianut oleh Aristoteles. Sementara demokrasi konstitusional mengandaikan, rakyat sebagai pusat legitimasi kekuasaan pemerintahan pada saat yang sama sebagai agen konstitusi. Teori ini di zaman modern dianut demokrasi liberal. Atau legitimasi berbasis akal (reason) atau konstitusi.
Secara aktual dan terkini, bagaimana dengan nasib demokrasi yang dikembangkan di Indonesia. Menurut penulis, demokrasi di Indonesia masih dalam proses. Dinamika kekuatan politik menentukan corak demokrasi setiap periode pemerintahan; orde lama (terpimpin), orde baru (Pancasila) dan orde reformasi (liberal). Jalanya legitimasi demokrasi belum sinkron secara de facto dan de jure. Terjadi varian ketegangan dan tarik menarik antara para penganut fundasionalisme ideologi Pancasila, individualisme, muslim oposisi dan kelompok takfiri.
Namun adanya amandemen UUD 2002, bisa dikatakan menjadi simbol kemenangan demokrasi individualisme, karena kedaulatan rakyat tidak lagi di ejawantahkan oleh MPR tetapi oleh konstitusi[11]. Terjadi pra asumsi bahwa dengan adanya legitimasi konstitusi (hukum/legal)[12], maka kebutuhan legitimasi dari rakyat menjadi minim paska pemilu, serta kebutuhan validasi kualitas (subtansi) demokrasi dari nilai fundasionalisme ideologi Pancasila tidak menjadi kebutuhan mendesak. Akibatnya suara rakyat dan ideologi Pancasila lama-lama menghilang justu pada saat banyak orang gagap berlomba membelanya.
Tentunya situasi ini menjadi sulit, karena kebutuhan Eksekutif dan Legislatif yang mendapatkan legitimasi kekuasaan dari rakyat pada saat pemilu berusaha dan fokus untuk memaintenance kekuasaan, bukan memperkuat sistem pemerintahan dan tata kelola negara dengan pengetahuan yang benar. Sebagaimana manusia politik (zoon politikon), secara alamiah adalah seaking the power, namun seorang statesmen akan fokus pada memperkuat sistem (strengthen the system) hanya saja langka di temukan. Antara power seeking dan strengthen the system tidak imbang dan tumpang tindih.
Jika ditanya secara filosofis, apa penyebab alamiah kondisi politik yang menyebabkan ketegangan dan sumbatan aliran komunikasi politik di Indonesia sekarang dengan segala penjelasanya. Jawabanya sekali lagi adalah kompetisi di tingkat publik antara tiga kekuatan; pertama para pendukung fundasionalisme ideologi Pancasila, kedua individualisme (liberal dan Islam) dan ketiga kelompok rentan (takfirisme). Ketiga kategori ini bisa overlapping dan tidak ketat. Namun, khusus untuk kelompok ketiga, trennya membesar dan menguat karena keteledoran semua pihak akibat software pengetahuan geopolitik yang rendah, sehingga mendapatkan justifikasi di ruang publik secara manipulatif dan jahat.
Akibat dari kompetisi yang tidak rasional ini mengakibatkan kualitas demokrasi baik dari sisi pemerintah maupun oposisi menjadi menurun dan tidak sehat.
Sehingga jika kita kembalikan pada judul diskusi mahasiswa diatas “Logiskah Demonstrasi dalam Negara Demokrasi” sepertinya merupakan jenis pertanyaan akan kegamangan kondisi mahasiswa yang merupakan produk dari pantulan realitas politik yang terjadi.
Kontemplasi
Sebagai bahan kontemplasi, penulis berharap akan terjadinya perubahan cara berpikir secara teoritik dalam sistem politik dan tata kelola negara sehingga praktek berbangsa dan bernegara mengalami penyegaran. Cara berpikir yang dimaksud adalah berpikir secara fundasional dan hirarkis. Meletakan nilai Pancasila sebagai fundasi tertinggi sehingga betul-betul termanifes dalam bunyi dan tindak konstitusi.
Olehkarena Indonesia secara historis adalah negara demokrasi kesepakatan berbasis Pancasila maka saya mengusulkan tetap menjadikan kesepakatan kata “hikmat” pada sila keempat Pancasila sebagai fundasionalisme; alat ukur, standar dan kriteria, validitas nilai dalam mengarahkan karakter demokrasi Indonesia untuk seluruh rakyat Indonesia. Kembalikan demokrasi Indonesia pada sila keempat yang menginduk pada sila pertama, pada metafisika politik yang sudah penulis jelaskan sebelumnya.
Demokrasi sebagai alat tidak hanya bertujuan sebagai “kebaikan bersama” seperti nasehat Aristoteles, tetapi sebagaimana juga keinginan Bung Karno, “kearah kesempurnaan”, tujuan berbangsa dan bernegara adalah tiap dari manusia Indonesia menjadi manusia alkamil (manusia sempurna). Sebagaimana cita-cita HMI Komisariat Insan Kamil, Cabang Jakarta Selatan.
“Kita tuangkan suatu masyarakat tanpa explotation de l’homme par l’homme, suatu masyarakat yang tiap-tiap manusia Indonesia merasa bahagia. Suatu masyarakat yang tiada seorang ibu menangis oleh karena tidak bisa memberi air susu kepada anaknya. Suatu masyarakat yang tiap-tiap orang menjadi cerdas. Suatu masyarakat yang benar-benar membuat bangsa Indonesia ini suatu bangsa yang terdiri daripada ratusan juta Insan Alkamil, yang hidup dengan bahagia di bawah kolong langit buatan Allah Subhanahu Wata’ala”.[13]
Dengan demikian, insan kamil adalah tujuan awal dan akhir manusia Indonesia sebagai agen ciptaan Tuhan yang sedang berkegiatan demokrasi di Indonesia, bukan menjadi (becoming) dan agen homo faber dan homo ekonomikus yang mengisi dan mendominasi konten pengetahuan demokrasi.
Insan kamil adalah tujuan semua agama dan cita-cita kemanusiaan, sebab dan prinsip pertama, bagian dari tujuan alamiah dari pengetahuan segala sesuatu (being/wujud), mengetahui, mengenal dan memiliki kesadaran akan “being” artinya proses perjalanan menjadi insan kamil. Menjadi manusia Pancasila dalam kerangka demokrasi Pancasila artinya mengisi konten pengetahuan rakyat dengan prinsip dan sebab pertama, inilah metafisika demokrasi Indonesia.
Tujuan berdemokrasi adalah mengenal Tuhan (ma’rifatullah) sesuai sila pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa. Olehkarena sebagaimana kata Sukarno, menganut premis, Indonesia adalah kolong langit buatan Allah Subhanahu Wata’ala”. Maka manusia politik Indonesia mengekpresikan kebebasan demokrasi dengan arahan dan batasan sila Pertama, Tuhan Yang Esa. (Oleh Muhammad Ma’ruf, Peneliti Pancasila dan Isu-Isu Kontemporer)
[1] Dengan adanya amandemen UUD 2002, pasal 1 ayat 2, “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang Undang Dasar” membuat konstitusi seolah menjadi benar dengan dirinya sendiri (self evident). Jutaan rakyat terbebani menjadi pakar konstitusi setiap hari tanpa bayaran. Rakyat seolah memiliki profesi menjadi aspirator, pembuat, pengurus konstitusi dan penentu demokrasi. Segala atribut itu sebenarnya tidak real dan sirkular, karena legitimasi legalitas akan bisa menyala dan hidup dengan legitimasi rakyat yang di fasilitasi negara yang bisa menjadikan warga negara terdidik dan tercerahkan. (rangkuman dari penulis)
[2] Aristotle, 2005, Metaphysics, NuVision, h. 2
[3] Pengetahuan yang berasal dari pengalaman bersifat partikular, banyak pekerja hanya menggeluti pengalaman, tetapi tanpa bisa mengambil jarak. Orang bijaksana adalah yang bisa menemukan pengetahuan prinsip-prinsip universal dan sebab pertama dari segala sesuatu.
[4] Aristotle, 2005, Metaphysics, NuVision, h. 5-6
[5] Aristotle, 2005, Metaphysics, NuVision, h. 2
[6] Al-Kindi, 1974, Fi Al-Falsafah Al-Ula (on First Philosophy), translate into english by Alfred L. Ivry, State University of New York Press, ABANY, h.55
[7] Al-Kindi, 1974, Fi Al-Falsafah Al-Ula (on First Philosophy), translate into english by Alfred L. Ivry, State University of New York Press, ABANY, h.55
[8] Ibnu Sina, 2005, Asyifa (the Metaphysics of The Healing), translate by Michael E. Marmura, Bringham Young University Press, Provo Utah, h.3
[9] Allama Muhammad Husayn Tabatabai, Bidayah al-Hikmah ([The Elements of Islamic Metaphysics], h.12,
[10] Allama Muhammad Husayn Tabatabai, Bidayah al-Hikmah ([The Elements of Islamic Metaphysics], h.12
[11] Amandemen UUD 2002, Pasal 1 ayat 2
[12] Amandemen UUD 2002, Pasal 1 ayat 3
[13] Pidato Sukarno