Februari 2017, saya terlibat diskusi tentang pemikiran Ibnu Khaldun. Memahami pemikiran Ibn Khaldun klasik-abad 14 dan mengkontekkan di era kontempoter. Tahun 2023 di tengah hiruk pikuk kampanye pilpres Indonesia sekang ini, rasanya penting menyegarkan kembali ingatan pemikiran Khaldun, membawa suasana atmosfir diskursus “keindonesiaan dan kebangsaan” menaikkan ke level pemikiran yang lebih tinggi. Apa itu negara, korupsi, relasi karakter manusia dan alam, jatuh bangun aneka peradaban dunia, dll.
Waktu itu diskusi begitu hangat. Menghadirkam peneliti dan pengamat pemikiran Khaldun; Prof. Dr. Syed Farid Alatas, Dr. Husain Heriyanto dan Ammar Fauzi, Ph.D. Usai diskusi, saya sempat wawancara dengan Prof Farid.
Bersamaan program “Field Trip”, Dr. Farid datang bersama dengan 18 rombangan mahasiswa/wi NUS (National University of Singapore) lintas-disiplin: Sosiologi, Enginering, Bahasa, Psikologi, dan Studi Asia. Kata Prof Farid, Field Trip ini merupakan kegiatan rutin yang dimaksudkan sebagai program di luar kampus untuk menambah wawasan dan kepekaan mahasiswa dengan cara berinteraksi langsung dengan berbagai lapis masyarakat dari berbagai negara. “Kadang 3 hari, 10 hari, berkunjung ke masjid, sinagog, gereja seperti di Turki dan Iran,” ujar Farid.
Bahan diskusinya buku Ibnu Khaldun, karya Prof Farid dengan tema besar“Pengetahuan dan Filsafat dalam Masyarakat Muslim”. Dr. Farid menjadi pembicara pertama. Ia mengatakan, hal yang penting ketika kita bicara pengetahuan dan masyarakat, subjek yang kita pelajari harus berhubungan dengan masyarakat kita. Dan ketika mempelajari tokoh pemikiran seperti Ibnu Khaldun, Ibnu Rusdy, Max Weber, ada tiga hal yang harus kita sadari dan pahami menurut Farid.
Pertama, pendekatan teori, apa konsep teori itu, fondasi teori (theoretical fondation); seperti konsep mulk, ashobiah, daulah dalam teori Ibn Khaldun. Kita harus tahu konsep itu dan bagaimana konsep itu saling terhubung.
Kedua, metodologi yang dipakai seorang ilmuan; demontrasi, retorika, induksi. Kekuatan argumentasi ilmuan tergantung metodologinya.
Ketiga, sesuatu yang disebutkan oleh penulis tapi tidak berhubungan secara langsung akan tapi menjelaskan teori yang dimaksud. Sebagai contoh Ibnu Kaldun menyatakan tentang, penyebab naik turunya sebuah negara-dikatakan bahwa kebanyakan kerajaan diperintah secara tidak adil, artinya Ibnu Khaldun jarang melihat negara diperintah secara adil.
Namun, masalah kemudian timbul dalam sosiologi modern. Definisi negara adalah legitimasi (otoritas). Artinya, negara dibentuk dengan otoritas bukan paksaan. Jika rakyat percaya pada pemerintah, rakyat akan mengikuti pemerintahnya sehingga tidak perlu ada paksaan. Tetapi itu kan dalam teks sosiologi, dan itu terjadi di negara Eropa dan Barat dalam mengembangkan pemerintahannya.
Kemudian bagaimana jika kita kontraskan dengan teori Ibn Khaldun bahwa kebanyakan negara berdiri secara tidak adil. Memang kata Ibn Khaldun, sejak kekalifahan awal berdiri, pemerintahan relatif adil, tetapi setelahnya mengalami kemunduran. Nampaknya akan problematik jika kita asumsikan negara tegak dengan keadilan. Jika kita mengasumsikan negara tegak karena ketidakadilan, maka selanjutnya bagaimana kita belajar tentang negara?.
Karena itu, ketika belajar tentang korupsi di negara saya, misalnya, kita belajar kriminologi, kemudian muncul konsep negara maling (kleptokrasi). Padahal dalam realitasnya selalu ada korupsi di setiap negara. Ketika korupsi menjadi dominan maka akan terjadi akumulasi kapital.
Ibnu Khaldun bilang negara akan turun karena korupsi, sehingga isu korupsi dalam teori Khaldun juga menjadi salah satu isu utama.
Farid mengakui bahwa dia sangat terpengaruh oleh Ibn Khaldun sejak remaja dipicu oleh sang ayah ketika memberikan buku pengantar kecil tentang Ibnu Khaldun. “25 tahun saya mengoleksi dan mempelajari karya Ibnu Khaldun” katanya.
Farid menceritakan bahwa dia menulis selama 6 tahunan, “Kehidupan dan Pemikiran Ibnu Khaldun” karena ketidaksengajaan. Mulanya dia menawarkan buku penerapaan teori Ibnu Khaldun kepada Oxford akan tetapi ditolak dan disarankan untuk menulis “Kehidupan dan Pemikiran Ibnu Khaldun”.
Dalam rangka itu, Farid memberi pesan agar mengoleksi referensi buku sebanyak-banyaknya ketika meneliti, jangan berpikiran untuk menggunakanya dulu; suatu hari pasti kita akan menggunakanya. Salah satu manfaat mempelajari Ibn Khaldun ialah kita dituntut kreatif menggunakan tradisi kita sendiri. Indigeneus, sebagai rujukan adalah suatu hal yang penting.
Bedah buku dilanjutkan oleh pembicara kedua Dr. Husain Heriyanto, dosen Universita Paramadina. Ia mengekplorasi tema “Pengetahuan dan Filsafat dalam Masyarakat Muslim.” Husain memulai diskusi dengan memetakan kondisi umat Islam. Dikatakannya, telah terjadi penurunan tradisi Intelektual di dunia muslim era sekarang, dan pada saat yang sama menghadapi tantangan dominasi militer asing, dominasi ekonomi dan budaya.
Dunia Islam juga mengalami krisis peradaban akibat munculnya radikalisme yang berakar dari ketidaktahuan dan kurangnya tradisi intelektual. Akibatnya, umat Islam secara spiritualitas menurun, dan naiknya pemahaman dan tren penafsiran yang sempit terhadap agama-melihat orang lain selalu dengan kaca mata sebagai kafir dan sesat. Banyak sarjana muslim tidak tahu dan menolak kekayaan tradisi intelektual muslim sendiri, seperti menolak keberadaan Fisafat. Padahal filsafat dapat merangsang tumbuhnya tradisi intelektualitas.
Oleh karena itu, Husain menawarkan kembali pada tradisi peradaban Islam-hikmah. “In the intellectual tradition of Islamic civilization, the term al-hikmah is considered as al-’ulūm al-’aqliyyah (intellectual sciences). Ĥikmah (falsafah) is philosophy that has been a mother of the Islamic intellectual tradition (Seyyed Hossein Nasr). Islamic philosophy as well as Sufism have been source of inspiration for rational enterprises as well as spiritual journey of human being.”
Husain mengutip pandangan beberapa filsuf muslim tentang arti filsafat. Pengertian paling murni dari Al-Kindi: “philosophy is the knowledge of the reality of things within man’s possibility, because the philosoper’s end in his theoretical knowledge is to gain truth and in his practical knowledge to behave in accordance with truth”(S.H. Nasr, Islamic Philosophy, New York: SUNY, 2006) .
Sedang mengenai cakupan Filsaf dari Al-Farabi, Husain memaparkan, “philosophy is the knowledge of existents qua existents. Philosophy is the mother of the sciences dan dealt with everything that exists. There is nothing among existents in the world with which philosophy is not concerned. Ĥikmah is the perfection of the human soul through the conceptualization of things and the judgment of theoretical and practical truths to the measure of human capability.
“Philosophy is the knowledge of existents qua existents. Philosophy is the mother of the sciences dan dealt with everything that exists. There is nothing among existents in the world with which philosophy is not concerned (Ibn Sina). Hikmah is the perfection of the human soul through the conceptualization of things and the judgment of theoretical and practical truths to the measure of human capability (S.H. Nasr, ibid).
Adapun dalam pandangan Ikhwan al-Shafa, cakupan filsafat yaitu the beginning of philosophy is the love of the sciences; its middle is knowledge of the reality of things to the extent to which man is capable; and its end is speech and action in conformity with this knowledge”–Loving and seeking knowldge as a human passion & spirit, Knowledge of the reality of things ( believing in human reason capacity), Integration between theoretical and practical dimensions, (Rasa’il Ikhwan al-Safa).
Mulla Shadra berkata, “Falsafah adalah proses penyempurnaan jiwa manusia (istikmalu al-nafs al-insaniyyah) melalui pengetahuan (bi ma’rifah) realitas segala yang ada (al-mawjudat) sebagaimana ia ada (ma hiya) dan melalui putusan (al-hukm) tentang wujudnya yang diperoleh dengan bukti-bukti demonstratif (al-barahin) dan tidak muncul dari prasangka (zhan) dan peniruan buta (taqlid) ” (Mulla Shadra, Al-Asfar al-Arba’ah, vol. 1, 2002, hal. 47). Juga dalam hadis nabi, Rabbi, arina al-asy-ya kama hiya.
Kemudian Aristoteles, Al-Farabi, Ibn Sina membagi filsafat kedalam dua aspek: teori (Matematika, Fisika, Metafisika), dan praktek (Etika, Ekonomi, Politik).
Husain mengatakan bawha telah terjadi paradox dalam masyarakat muslim. “Satu sisi kita tahu salah satu pesan utama Islam adalah mencari pengetahuan (hikmah) (QS. 2: 269), hadis nabi: mencari pengetahuan adalah kewajiban setiap muslim, juga pernyataan Ali, puncak kebajikan adalah pengetahuan. Akan tetapi, banyak ruang perpustakan kosong meski perpustakan sudah di bangun dengan cukup mewah. Inilah salah satu indikasi penurunan tradisi intelektual Islam. Pada saat yang sama, tindakan ekstrimisme naik di dunia muslim terjadi karena faktor ketidaktahuan. Seperti dikatakan Ibnu Rusdy, “ignorance leads to tear, tear leads to hate, and hate leads to violence.”
Indikasi yang lain adalah sebagian masyarakat muslim menolak dan mengutuk tasawuf dan filsafat. Padahal Filsafat adalah induknya pengetahuan. Filsafat merangsang manusia mencari realitas apa adanya (realitas objektif), tidak hanya realitas iktibari (konstruksi mental). Salah satu problem kita yang lain adalah kita tidak bisa mendevelop ilmu terutama ilmu sosial karena lemah dan ketidakpedulian kita pada filsafat.
Merespon pembicara pertama dan kedua, pembicara ketiga Ammar Fauzi, Ph.D mengamini, memang isu legitimasi amat krusial, khususnya dalam komunitas yang baru. Ammar juga menyoroti ketidaktahuan yang, dalam kata-kata Ibn Rusyd, dapat menghantarkan pada tindak kekerasan. Namun sebaliknya, dalam analisis Ammar, Ibn Khaldun justru menyimpulkan penindasan berawal dari ketahuan atau dari saking dalamnya penguasa menguasai masalah. “Selebihnya akan saya paparkan dalam presentasi”, ujar Ammar.
Ammar menyarankan untuk keluar dari mental inferior di hadapan Barat. Satu contoh, dalam sejumlah literatur sosiologi, Ibn Khaldun kerap disebut-sebut sebagai West Montesque, padahal Ibnu Khaldun lebih dahulu ketimbang Montesque. Oleh kalangan ahli di Barat sendiri, tokoh Muslim ini diakui sebagai bapak sosiologi. Justru posisinya harus dibalik, Montesque dialah yang setepatnya disebut sebagai East Ibn Khaldun. Teorinya tentang kondisi natural masyarakat sangat dekat dengan masyarakat ashabiyyah Ibn Khaldun.
Untuk itu, Ammar menegaskan, jika kita ingin membuat peradaban, maka penting untuk mengetahui seberapa besar kapasitas kita dalam membangun, untuk itu perlu mengamati bentuk-bentuk penindasan intelektual seperti yang dipetakan Ibn Khaldun.
Ammar Fauzi kemudian menjelaskan secara lebih detil dalam materi presentasinya berjudul, “Denyut Krisis Kebangsaan dalam Patologi Sosial”. Berbasis teori Ibnu Khaldun, Ammar menjelaskan faktor-faktor kerentanan sosial melalui sebuah pemetaan.
Terdapat beberapa faktor penyebab kerentanan sosial; 1. Kondisi alami (Iklim 1, 2 ,3, 4, 5, 6, 7, 8 (iklim 4 imbang) 2. Insani/pola hidup (primitif atau beradab), 3. Penguasa/karakter sosial (terlampau cerdas dan rezim kebenaran), 4. Populasi ( wabah, kematian, krisis pangan, imigrasi) 5. Masa Transisi (perusakan pusaka, konflik antarkubu). Kondisi alam sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor iklim, terdapat 7 iklim. Iklim terjadi seperti bola bumi, terjadi titik ektrem; kutub selatan dan utara, timur dan barat, dan titik 4 menempati titik keseimbangan dan yang paling layak dihuni.
Untuk memahami iklim ini Ammar menyarankan untuk memperhatikan analisa Jenderal Nurmantyo. “Saya merekomendasi untuk melihat pemaparan Panglima Gatot Nurmantyo bahwa Indonesia, 50 tahun ke depan akan mengalami persoalan iklim, terkait dengan sumber alam, tambang dan sumber daya manusia; akan ada eksodus besar dari bangsa lain, entah dari Barat dan Timur”.
Artinya faktor lingkungan sangat mempengaruhi perilaku, mentalitas bawaan seseorang yang juga pernah dinyatakan oleh Montesque. Menariknya salah satu penyebab krisis sosial justru karena penguasa terlalu cerdas, terlalu menguasai masalah. Dia yang paling mampu mendefinisikan kebenaran. Setiap kebenaran di luar definisi dan kerangka rezim penguasa akan dibredel. Akibatnya akan muncul totalitarianisme.
Dari bagan patologi sosial, Ammar kemudian memetakan teori Ibn Khaldun tentang karakter faktor insani ( pola hidup) yang bisa mencerminkan karakter sebuah bangsa.
Pola hidup manusia yang pada akhirnya bisa membentuk karakter bangsa terbagi dalam dua karakter; politik beradab dan primitif. Politik yang kita pahami sebagai beradab sebenarnya menyimpan penyakit bawaan; konsumerisme, glamorisme, turunnya nasionalisme. Hal ini akan membawa perubahan karakter; rasis, berlebih lebihan, menindas, kompetisis kekayaan dan obral nafsu.
Rasis dan fasis bisa mengakibatkan KKN dan pemberontakan, budaya berlebih-lebihan mengakibatkan anggaran besar, sehingga penguasa tergoda menaikkan pajak. Timbul penindasan, karena pajak dinaikkan dan penjualan aset SDA dan SDM. Brutalnya kompetisi kekayaan menimbulkan krisis kepercayaan diri dan rakus. Bangsa yang dikuasai nafsu mengakibatkan sifat hedonisme dan sifat malas. Sedangkan karakter primitif justru menaikkan nasionalisme dan menumbuhkan karakter mulia dan mencapai titik imbang.
Sebagai penutup, Ammar menyarankan untuk selalu melihat kondisi kontemporer sebagai bagian dari penajaman pemahaman dan pengalaman berfilsafat.
Beberapa pesan dari para pembicara terus saya ingat. Dari Prof. Farid, “percaya diri membangun desain teori ilmu sosial dari kasanah lokal untuk melihat masyarakat Asia”. “Kembali kepada tradisi klasik Islam, intelektualisme dan spiritualisme”, dari Dr. Heriyanto. “Jeli mendekatkan tradisi klasik Islam dan Barat secara aktual dan elegan”, dari Ammar Faruzi, Ph.D.