Salah satu penyebab kemunduran sains di dunia Islam karena sebagian kaum Muslimin dibawah pengaruh kemajuan keilmuan dan teknologi barat dan tanpa pengetahuan akan keterbatasan ilmu-ilmu empiris, telah menjadi terikat kepadanya; bahkan sampai pada tingkat mencoba mengintepretasikan al-Quran dan hadits sesuai dengan pengetahuan ilmu-ilmu empiris tersebut. Yang lain telah pergi jauh, mengklaim seluruh penemuan ilmiah modern ada di dalam al-Quran dan tek-teks hadits.
Menarik untuk memperhatikan hasil hipotesa Husein Heryanto tentang kemiripan Agnotisme Imanuel Kant dan Islam Radikal. Beliau mengatakan terdapat persamaan pemikiran antara Kant (nomenalisme) dan agama radikal – fenomalis; diantaranya, menolak metafisika, skeptisis terhadap akal, afinitas yang kuat dengan positifisme dan saintifisme, cenderung pragmatis, kosmologi sekuler dan mencampakan tradisi. Hal ini disampaikan dalam makalahnya berjudul “Nomenalisme dan Fenomenaisme; dua kutub ektrim Kantian yang mengoyak spiritualisme” dalam diskusi yang diselenggarakan Jurnal Kanz Philosophia, 26/4 di Sekolah Tinggi Sadra-Jakarta Selatan.
Meski diakui Husein bukan sebuah faktor dominan, pemikiran Kant yang menolak metafisika karena roh, jiwa, Tuhan sesuatu nomena (unknown, tidak bisa diketahui) membawa konsekuensi bagi skeptisisme penggunaan akal bagi kaum radikal. Sayangnya meskipun Husein menemukan kemiripan corak agnotisme Kant dan Islam radikal, tidak dijelaskan secara detil kesinambungan gagasanya, dikarenakan menurutnya makalah yang disampaikan belum selesai. Husein hanya mengatakan ada kesamaan karakteristik secara epistemologi agnotisme dan pola pikir Islam radikal.
Menurut pengamatan saya, akar Islam radikal atau wahabi salafi disebarkan oleh Muhammad Bin Abdul Wahab pada abad 18 yang menggalakakan pemurnian aqidah tidak bersentuhan secara langsung dengan filsafat agnotisme Imanuel Kant. Pengertian Agnotisme disini yang dimaksud, tidak mengafirmasi akan tetapi juga tidak menolak tentang gagasan tertentu. Kant menolak metafisika karena merupakan nomena (unknown) tidak bisa diketahui, dan pengetahuan yang bisa diketahui adalah fenomena saja dengan perantara pengalaman dan indera melalui akal dengan 12 kategori. Pembicaraan metafisika bagi Kant tidak bermakna karena itu dia diandaikan saja ada. Inilah yang dimaksud agnotisme Kant.
Sedangkan Wahabi salafi sendiri jelas tidak menolak metafisika sejauh yang dimaksud percaya pada Tuhan, jiwa, dan roh. Akan tetapi wahabi menolak menggunaka akal atau filsafat dalam memahami agama. Inilah kontradiksi wahabi, mempercayai adanya Tuhan (metafisika) akan tetapi menolak menggunakan filsafat, sedangkan metafisika bagian dari filsafat, menolak akal dengan menggunakan akal. Ajaibnya meski pemikiran wahabi dan agnotisme Kant tidak mempunyai hubungan satu rumpun pengetahuan bahkan bertolak belakang, tetapi secara epistemologi mempunyai karakteristik yang sama, menolak metafisika.
Kant dan wahabi sama-sama skeptis dalam menangkap nomena, karenanya keduanya skeptis terhadap penggunaan akal dalam memahami agama. Kant ragu karena akal hanya bisa menangkap proposisi yang disusun 12 kategori dan menggabungkanya dengan pengalaman. Kant mencoba menggabungkan empirisme David Hume dan rasionalisme Decartes. Dalam bahasa Kant, pengetahuan merupakan konstruksi mental yang bersifat kategoris terhadap pengalaman inderawi. Sedangkan Wahabi dalam ajaranya tidak hanya skeptis cenderung mengharamkan penggunaan akal. Agama dipahami dalam wahabi dengan dogma.
Pandangan metafisika Kant dapat dikategorikan relatifis karena menganggap persoalan metafisika tidak mempunya realitas yang mandiri di alam eksternal. Karenanya Tuhan hanya bisa diimani realitasnya persis seperti wahabi dan karenanya perbuatan baik dan buruk menurut Kant karena ada instruksi akal (imperatif kategoris). Perbuatan baik dan buruk bukan karena perintah Tuhan, akan tetapi akal mengatakan bahwa perbuatan baik dilakukan karena akal mengatakan demikian.
Kant melihat ruang dan waktu sebagi kunci memahami epistemologinya, 12 kategori Kant dapat ditemukan dalam ruang dan waktu, sedangkan metafisika di luar ruang waktu karenya tidak bisa diketahui dan membicarakanya adalah sia-sia.
Skeptisisme dalam Filsafat dan Agama
Sebenarnya, membicarakan sikap skeptis mempunyai makna yang positif jika diletakkan dalam proses pencarian (discovery) seperti yang dilakukan oleh Descartes. Akan tetapi sikap skeptis menjadi berhadap hadapan jika diletakan dalam kontek penyelidikan prinsip-prinsisp agama. Sehingga muncullah perdebatan ketegangan filsafat dan agama, dan juga antara agama dan sains pada masa positifisme logis (klaim satu-satunya kebenaran ilmiah).
Sikap skeptis dalam epistemologi (filsafat pengetahuan) mempunyai arti menyangsikan kenyataan yang diketahui baik ciri-cirinya maupun eksistensinya. Para skeptikus sebenarnya sudah ada sejak zaman Yunani kuno, tetapi di dalam filsafat modern, Rene Descartes adalah perintis sikap ini dalam metode ilmiah. Kesangsian Descartes dalam metode kesangsiannya adalah sebuah sikap skeptis, tetapi skeptisisme bersifat metodis, karena tujuan akhirnya adalah untuk mendapatkan kepastian yang tak tergoyangkan, yaitu: cogito atau subjectum sebagai onstansi akhir pengetahuan manusia. Di dalam filsafat David Hume kita bisa menjumpai skeptisme radikal, karena ia tidak hanya menyangsikan hubungan-hubungan kausal, melainkan juga adanya substansi atau realitas akhir yang bersifat tetap.
Dalam filsafat klasik, “mempertanyakan” merujuk kepada ajaran mengenai “Skeptikoi”. Dalam ilmu filsafat mereka “tidak menyatakan apa-apa selain pandangan sendiri saja.” (Liddell and Scott). Dalam hal ini, keraguan filsafati, atau Pyrrhonisme adalah posisi filsafat yang harus menangguhkan satu keputusan dalam penyelidikan. (Sextus Empiricus, Outlines Of Pyrrhonism, Terjemahan R.G. Bury, Harvard University Press, Cambridge, Massachusetts, 1933, 21.)
Dalam agama, skpetisisme digunakan untuk mempertanyakan, merujuk kepada “keraguan tentang prinsip-prinsip dasar agama (seperti keabadian, pemeliharaan, dan wahyu).”
Skeptisisme Kant dan Wahabi
Jika dilihat dari sisi makna epistemologi, terdapat perbedaan skeptisisme Kant dan Wahabi. Kant skeptis secara epistemologi, bahwa metafisika tidak dapat diketahui secara epistemologis, akan tetapi kesimpulan itu didapat setelah melalui proses penyelidikan dengan menggunakan akal. Sedangkan skeptisime Wahabi, meragukan akal dapat dipakai secara maksimal dalam memahami agama, dan cenderung kalaupun akal dipakai untuk menjustifikasi keyakinan yang eklusif ada dalam ajaran wahabi.
Wahabi tidak melakukan upaya skeptisisme dalam menyelidiki prinsip-prinsip dasar agama (seperti keabadian, pemeliharaan, dan wahyu). Jadi meski outputnya antara wahabi dan Kant sama-sama keduanya skeptis terhadap akal, akan tetapi diletakan dalam kasus yang berbeda. Kant sebagai seorang filsuf dan Abdurrahman bin Abdul Wahab sebagai seorang pendiri gerakan wahabi tidak bisa dibandingkan secara berhadap-hadapan, karena filsuf berangkat dari akal, sedangkan Wahabi berangkat dari doktrin literal. Akan tetapi meskipun demikian, hipotesa Husein Heryanto patut diapresiasi dan perlu dikaji lebih dalam. Penyelidikan itu bisa dimulai dari melihat fenomena radikalisme dalam Islam yang memang sudah ada sejak kemunculan Khawarij.
Khawarij seperti yang kita ketahui adalah orang-orang yang keluar dari komando Imam Ali dalam perang Shiffin. Orang-orang yang gemar larut dalam lambang-lambang, memiliki dugaan-dugaan politik yang ingin mereka Islamkan dengan paksaan, sambil mengatakan “La hukma illallah” tiada hukum yang dapat diikuti, kecuali kembali kepada hukum Allah. Kelompok ini dapat dikategorikan falasi (kelompok sesat pikir). Kata Imam Ali orang-orang Khawarij adalah orang-orang yang senantiasa mencari kebenaran, tetapi mereka keliru dalam memahaminya, akhirnya mereka terjerumus dalam kesesatan. Kata kunci memami pola pikir Khawarij adalah biasanya menggunakan “dugaan-dugaan” dalam memahami apapun terutama agama.
Kemudian kita juga bisa menyelidiki dengan melihat kesinambungan perisiwa dan awal lumpuhnya tradisi penggunaan akal. Fenomena ini bisa dilihat dari awal stagnasinya penggunaan akal dalam memahami agama seiring dengan penggembosan filsafat akibat kolaborasi penguasa dan para fuqoha. Fenomena timbulnya akibat ketegangan antara fuqoha dan filsuf muslim pada zaman aL-Ghozali (lahir di Thus; 1058 / 450 H – meninggal di Thus; 1111 / 14 Jumadil Akhir 505 H; umur 52–53 tahun) adalah seorang filosof dan teolog muslim Persia, yang dikenal sebagai Algazel di dunia Barat pada abad Pertengahan.
Penyidikan juga bisa digali dari peristiwa apa saja yang terjadi antara zaman Kant (lahir di Konigsberg, 22 April 1724 – meninggal di Konigsberg, 12 Februari 1804 pada umur 79 tahun) adalah seorang filsuf Jerman. Karya Kant yang terpenting adalah Kritik der Reinen Vernunft, 1781. Dalam bukunya ini ia “membatasi pengetahuan manusia”. Atau dengan kata lain “apa yang bisa diketahui manusia.” Ia menyatakan ini dengan memberikan tiga pertanyaan: Apakah yang bisa kuketahui? Apakah yang harus kulakukan? Apakah yang bisa kuharapkan?
Kita juga bisa melakukan penyelidikan maraknya Wahabi di Timur Tengah pada abad abad 17- 18 yang tidak bisa lepas dari efek imperialisme. Namun dari sekian penyelidikan itu satu hal yang pasti bahwa akibat paling kentara pelemahan akal dalam memahami agama bersamaan dengan suburnya relatifisme, agnotisme, nihilisme terhadap metafisika dan agama yang mengiringi perkembangan aliran empirisme, positifisme, filsafat bahasa dan posmodernisme di barat. Secara filolosif akibat dari gema Filsafat Kant yang sudah dipaparkan sebelumnya.
Pengaruh lain adalah “pembabtisan” Filsafat Aristoteles dalam teologi Kristen abad pertengahan. Hal ini mengakibatkan pertengkaran gereja dan sains. Hasil sains banyak yang bertolak belakang dengan keyakinan gereja. Akibatnya gereja memusuhi filsafat dan sains. Ajaibnya fenomena di Barat ini ternyata berdampak dalam dunia Islam, menimbulkan ketegangan dan konflik sains dan Islam. Akibat lebih jauhnya adanya Islamisasi sains. Sains dan agama dipahami secara tidak tepat.
Kemunduran sains di dunia Islam dalam kaca mata Mehdi Golshani selaras dengan Sadra akibat pertengkaran sains dan agama yang tidak perlu. Kekaburan melihat antara kebenaran sains dan agama. Adanya upaya pemaksaan pencocokan antara kebenaran sains yang berubah-berubah dan kebenaran al-Quran. Seperti kata Golsani;
Salah satu penyebab kemunduran sains di dunia Islam karena sebagian kaum Muslimin dibawah pengaruh kemajuan keilmuan dan teknologi barat dan tanpa pengetahuan akan keterbatasan ilmu-ilmu empiris, telah menjadi terikat kepadanya; bahkan sampai pada tingkat mencoba mengintepretasikan al-Quran dan hadits sesuai dengan pengetahuan ilmu-ilmu empiris tersebut. Yang lain telah pergi jauh, mengklaim seluruh penemuan ilmiah modern ada di dalam al-Quran dan tek-teks hadits.
Di lain pihak akibat gereja memusuhi sains dan filsafat di Barat pada masa abad pertengahan, juga berkontribusi terhadap pola pikir sekulerisme dalam tubuh Islam hingga sekarang. Filsafat dipakai untuk memahami Islam sejauh dan sebisa mungkin bisa mensekulerkan agama; memisahkan agama dari politik, menetralisir agama dari ideologi, memunculkan wajah agama perdamaian berlawanan dengan agama syariat, menunjukkan di depan publik ketidakadilan agama dalam gender, menghadapkan Islam dengan lesbian, homoseksual, poligami dll. Akibatnya media panen tentang deretan persoalan rapuhnya akal dalam Islam.