MP-Geopolitik pada umumnya di artikan ilmu yang berkaitan dengan kontur bumi dilihat dari sudut pandang politik, dalam skala nasional dan global. Pemanfaatan bumi untuk kepentingan politik. Meliputi relasi strategis bumi dengan kekuatan politik. Juga relasi hubungan internasional antar negara. Terdapat tiga paradigma utama hubungan internasional (HI), realisme, liberalisme dan neo Marxis. Masing-masing memiliki asumsi teoritis. Tulisan berikut akan mengupas ketiganya secara singkat dan serial.
Realisme dan Batasannya
Salah satu dari paradigma utama yang mendominasi hubungan internasional (HI) adalah realisme. Realisme memiliki beberapa ragam: dari realisme klasik Hans Morgenthau, E. Carr, dan R. Aron, realisme matang Henry Kissinger, dan hingga neo-realisme K. Waltz, S. Walt, atau R. Gilpin.
Postulat dasar realisme adalah sebagai berikut:
– Pelaku utama hubungan internasional adalah negara-bangsa
– Kedaulatan negara-bangsa menyiratkan tidak adanya badan pengatur yang melebihi batas-batas negara;
– Dengan demikian terdapat potensi anarki (kekacauan) antar negara dalam struktur hubungan internasional;
– Perilaku negara di kancah internasional tunduk pada logika pengamanan kepentingan nasional secara maksimal (dapat dilakukan perhitungan rasional dalam setiap situasi tertentu);
– Otoritas negara berdaulat adalah satu-satunya entitas yang cukup kompeten untuk menjalankan kebijakan luar negeri, pemahamannya, dan implementasinya (warga negara biasa, individu menurut definisi, tidak kompeten untuk menilai bidang hubungan internasional dan tidak mampu mempengaruhi proses yang terjadi di dalamnya);
– Keamanan negara dalam menghadapi potensi ancaman atau persaingan eksternal merupakan tugas utama otoritas politik setiap negara dalam hubungan internasional;
– semua negara berada dalam kondisi potensi perang satu sama lain demi kepentingan egoistik mereka sendiri (perang dari potensi menjadi nyata hanya dalam situasi tertentu di mana konflik kepentingan tumbuh secara kritis);
– Sifat masyarakat manusia tetap tidak berubah, apapun perubahan sejarahnya, dan tidak cenderung berubah di masa depan;
– Sisi faktual dari proses hubungan internasional lebih penting daripada sisi normatif;
– Penjelasan tingkat terakhir tentang struktur hubungan dan peristiwa internasional adalah identifikasi fakta dan keteraturan obyektif yang memiliki dasar material-rasional.
Realisme dalam HI memandang sistem Westphalia sebagai hukum universal yang ada pada tahap awal sejarah, namun baru dipahami dan diadopsi oleh sebagian besar negara maju di Eropa sejak abad ke-17. Pendekatan realis didasarkan pada prinsip absolutisasi kedaulatan negara-bangsa dan mengutamakan kepentingan nasional. Pada saat yang sama, kaum realis memandang segala upaya untuk menciptakan lembaga-lembaga hukum internasional (dan lainnya) yang mengklaim mengatur proses-proses dalam hubungan internasional berdasarkan norma-norma dan nilai-nilai yang bersifat internasional (supra-nasional) dengan sikap skeptis. Setiap upaya untuk membatasi kedaulatan negara-bangsa dipandang oleh kaum realis sebagai “idealisme” (E. Carr) dan “romantisisme” (Carl Schmitt).
Kaum realis yakin bahwa setiap asosiasi, atau sebaliknya, disintegrasi, negara-negara tradisional hanya akan mengarah pada munculnya negara-negara baru, yang ditakdirkan untuk mereproduksi skema reguler yang sama pada tingkat yang lebih besar atau lebih kecil. Skema ini tunduk pada prinsip-prinsip kedaulatan dan kepentingan nasional yang tidak dapat diubah, dan negara, dalam kondisi apa pun, tetap menjadi satu-satunya aktor penuh dalam hubungan internasional.
Salah satu pendiri realisme klasik, Hans Morgenthau, menekankan lima prinsip dasar dan dalil aliran ini:
- Masyarakat diatur oleh hukum yang obyektif, bukan oleh keinginan.
- Hal utama dalam urusan internasional adalah kepentingan, yang didefinisikan dalam kekuatan dan kekuasaan
- Kepentingan negara berubah.
- Penolakan terhadap moralitas diperlukan dalam politik.
- Persoalan utama dalam hubungan internasional adalah bagaimana suatu kebijakan tertentu mempengaruhi kepentingan dan kekuasaan suatu bangsa.
Identifikasi kelima elemen ini dan analisis bagaimana isu-isu tersebut dijawab, termasuk seberapa efisien isu-isu tersebut dipraktikkan, merupakan konten utama IR, sebagaimana dipahami oleh kaum realis.
Realisme klasik terbatas pada serangkaian titik awal ini, yang dipertahankan dan dibenarkan dalam menghadapi lawan-lawan ideologis utamanya (kaum liberal dalam HI).
Neo-realisme secara kualitatif memperumit skema ini dengan membawa konsep “struktur” hubungan internasional (K. Waltz). Alih-alih kekacauan dan anarki (seperti dalam realisme klasik) dalam bidang hubungan internasional, justru terdapat keseimbangan kekuatan yang selalu berubah. Potensi kumulatif namun menjanjikan ini membuat seluruh sistem global tetap pada tempatnya, atau dalam beberapa kasus, memicu perubahan pada struktur. Dengan demikian, cakupan kedaulatan, dan akibatnya, kemampuan untuk mewujudkan kepentingan nasional sampai tingkat tertentu, tidak hanya bergantung pada negara itu sendiri dalam menghadapi lawan dan pesaing langsung dalam setiap kasus tertentu, tetapi juga pada keseluruhan struktur negara dan keseimbangan kekuatan global. Struktur ini, menurut kaum neo-realis, secara aktif mempengaruhi isi dan ruang lingkup kedaulatan nasional bahkan perumusan kepentingan nasional. Kaum realis klasik memulai analisisnya dari tingkat negara-individu.
Neo-realis memulai dengan struktur global, yang terdiri dari negara-individu yang mempengaruhi aktivitas mereka. Dari sini, seperti halnya kaum realis klasik, kaum neo-realis beranggapan bahwa prinsip utama kebijakan negara dalam hubungan internasional adalah prinsip “kemandirian” (self-help).
Neo-realis pada tahun 1960an-70an secara teoritis mendukung dunia bipolar sebagai model struktural yang patut dicontoh dalam hubungan internasional, yang didasarkan pada keseimbangan antara dua hegemoni (Amerika dan Soviet). Yakni, struktur ini, dan bukannya kepentingan negara-bangsa yang berbeda, dalam hal ini menentukan isi dari keseluruhan kebijakan luar negeri negara-negara di dunia. Penghitungan kepentingan nasional (dan langkah-langkah menuju implementasinya) sendiri dimulai dengan analisis bipolaritas dan lokalisasi masing-masing negara pada peta ruang bipolar ini, dengan tanda geopolitik, ekonomi, ideologi, dan politik yang sesuai.
Ketika dunia bipolar runtuh pada tahun 1991 (yang tidak diharapkan atau diprediksi oleh kaum neo-realis, karena yakin akan stabilitas struktur bipolar), beberapa perwakilan aliran ini (misalnya R. Gilpin, S. Walt, dan M. Rupert) membenarkan model baru struktur global yang sesuai dengan dunia unipolar. Alih-alih dua hegemoni, yang ada malah hegemon tunggal Amerika, yang sejak saat itu telah menentukan struktur hubungan internasional dalam skala global.
Namun dalam kasus ini juga, kaum neo-realis yakin bahwa pusat dari keseluruhan sistem dipelopori oleh kepentingan nasional. Dalam kondisi dunia unipolar, hal ini hanya menjadi kepentingan nasional satu negara, yaitu AS, yang merupakan pusat hegemoni global dan sumbernya. Negara-negara lain masuk dalam gambaran asimetris ini, karena mereka mengkorelasikan kepentingan nasional mereka pada skala regional dengan struktur global.
Perwakilan partai konservatif sayap kanan (Partai Republik di AS, Partai Tories di Inggris, dll.) cenderung tertarik pada pendekatan realis.
Perlu dicatat bahwa realisme adalah salah satu dari dua paradigma paling populer di AS dalam evaluasi dan interpretasi peristiwa dan proses yang terjadi dalam politik internasional.
Paradigma realis tidak membuat pilihan antara Perdamaian Westphalia (berdasarkan kedaulatan banyak negara), bipolaritas, atau unipolaritas. Berbagai pendukung pendekatan realis mungkin mempunyai pendapat yang berbeda mengenai hal ini, namun mereka semua memiliki seperangkat kebenaran aksiomatik yang telah disebutkan sebelumnya dan keyakinan bahwa negara-bangsa (satu, dua atau banyak) bertindak sebagai aktor utama dan unggul dalam bidang pembangunan hubungan Internasional. Oleh karena itu, kedaulatan, kepentingan nasional, keamanan, dan pertahanan diidentifikasi sebagai kriteria utama untuk menganalisis setiap permasalahan yang terkait dengan hubungan internasional.
Kaum realis tidak pernah memperluas teorinya melampaui negara-bangsa atau beberapa negara-bangsa karena hal ini akan bertentangan dengan kerangka dasar mereka. Oleh karena itu, kaum realis selalu skeptis terhadap semua entitas dan proses internasional, melihatnya sebagai pembatasan kedaulatan nasional melalui organisasi entitas dan institusi supranasional. Kaum realis tidak mengakui adanya realitas politik konkrit di ranah internasional yang berkaitan dengan struktur kekuasaan supra-nasional (dan intra-nasional). Kebijakan luar negeri sepenuhnya merupakan bidang kompetensi otoritas politik hukum suatu negara. Entitas internasional atau posisi segmen terpisah dalam suatu negara tidak memiliki bobot apa pun dan dapat diabaikan. Fakta yang sederhana dan konkrit adalah bahwa otoritas pengambilan keputusan politik harus diakui secara hukum (umumnya, mereka adalah presiden, perdana menteri, pemerintah, parlemen, dll.).
Setelah itu, kaum realis bersikap skeptis terhadap globalisasi, internasionalisasi, dan integrasi ekonomi dan terus-menerus berdebat dengan mereka yang melakukan hal sebaliknya. (muhammad ma’ruf)