MP-Keduanya, sunni dan syiah adalah mazhab, sudut pandang Islam. Dipertemukan Islam, dibedakan oleh konsep kepemimpinan dan keadilan secara teologis. Bagaimana memahami keduanya dalam konsep geopolitik terkini ?.
Geopolitik Sunni
Kita mulai dari yang terkini. Sebut saja penguasa Arab Saudi, Emiret, Mesir dan Jordan. Negara-negara tersebut telah mendukung secara geopolitik, baik diplomasi dan militer sebagai pembela Israel. Turki dan Qatar sebagai pembela Palestina sekaligus Israel. Kategori “negara-negara sunni” adalah murni penguasanya bukan rakyatnya.
Orang sering mengulang ulang, “negara-negara Arab saja mendukug Israel dan menormalisasi, kenapa Indonesia ngotot membela Palestina? ” Jawabanya, karena secara politik dan militer negara-negara monarki tersebut dibawah kendali AS. Jadi persoalanya, kebijakan luar negrinya “tidak independen” karena faktor desain sejak awal pendirian negara, nyaris hingga sekarang tidak berubah, dibawah kendali negara kolonial. Jadi negara yang nampaknya merdeka secara de jure, secara defacto masih di bawah koloni.
Sementara Turki, olehkarena anggota NATO, dan AS pengendali NATO, jadi maksimalnya mendukung secara politik dan bantuan kemanusiaan untuk Palestina, tapi secara militer tidak memiliki kemampuan melawan Israel, karena NATO mendukung Israel.
Qatar, posisinya tidak jauh berbeda dengan Turki. Keduanya tidak memiliki kemampuan militer melawan Israel. Karena ruang udara keduanya dibawah kendali NATO Timur Tengah.
Geopolitik Syiah
Negara seperti Iran, Suriah, Iraq, Libanon, Yaman secara politik dan militer memiliki kemampuan mengimbangi ruang udara dan darat NATO di timur tengah. Tapi memiliki ganjalan, pangkalan militer AS-Nato di timur tengah berada di wilayah negara-negara Sunni membentuk ruang udara perlindungan dan pertahanan wilayah udara Israel. Hanya saja memiliki keunggulan darat, libanon dan Suriah yang berbatasan dengan Israel. Yaman yang bisa mengontrol laut, pintu masuk-keluar kapal dagang menuju Israel.
Keadilan dan Kepemimpinan
Secara teologis negara-negara Sunni dan pengikutnya tidak memasukkan kepemimpinan dan keadilan sebagai rukun iman, sementara syiah memasukkan dan menjadi bagian dari fundasi iman. Implikasi visi geopolitik dalam syiah, keadilan dan kepemimpian berbasis iman, tidak hanya jargon dan taktik semata, tapi bersifat strategis-operasional-eskatologis.
Praktek logikanya, berprinsip pada logika identitas, dua hal yang bertentangan “tidak bisa dan tidak boleh bersatu dalam satu waktu”. Kezaliman tidak bisa dipahami dan dipraktekkan pada saat menegakkan keadilan.
Menjalin hubungan diplomatik dengan AS dan Israel tidak bisa sekaligus membantu Palestina yang di jajah. Karenanya hingga sekarang Iran tidak menjalin hubungan diplomatik dengan AS dan Israel. Selama AS mendukung penjajahan Israel atas tanah Palestina, maka AS tetap di identifikasi sebagai “setan besar”. “Matilah AS dan Israel”, menjadi bahasa sehari-hari, bagian dari “soft power doa” yang memperkuat dan menyatukan kelompok tertindas di dunia.
Bahasa paling mudah adalah, geopolitik syiah memandang, negara dan masyarakat harus menjadi teman orang-orang tertindas dan menjadi musuh para penindas di seluruh dunia. Konsistensi konsep geopolitik seperti itu dijaga oleh konsep kepemimpinan tanpa putus, sejak nabi, para imam (wakil imam mahdi) hingga akhir zaman, dan tertulis dalam konstitusi Iran dibawah konsep wilayatul faqih, wilayah mutlak bukan relatif. Suara rakyat per se tidak bisa membimbing geopolitik (wilayah ammah(umat), suara rakyat yang di ijinkan Tuhan lah yang dapat memandu sesuai konsep keadilan dan kepempimpinan spiritual yang dimaksud Quran.
Totalitas eskatologis geopolitik syiah, dengan demikian menjadi doktrin strategis-operasional, mengimbangi akhir zaman (eskatologi) dalam konsep zionis internasional, berbasis rasisme dan sistem aphartheid. Dengan demikian, pertempuranya menjadi hitam dan putih, tidak ambigu dan “anti taqiah”. Merdeka atau mati, menjadi syahid (martir) mulia atau sangit (gosong) hina dan memalukan.
Sementara wilayah arsitektur keamanan NATO Arab yang menguasai ruang udara, pertahanan udara pesawat terbang tempur dan kapal induk diimbangi dengan missile dan drone, dan penguasaan bawah bumi. Iran membangun pangkalan militer, 700 m kota bawah tanah dibawah gunung-gunung, begitu juga Hisbullah di Libanon dan Gaza.
Diluar kategori negara-negara sunni secara geopolitik, nyaris tidak bunyi, bersifat kedalam, di wujudkan dalam bentuk “narasi moderasi, inklusifitas, perdamaian”, bahkan dalam kontek tertentu, terseret menjadi bagian dari agenda penjinakan ruang pikiran Islam oleh peradaban barat kolonial.
Lihat kasus para pemimpin Islam yang bangga dan ambigu berkunjung ke Israel atas nama moderasi dan perdamaian. Ambigu karena tanpa rasa berdosa menghianati konstitusi sendiri (Indonesia), sombong karena hatinya tuli.
Secara teologis, ambiguitas ini karena “kepemimpinan dan keadilan” secara teoritis epistemologis tidak dipahami dan digunakan dengan logika prinsip identitas, prakteknya tentu tidak logis dan irrasional. Di luar itu karena faktor manusiawi-hewani, kelalaian, kecerobohan, kesombongan intelektual dan akhlaq.