“Al-Haq tidak bertajalli dalam bentuk yang sama kepada dua orang arif yang berbeda (Ibn Arabi, 3, 384)”
Keberhasilan mem-frame pengalaman mistisme dengan pengetahuan husuli (filsafat) terfokus pada pembahasan “ketakjuban menyaksikan al-haq”. Seorang pakar psikologi AS, William James menganalisa “keterpakuan (inefability)” sebagai pengalaman tak tergantikan dan karenanya tidak bisa dipindahkan ke orang lain.
Benarkah pengalaman mistis, dalam bahasa tasawuf-syuhud- tidak bisa terkatakan dengan perumpamaan apapun, benarkah untuk memahami dan menceritakan pengalaman, pelaku mistis atau “arif” persis seperti analogi eklusifnya rasa makanan oleh indera pengecap, dan pengalaman warna dengan indera mata. Haruskah kita mengalami sendiri untuk bisa memahami?. Dengan kata lain dengan memakai bingkai Filsafat Islam kita bisa ajukan pertanyaan, bisakah kita memahami sebuah pengalaman huduri dengan pengetahuan hushuli?
Sebelum melakukan analisa, ada baiknya kita fokus memahami alur pikiran James seperti dalam makalah Seyyed Ahmad Fazelli “Argumentasi seputar Ineffability”. James berpendapat, kualitas pengalaman mistis tidak bisa dipindahkan secara eksistensial didasarkan sifat alaminya yang terperikan (inefability). Pendapat ini dikritik oleh Stace sebangun dengan David Hume, tidak mungkin suatu efek atau kualitas sederhana terbentuk dalam realitas mental (kognisi) tanpa diawali suatu pengalaman. Stace mengkritik James dua hal, pertama, pengalaman mistik tidak bisa dianalogikan sama dengan pengalaman rasa, warna dan penciuman karena kualitas pengalaman mistik itu spesifik pada satu orang, tidak mungkin diraih oleh pengalaman lain. Kedua pengalaman mistik sebenarnya bisa diekpresikan, namun subjek pendengarlah/pembaca yang tidak memiliki pengalaman penyingkapan.
Dengan demikian fokus pembahasanya adalah lebih kepada bahasa seorang arif (pelaku pengalaman mistik) dibanding subjek pendengar/pembacanya. Karena presepsi mistik (dzauq) saat menyaksikan al-haq tidak terwakili oleh istilah apapun karenanya diluar kontek teoritis dan presepsi inderawi.
Kemudian pertanyaanya, darimana peluang pengalaman mistik itu itu bisa jelaskan dengan bahasa logis, diskursi (filsafat). Peluang itu dimungkinakan menurut Stace karena “segala sesuatu selain Tuhan memiliki sisi kesamaan dan keserupaan” artinya jika kita ingin membahasakan pengalaman mistik seorang “arif”, peluang itu ada karena antara “arif” dan kita karena sama-sama dalam frame selain Tuhan yang mempunyai keserupaan dalam bahasa dan pemahaman.
Dua orang arif yang sama-sama menyaksikan al-haq (tiada seusatupun yang serupa) masih ada peluang mempunyai keserupaan baik dalam ungkapan bentuk kalimat, metafor dan analogi, meskipun dua orang arif mendapatkan tajalli secara berbeda. Ibnu Arabi menjelaskan seperti dua orang yang awalnya sama-sama mempresepsi satu warna kemudian setelah mempresepsi lebih dalam, bisa saja memiliki presepsi yang berbeda. Hamadani menjelaskan perbedaan itu berakar dari perbedaan pemahaman keduanya. Sehingga bisa dikatakan pengalaman mistik bukan hanya perasaan biasa yang karena terlalu dalam tidak bisa diungkapkan akan tetapi pengalaman itu benar-benar tidak mungkin kosong dari muatan kognisi.
Jadi jika di telaah lebih dalam, objek syuhud sebenarnya bukan faktor yang menghalangi, akan tetapi keadaan terpaku yang menguasai si pelaku. Intinya konteknya bukan “inefability” akan tetapi faktor aksiden yang menghalangi untuk sementara waktu. Adapun keterpakuan (keagungan Al-Haq) merupkan attribut dari Al-Haq bukan dari sang penyaksi. Karena keagungan dan rasa terpaku maka menjadi penghalang proses merekam dan mengingat. Seperti yang kita ketahui kerja bahasa ekpresi diilhami oleh memori. Pertanyaan, bahasa apa yang bisa dipakai sebagai media ekspresi?
Jika harapanya bahasa itu konsep logis diskursif yang utuh maka takkan berhasil, karena sama saja mengatakan bagaimana mungkin menggantungkan prinsip rasionalitas untuk memahami apa yang melampaui rasionalitas. Sehingga yang bisa dilakukan adalah penguraian dalam bentuk kata, membuat beragam analogi, penafian dan yang pasti bersifat paradoksal secara lahiriyah.
Selain itu persoalan keagungan menyaksikan “Al-Haq” tidak bisa terpisah dalam aspek epistemologi dan ontologinya, Qunawi dan Naraqi berpendapat, satu-satunya jalan memahami hal-hal mukasafah adalah dengan mukasyafah.
“Mengenai ibarat-ibarat dilontarkan kaum arif—bisa jadi makna yang mereka maksudkan berbeda dengan makna yang kita pahami. Demi memperoleh pada makna yang dimaksud arif, tak ada jalan lain kecuali mukasyafah.”(Naraqi, 585)
“Saya menyaksikan dalam maqam ini hasil dari rahasia amal perbuatan termasuk konsekuensinya, yaitu kebaikan dan keburukan, baik di dunia dan alam barzah dan akherat, baik dalam bentuk niat dan kehadiran secara ilmu, syuhud dan kontemplasi. Namun karena keagungan dirin-Nya, segalanya tak mungkin dijelaskan. Meskipun mencoba menjelaskan, tiada ibarat yang mewakil-Nya. Karena ekpresi tak pernah memadai (Qunawi, 182, 1375).
Seperti yang kita ketahui, kondisi “arif” pada tahap awal tingkatan adalah kehadiran illahi ta’ayyun awwal (entifikasi pertama). Sang arif akan menyaksikan dominasi kesatuan keserbameliputan (ahadiyah aljam’) yang menyatukan karakter prinsip logis dan kotradiktif. Pada titik ini proses husuli lenyap. Karenanya keterpakuan tidak hanya masalah psikologis tetapi memilik sifat objektif.
Dari uraian diatas, bisa dirangkum dengan satu paragraf berikut,
Pengalaman syuhud bersifat tak terlukiskan, hal ini karena wadah pengalaman tersebut dalam kerangka kesatuan (unity). Sedang konsep akan terjadi hanya dalam kemajemukan(multiplisity), klasifikasi dan komparasi. Setiap kata mewakili makna tertentu, akan tetapi saat shuhud terjadi, yang ada hanya kesatuan mutlak tanpa pemahaman. Kemudian setelah syuhud, subjek kembali ke alam keragaman, kemudian memori membantu terciptanya suatu pemahaman (konsep). Karena sandaran keterpakuan (ketakjuban) bersifat metafisis maka ekpresinya kontradiktif sehingga proposisi yang dihasilkan paradoksal husuli.
Mehdi Hairi Yazdi dalam bukunya The Principles of Epistemology in Islamic Philosophy; Knowledge by Presence, yang diterjemahkan menjadi Menghadirkan Cahaya Tuhan; Epistemologi Iluminasionis dalam Filsafat Islam oleh Ahsin Muhammad, Mizan, 2003 halaman 282 mengatakan;
“Penyelidikan metamistik adalah kontemplasi dengan merenungi bahasa objek pengalaman mistik. Sementara pengalaman mistik itu sendiri tetap berada dalam lingkup ilmu hudhuri, irfan dan metamistisisme termasuk tatanan pengetahuan dengan representasi dan karena itu keduanya termasuk pengetahuan dengan korespondensi .”
“Syuhud”, Khas Tasawuf
Pengalaman syuhud dalam irfan berbeda dengan pengalaman mistis agama lain. Syuhud dalam Islam harus sebangun dengan makna pemahaman bunyi ayat dalam nash dan riwayat. Dengan demikian kita bisa memperoleh beberapa poin, pertama, pengalaman mistik bertingkat-tingkat (tingkatan fana), dalam kontek irfan, pengalaman langsung itu dinamai pengalaman syuhud, menyaksikan dengan batin “Al-Haq”. Pada saat mengalami, prosesnya adalah huduri (kebersatuan subjek dengan objek) dan tidak mungkin kosong dari ilmu, pada saat syuhud terjadi bisa jadi subjek menulis pengalamanya secara huduri, persis seperti Ibn Arabi, bisa pula paska syuhud baru menulis pengalamanya dengan cara mengingat pengalaman syuhudnya dengan cara hushuli.
Kedua, sehebat apapun penjelasan filosofis dalam memframe sebuah pengalaman syuhud pasti masih ada celah untuk dikitrik. Karena pakem ungkapan, “tiada yang serupa denganya” bisa dipamahi secara persis dari dua orang arif . Al-Haq tidak bertajalli dalam bentuk yang sama kepada dua orang arif yang berbeda (Ibn Arabi, 3, 384).
Ketiga, meski demikian penjelasan filosofis tingkat tinggi tetap diperlukan untuk menangkap pengalaman syuhud agar pemahaman makna yang terungkap dalam nash Al-Quran dan riwayat tidak keluar terlalu jauh dari makna batinya. Misalnya dalam soal pembuktian Tuhan dengan Burhan Shidiqien Mulla Sadra tanpa melalui mahluk (ciptaan) akan tetapi melalui Tuhan sendiri, yanag dikenal dengan burhan limmi (a posteriori argument; argumen dari sebab ke akibat). Burhan ini biasanya dipakai oleh kaum mukasyafah setingkat dibawah nabi. Burhan ini dikenal diakui paling mendekati penjelasan para imam seperti;
Dalam sebuah riwayat Jatsliq bertanya kepada Imam Ali As, beritahulah kepadaku apakah engkau mengenal Tuhan melalui Muhammad atau mengenal Muhammad melalui Tuhan? Amirul Mukminin Ali As menjawab pertanyaan ini, “Aku tidak mengenal Tuhan dengan perantara Muhammad Saw, Aku mengenal Muhammad dengan perantara Tuhan. Sebagaimana Tuhan, mengilhamkan kepada malaikat ihwal ketaatan kepada-Nya, aku mengenal nabi buatan yang berada di bawah pemeliharaan Tuhan.” Imam Ali As pada kesempatan lain bersabda, “Aku melihat Tuhan sebelum melihat segala sesuatu.” (IRIB Indonesia)