17/07/2019
Sudah hampir lima bulan aku kehilangan kelas. Tidak ada dosen, tidak mendengar, tidak menerima bahan-bahan kuliah dan tentu inspirasi yang mengagumkan hilang. Satu dosen yang melekat kuat adalah Dr. Parsania. Dia mengajar tanpa power point, datang dengan mata kuliah yang dinamai sendiri. Misalnya ilmu Tantangan, ilmu Streamology (arus), ilmu Logika Koneksi. Semua istilah-istilah itu dia temukan sendiri tanpa ketakutan tidak sesuai dengan kurikulum manapun. Akurasi dan bobot tulisanya di jurnal mengagumkan.
Weleh, weleh…. hebat kubilang.
Saat ditanya panjang lebar mahasiswa, dia menjawab telak semua kegelisahan muridnya. Waktu menjawabnya sambil jalan ke kanan, ke kiri, mendekati pintu, jendela, melihat keatas. Kadang pertanyaan Filsafat, Sejarah, Sosial, Sosiologi, Logika dia jawab dengan puisi Rumi, Hafez dll.
Ilmu yang paling melekat kuat dimataku adalah ilmu streamology dan ilmu tantangan. Streamology adalah ilmu arus sungai. Setiap alur berpikir pemikir, arus sejarah, tindakan politik, dll bisa diurut dengan mencari dari ujung ke ujung. Kemampuan itu bisa didapat dengan mengambil deskripsi dengan tepat poin poin pemikir sekaligus dapat mengevaluasi plus minus kadar pemikiranya, pada saat yang sama, tentu saja bagaimana posisi pemikiran Islam melihatnya. Ingat, setiap pemikir hebat sudah menentukan posisi intelektualnya. Kalau lagi mencari cari, itu namanya produk “pemikiranya” belum solid dan belum stabil.
Ilmu tantangan adalah ilmu membaca persoalan kontemporer. Apa kondisi yang menantang sekarang. Karena kita hidup sekarang, maka seorang pemikir harus tahu apa tantangan yang paling signifikan dan gunakanlah pemikiranmu untuk menjawabnya.
Ilmu logika koneksi adalah seni ilmu menghubungan “wil” kehendak manusia (kehendak berkuasa dan mengumpulkan bahan kesejahteraan) dengan ilmu fondasi, seperti ontologi dan epistemologi. Satu contoh, motif mencari ilmu dunia kontemporer terutama di Barat adalah ingin berkuasa dan mengumpukkan kekayaan. Ilmu dikembangkan sebatas mendukung tujuan itu. Barat atau tepatnya dunia Barat yang seharusnya “wil” manusia itu satu rangkaian dengan ontologi dan epistemologi, beriringan, namun terpisah. Keterpisahan itu menjadi bahan-bahan menarik untuk di kaji dan menjadi subsidi antisipasi potensi keterulangan dunia Islam. Islam menghendaki terjadinya koneksi antara “will” dan fondasi pengetahuan. Tepatnya pemikiran fondasional seyogyanya seiring dengan “will” manusia.