Pendidikan Pancasila dan agama menjadi isu yang banyak dibicarakan belakangan. Terutama bagi para pengampu pendidikan Pancasila dan agama di sekolah-sekolah. Menjadi tantangan yang besar karena berkenaan dengan visi individu dalam beragama, berbangsa dan bernegara.Sederet pertanyaan muncul, bagaimana konten pendidikan agama bisa harmonis dengan pendidikan Pancasila. Bagaimana konten agama tidak menjadikan anak didik menjadi anti Pancasila dan anti Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Sebagaimana kita ketahui, Pancasila adalah dasar negara NKRI, ciri khas yang tidak dimiliki bangsa lain, yakni memuat subtansi visi agama besar. Didalamnya termuat harapan besar para founding father, wadah dari harapan ragam lintas agama dan suku. Tentunya sebagai wadah, melalui aklamasi 18 agustus 1945 memiliki legitimasi hukum. Visi hukum adalah alat mensejahterakan, olehkarena itu baik UUD 1945 maupun yang sudah diamandemen menjadi konstitusi resmi negara, adalah suatu perangkat yang memegang mandat mensejahterakan rakyat. Mandat ini sepenuhnya ditangan eksekutif.
Sementara pada pembukaan UUD alinia empat, lima sila menjadi bagian pokok dari tujuan bernegara dan berbangsa. Pada sila pertama dan kedua membentuk ikatan kuat bahwa manusia Indonesia adalah ciptaan Tuhan, membentuk (world view) spiritualisme-menjadi infrastruktur tujuan bagi nilai pokok kesempurnaan manusia Indonesia. Darisanalah etika Pancasila dibangun.
Pendidikan Pancasila artinya ideologi yang termanifestasikan dalam petunjuk praktis pelaksanaan UUD berbasis pada “worldview” spiritualisme.
Sementara pendidikan agama adalah visi besar agama yang mendorong bagi keberhasilan tujuan berbangsa dan bernegara. Membantu menyempurnakan watak (jiwa) manusia dan mendorong bagi terbebasnya dari segala macam bentuk penjajahan dunia.
Para founding father sejak dari awal beragama dan memiliki keyakinan yang kuat pada agama dalam makna teologis dan sosiologis pada saat membuat Pancasila. Sila pertama dibuat tidak hanya memberi hak kebebasan beragama, menyatukan sebagai negara dan bangsa, tetapi juga memberi basis moral sebagai alat untuk melawan keserakahan (kapitalisme) dan imperialisme. Inilah fungsi agama bagi negara, menyatukan rakyatnya untuk tujuan dan visi yang besar bagi bangsa dan negara secara eksistensial. Watak agama memang selaras dengan visi Pancasila. Jiwa Pancasila adalah ruh dan visi agama itu sendiri.
Sukarno berkata tentang fungsi Pancasila,
Dan bukan saja alat mempersatu untuk diatasnya kita letakkan Negara Republik Indonesia, tetapi juga pada hakekatnya satu alat mempersatukan dalam perjuangan kita melenyapkan segala penyakit yang kita lawan berpuluh-puluh tahun yaitu penyakit terutama sekali, imperialisme.
Dengan demikian martabat dan karakter manusia Pancasila sesuai dengan sila kedua, adalah manusia yang memiliki kesempurnaan sifat adil dan beradab. Inilah manfaat negara bagi individu, menjadi ruang atmosfir pembangunan etika bagi perkembangan spiritual rakyatnya. Sementara hukum nasional bekerja untuk mensejahterakan rakyat dan menjaga keamanan beragama.
Seluruh ketaatan rakyat pada hukum nasional adalah aspek legal minimal. Namun jika ketaatan pada hukum nasional di dasarkan pada kesadaran individu, tentu akan membawa pada kesempurnaan individu. Inilah yang disebut etika individu dalam bernegara dan berbangsa. Individu akan memiliki karakter, menjadi suatu bangsa yang berkarakter, karena negara menjadi bagian yang bisa membantu menyempurnakan perkembangan spiritual rakyatnya.
Dengan demikian seyogyanya konten pendidikan agama bisa menyumbangkan dan menjadi mandat moral bangsa agar menjadi bangsa yang berkarakter. Bung Karno juga mengatakan bangsa ini harus dibangun dengan mendahulukan pembangunan karakter (character building), karena karakter building inilah yang membuat Indonesia menjadi bangsa yang besar, maju, jaya dan bermartabat. Kalau hal ini tidak dilakukan, maka bangsa ini menjadi bangsa kuli.
Mandat moral bagi negara untuk rakyatnya adalah integrasi beragama, bernegara dan berbangsa. Setidaknya terdapat lima visi yang layak diusulkan agar terjadi hubungan yang integratif antara pendidikan Pancasila dan agama;
Visi pertama adalah, menjadikan pembukaan UUD alinia pertama sebagai titik tolak kontrak suci, bahwa pendirian negara Indonesia adalah niscaya selama konsisten menghapus segala bentuk penjajahan diatas dunia. Visi pertama adalah kesatuan yang integral antara visa agama, keniscayaan berdirinya negara dan moral bangsa. Ruh setiap agama adalah membebaskan manusia dari ketertindasan. Visi ini di dukung kuat oleh Sukarno sebagai penggali utama Pancasila.
Partisipasi aktif dan bebas sebagai individu, bangsa dan negara adalah hukum sebab akibat, gerak yang akan menentukan sejarah perkembangan masyarakat Indonesia. Akan menjadi bangsa yang besar atau kerdil tergantung apakah rakyat Indonesia memiliki kehendak yang besar dan kuat.
Visi kedua, menjadikan sila pertama dan kedua sebagai nilai kontrak hukum dan sosial bagi bangsa dan negara, namun harus diikat dengan perjanjian fitrah suci manusia dengan Tuhanya. Sehingga manusia Pancasila adalah manusia spiritual, yang tahu jalan awal dan akhir tujuan penciptaan. Manusia Pancasila memiliki karakter kuat, tahu jalan awal dan akhir bagaimana cara beragama, bernegara dan berbangsa agar selaras dengan tujuan penciptaan.
Visi ketiga adalah manifestasi sila ketiga-Persatuan Indonesia. Kata Sukarno, “Persatuan dan kesatuan adalah satu-satunya cara agar bangsa ini lepas dari hinaan serta penindasan bangsa lain”.
Segala upaya menjadi manusia sempurna sesuai dengan kontrak suci pembukaan UUD alinia 1, sila pertama dan kedua Pancasila akan buyar dan berpotensi kapal NKRI pecah, jika tidak ada upaya pertahanan suci yang solid. Pertahanan suci memiliki tiga elemen; kekuatan militer mandiri dan kuat, negara dan bangsa serta aparatur yang dicintai rakyatnya, serta rakyat dicukupi kesejahteraanya sesuai standar nasional bukan standar internasional.
Olehkarena itu karakter integral nilai Pancasila dan agama bisa dimanifestasikan dalam program wajib militer sipil yang diisi doktrin doktrin pertahanan suci berbangsa dan bernegara. Situasi ini bisa di visualisasikan dalam skenario invasi dari luar. Apakah militer dan sipil cukup solid menjadi pertahanan semesta, siap mati demi tumpah darah bangsa dan negara atau menjadi pengungsi dan mati di tengah perjalanan. Karakter suci hanya bisa diuji dan teruji dalam situasi-situasi ekstrim.
Visi keempat adalah displin kepemimpinan demokrasi dibawah otoritas hikmah, sesuai sila keempat. Membiasakan kebebasan berpendapat dengan proposisi-proposi popular, tetapi tetap taat pada proposisi hakiki. Proposisi hakiki itulah yang disebut Sukarno, bintang pemimpin, leitstar statis; seperti keabadian jiwa, keberadaan Tuhan. Sementara proposisi-proposisi populer menjadi leitstar dinamis. Tugas ini bisa dimandatkan pada ketua MPR dan ketua BPIP.
Visi kelima, sesuai sila kelima, berpartisipasi tehadap terciptanya keadilan nasional dan global. Membangun optimisme bahwa keadilan bisa tercapai dihadapan segala bentuk “new order” yang dibangun dengan basis legitimasi kekuatan. Tugas ini bisa dimandatkan pada Kemenlu. Kemenlu harus tahu cara membangun diplomasi berbasis pada doktrin-doktrin kesucian pada alinia pertama pembukaan UUD. Etika diplomasi dibangun atas dasar arahan kekuatan doktrin logika, visi berbangsa dan bernegara yang bermartabat, bukan aktif mengikuti kekuatan yang paling kuat.
Kelima visi diatas layak diusulkan agar Pancasila dan agama terhubung secara integral. Bisa menjadi mandat moral berbangsa dan bernegara bagi individu dan segenap aparaturnya.
Singkat kata, pendidikan Pancasila dan agama di Indonesia seyogyanya memiliki hubungan integral dan harmonis, kuncinya adalah mensinergikan visi bangsa, negara dan individu dibawah payung tujuan jalan kesempurnaan penciptaan. Pancasila dan agama tidak hanya sekedar beririsan tapi integral.
Segala bentuk penolakan terhadap hubungan integral dan beririsan akan jatuh pada hubungan terpisah, beroposisi. Apa yang disebut musuh negara, kaum intoleran, teroris adalah jiwa yang terbelah, ketidaksingkronan antara bentuk epistemologi agama, negara dan bangsa (NKRI). (MM)