Kebijakan pelegalan Miras melalu Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2021 tentang Bidang Usaha Penanaman Modal khusus di 4 provinsi yakni Bali, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Utara, dan Papua menuai kontroversi. Perpes tersebut diteken Presiden Joko Widodo ( Jokowi) pada 2 Februari 2021 merupakan pelaksanaan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
Bisakah dasar ekonomi dan nilai kearifan lokal di empat propinsi tersebut dapat meligitimasi kebijakan Presiden. Apakah pelegalan Miras di negara Indonesia bertentangan atau bersesuaian dengan nilai Pancasila. Tulisan berikut berusaha mengukur sejauhmana nilai Pancasila di jadikan “asumsi” alat legitimasi kebijakan Presiden. Pertanyaan “subtansinya” adalah apakah pelegalan Miras di Indonesia seusai atau tidak sesuai dengan nilai Pancasila. Peran penting Badan Pembina Ideologi Pancasila (BPIP) dalam membuat standar, kriteria dan validitas nilai Pancasila sebagai alat ukur kebijakan pemerintah.
Tidak bisa di pungkiri kebijakan pelegalan miras ini merupakan produk langsung dari potensi status ambiguitas bukan negara sekuler dan bukan negara agama yang bersifat artifisial dan tumpang tindih (overlapping) dalam memaknai dasar negara Indonesia. Bagi yang setuju, tentu saja Perpres tersebut sebagai bagian dari pertimbangan ekonomi dan kearifan lokal, dan dapat dipastikan setuju bahwa negara Pancasila adalah negara bukan berdasarkan agama tetapi negara sekuler, bahkan makna negara berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa sekalipun dapat berpotensi meligitimasi kebijakan tersebut.
Sementara bagi yang tidak setuju seperti KH Said Aqil Sirodj, anggota dewan pengarah BPIP yang di tunjuk presiden, menganggap perpres dimana sebagai dasar pelegalan miras tersebut secara tidak langsung setuju; negara Pancasila bukan negara sekuler secara maksimal, tetapi negara berdasarkan agama secara relatif dan arbitrer. Kenapa demikian, minimalnya karena Said Aqil Siroj mendasarkan pada argumen agama yang menunjuk pada jantungya dasar utama negara. Sila Ketuhanan Yang Maha Esa bisa dipastikan dipahami, sebagai Tuhan yang secara de facto memilik kekuasaan yang real dalam kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia, dan secara de jure mengaharapkan ayat alat Alquran mengisi secara subtantif hukum positif berkaitan dengan pelarangan industri miras.
Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Said Aqil Sirodj menegaskan sikap PBNU menolak rencana pemerintah yang menjadikan industri minuman keras keluar dari daftar negatif investasi. Said Aqil mengatakan,
“ayat-ayat dalam Al-Quran telah jelas mengharamkan miras karena menimbulkan banyak mudharat bagi masyarakat, seharusnya kebijakan pemerintah mendatangkan kemaslahatan bagi masyarakat. Karena agama telah tegas melarang, maka harusnya kebijakan pemerintah itu menekan konsumsi minuman beralkohol, bukan malah didorong untuk naik”. Hal tersebut, menurut Said, sesuai kaidah fiqih bahwa kebijakan pemimpin harus didasarkan pada kemaslahatan rakyat. Kita sangat tidak setuju dengan Perpres terkait investasi miras. Dalam Al-Qur’an dinyatakan ‘Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri dalam kebinasaan.”
BPIP dan Miras
Kebijakan Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2021 tidak bisa dipungkiri adalah pemahaman yang jujur dari pihak pemerintah sebagai bentuk penegasan dan penguatan ideologi Pancasila. Dengan kata lain, Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2021 terkait investasi industri miras dianggap sebagai bagian dari manifestasi ideologi Pancasila langsung maupun tidak langsung, secara tersembunyi (hidden) maupun terbuka.
Namun menariknya, pernyataan KH Said Aqil Siroj mewakili PB NU dan masih aktif sebagai anggota dewan pengarah BPIP yang notaben bagian dari pemerintah. Tentu saja kita bisa mengatakan secara tidak langsung KH Aqil Sirodj menganggap perpres tersebut sebagai bentuk penegasan dan pelemahan ideologi Pancasila. KH Aqil Sirodj menekankan bahwa kebijakan presiden idealnya sebagaimana pemimpin dalam Islam harus mempertimbangkan aspek maslahat (kebaikan/kesempurnaan) dan mudharat (keburukan/ketidaksempurnaan). Kasus ini tentu saja tidak bersifat umum, namun ketidaksetujuanya pada pelegalan kasus miras bisa menjadi cermin bahwa KH Said Aqil Sirodj tidak setuju dengan sekulerisme. Karena pelegalan Miras adalah bentuk dari produk paham sekuler, hanya mempertimbangkan nilai ekonomi (dunia) dan nilai kearifan yang bertentangan dengan asas maslahat dari sisi Tuhanya kaum muslim.
Bagi penulis, kontroversi ini harus di selesaikan oleh BPIP pada level teori dan praktek. BPIP adalah lembaga paling otoritatif memutuskan, apakah pelegalan Miras sesuai atau tidak sesuai dengan ideologi Pancasila. Kompetensi BPIP adalah melihat secara hirarkis dan logis harmonisasi epistemologi ideologi, nilai dan hukum sehingga menjadi patokan lembaga eksekutif, legislatif dan pada akhirnya yudikatif.
BPIP juga harus memiliki kompetensi mengevaluasi dan memberi intepretasi apakah nilai maslahat dan mudharat serta sumber hukum Islam tentang haramnya miras dapat memperkuat pembinaan ideologi bangsa dan negara. Olehkarena itu BPIP memiliki dua dimensi tugas.
Level teori
BPIP selaku badan yang membantu presiden mengarahkan ideologi Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, harus membuat “standar, kriteria dan validitas nilai Pancasila” untuk mengukur kesesuaian dan ketidaksesuain antara nilai Pancasila dan hukum agama terutama hukum Islam. Kenapa demikian, karena demokrasi Indonesia adalah pemerintahan mayoritas berbasis pembukaan UUD 1945 alinia keempat, “maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu UndangUndang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat”. Juga Pasal 1 ayat (2) “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut UndangUndang Dasar”.
Meskipun hukum di Indonesia diasumsikan jelmaan seluruh keinginan rakyat tetapi mayoritas muslim adalah dasar legitimasi politik keabsahan presiden dan nilai yang di yakininya adalah sumber hukum negara yang sah.
Sekali lagi, muslim Indonesia adalah warga negara, yang memiliki status sebagai aspirator hukum dan memiliki status legal sebagai sumber legitimasi kekuasaan presiden. Dengan kata lain, keyakinan warga muslim Indonesia yang meyakini haramnya miras demi maslahat manusia itu sendiri, secara teoritik adalah bagian dari sumber legitimasi hakekat kekuasaan politik dan sumber hukum Indonesia. BPIP dapat menguji, universalitas nilai dan hukum Islam, apakah haramnya miras bisa menjadi maslahat tidak hanya secara eklusif bagi muslim, tetapi seluruh pemeluk agama dan penganut kepercayaan, bahkan warga Indonesia yang tidak percaya Tuhan sekalipun.
Level praktek
BPIP selaku lembaga tinggi negara meskipun dibentuk presiden harus berkordinasi secara inten dengan presiden, mengawal, memberi masukan yang tegas, kebijakan apa saja yang sesuai atau tidak sesuai dengan nilai Pancasila dan agama, sebelum presiden mengambil kebijakan dan membuat hukum. Dengan demikian, UUD amandemen 2002 dan subtansi UUD 1945 sebagai supreme law dan nilai serta hukum agama tidak berhadap hadapan. Dengan kata lain, anggota BPIP harus berpikir keras berusaha mengharmoniskan antara nilai Pancasila dan agama, menyelaraskan dan memperkuat tujuan bernegara dan berbangsa. Sehingga penguatan nilai Pancasila dan harapan agama bersesuaikan dengan produk hukum sebagai bagian dari kebijakan politik presiden yang secara langsung maupun tidak langsung mampu memperkuat posisi lembaga BPIP. (Oleh, Muhammad Ma’ruf, peneliti Pancasila dan isu kontemporer).