Intelek dan wahyu adalah dua sumber pengetahuan kembar. Intelek yang tercerahkan artinya intelek yang dibimbing oleh wahyu. Intelek dan rasionalisasi dalam Islam di perlukan dalam memahami dunia sosial. Tidak sekedar spekulasi rasional, persepsi dan pengalaman untuk kepentingan murni material seperti dalam dunia sekuler. Intelek dalam Islam adalah rasionalisasi keseimbangan dunia dan akherat. Tepatnya mengabdikan urusan duniawi demi kemajuan akherat. Intelek mampu membedakan mana masyarakat buruk dan baik, serta memberi alternatif terbaik bagi masa depan masyarakat paling ideal.
Akal (‘aql) adalah pemahaman dan kemampuan berpikir manusia yang dengannya kebenaran dan kesalahan dapat dibedakan. Intelektual adalah komitmen terhadap intelek dengan persyaratan secara teoritis dan praktis. Akal membiasakan diri dengan dunia internal dan eksternal melalui intuisi dari dalam dan persepsi luar. Menurut Al Qur’an, banyak cara untuk memperoleh pengetahuan, yakni pengetahuan dengan kehadiran (pengetahuan internal), persepsi, pengalaman, intuisi, wahyu dan inspirasi dianggap sebagai cara untuk mendapatkan pengetahuan. Tidak ada konflik selain korespondensi dan harmoni diantara berbagai metode tersebut.
Dapat dikatakan bahwa beragama adalah praktik dengan intelek dengan cara berpikir, memahami, menganalisa dan mengatur sehingga pengetahuan baru dapat diperoleh.
Islam menghargai intelek dan menganggapnya sebagai sesuatu yang sangat penting. Intelek dapat mengukur antara kebenaran dan kepalsuan, pahala dan bekal setelah kematian. Penekanan Islam terhadap intelek menghasilkan pengetahuan agama termasuk teologi, etika, fikih, dan bahkan mistisisme.
Agama menyediakan kebijaksanaan pewahyuan yang dapat memperkuat kecerdasan dan memberi konten yang kaya. Temuan mistis, juga dapat dianggap sebagai kekayaan epistemik untuk pencerahan/kecerdasan. Intelek yang tercerahkan dibantu dengan kekuatan wahyu dan temuan mistis akan memiliki kekuatan yang lebih besar dan visi yang lebih luas.
Islam bisa disebut sebagai agama sosial, yaitu agama yang tidak bisa diam terhadap masyarakat. Jadi, kecerdasan memainkan peran besar dalam lingkungan sosial umat Islam. Islam adalah agama sosial dalam arti bahwa banyak doktrin dan prinsip-prinsipnya seperti keadilan, memerangi ketidakadilan, penilaian, amal dan sistem pajak harus dilaksanakan dalam masyarakat dan dalam hubungan sosial.
Menurut doktrin versi syiah, nabi Islam adalah pemimpin agama dan politik. Imam yang sempurna, memiliki peran yang sama dan tidak ada kesenjangan antara lembaga keagamaan dan negara (kepemimpinan politik). “Utopia Islam” adalah pemerintahan di mana kemajuan material dan spiritual diperoleh di bawah kepemimpinan seorang Imam yang sempurna atau wali Allah.
Seorang Muslim, menurut elemen-elemen ini, tidak boleh dalam praktik tidak memperhatikan nasib masyarakat, seperti dalam teori, ia harus selalu memikirkan masyarakatnya karena praktik sosial tidak dapat dipisahkan dari pemikiran dan berteori. Berpikir diperlukan untuk merancang sistem sosial dan mengatur interaksi manusia di semua bidang termasuk ekonomi, sosial, politik, yurisprudensi dan manajerial. Manusia perlu menggunakan kecerdasanya untuk memahami “Wujud” dan tatanan dunia dan hukum, olehkarena itu kita perlu berpikir untuk memahami tatanan sosial dan mencari cara terbaik untuk kehidupan kolektif.
Penting untuk melakukan intelektualisasi untuk merancang tatanan sosial dalam semua dimensi agama. Filsafat memainkan peran besar dalam hal ini. Filsafat adalah perwujudan dari intelektual dan segala produknya.
Filsafat adalah pemikiran intelektual yang metodis dan sistematis dan tidak terbatas pada bidang pengetahuan khusus, yaitu dapat diterapkan pada subjek apa pun. Filsafat sosial adalah menerapkan intelektual ke bidang sosial. Jika intelek dapat berpikir tentang Tuhan dan dunia tersembunyi, ia pasti dapat berpikir tentang dunia tempat ia hidup dan merasakannya. Bisa dikatakan bahwa filsafat adalah seni kehidupan yang baik.
Perlu mengenal masyarakat dengan baik agar kehidupan yang baik dapat terpenuhi. Inilah sebabnya mengapa tokoh-tokoh paling menonjol dalam filsafat seperti Socrates, Plato, Aristoteles, Agustinus, Al-Farabi, dan Ibnu Sina juga berurusan dengan masalah sosial. Filsafat Islam yang diilhami dari ajaran agama telah mengembangkan pemikiran metafisik dan teologis sehingga memungkinkan untuk berkembang dalam dimensi sosial.
Pemikiran filosofis dalam Islam telah berkembang karena terhubung dengan agama. Dengan demikian, sistem sosial Islam tidak murni rasional secara empiris tetapi rasional secara religius, yaitu ia menikmati dua sumber, Intelek dan Wahyu. Selain itu, tujuannya bukan material murni, tetapi material dan spiritual. Dapat dikatakan bahwa urusan duniawi melayani kemajuan spiritual. Rasionalisasi sekuler berkenaan dengan masyarakat hanya didasarkan pada spekulasi rasional dan sehubungan dengan persepsi dan pengalaman.
Intelektual Islam, di sisi lain, menikmati wahyu di samping akal dan pengalaman. Para filsuf Muslim atas dasar ini telah melakukan pendekatan terhadap masyarakat. Al-Farabi mengambil warisan Plato dan dengan bantuan ajaran Islam mengajukan ide-ide baru. “Utopia” Al-Farabi tidak seperti Plato, tapi masyarakat religius dengan seorang nabi atau seorang imam sebagai pemimpin yang dapat berjalan sesuai dengan syariat. (Oleh Muhammad Ma’ruf, Peneliti Pemikiran Barat dan Islam)