Hak Tuhan dan Hak-Kewajiban Rakyat

27/3/2020

Runtut punya runtut perenungan hari ini masih segaris dengan legitimasi, yakni soal hakekat legitimasi. Percuma menjadi pemikir kalau nggak sampai hakekat, alias sumur dasar pemikiran harus ketemu total. Jika  sudah ketemu, mata air akan keluar jernih, sehat dan segar di minum.

Demikian bunyinya, bahwa legitimasi hakekatnya keabsahan kekuasan, sesuatu memerintah, menerima perintah adalah hasil kombinasi keinginan Tuhan dan manusia, merger Islam dan Republik. Kebebasan Tuhan berkeinginan mutlak, kebebasan keinginan manusia relatif, di batasi Tuhan. Manusia tidak bisa secara mutlak berkeinginan. Itu fondasi legitimasi.

Hak tunggal memerintah, melarang dan menguasai adalah Tuhan, manusia memilik hak kebebasan menerima atau menolak, manusia pada dasarnya menjalankan kewajiban saja. Hak manusia sifatnya pinjaman, dipinjamkam oleh Tuhan. Tuhan sepenuhnya menguasai manusia, sebagian kekuasaanya dipinjamkan oleh Tuhan untuk manusia. Tidak hanya manusia, kekuasaan dunia selain Tuhan adalah mutlak kekuasaanya. Jika atom bergeser sedikit saja dari kekuasaaNYA, maka sudah bukan Tuhan lagi, alias terbatas. Itu juga fondasi  legitimasi.

Mari berandai andai, jika hak manusia itu absolut dan menjadi primer, maka implikasinya saham hak kekuasaan Tuhan di dunia untuk memerintah khususnya dalam sebuah “negara” harus di kosongkan dan menjadi subordinat. Olehkarena itu hak Tuhan absolut, maka menjadi primer, hak manusia menjadi subordinat dan perwakilan saja, alias menyerahkan sebagian haknya pada Tuhan. Mana primer, mana sekunder, musti nggenah, jelas tegas diawal kali harus dipegang oleh seorang yang berprofesi sebagai Filsuf Politik.

Walhasil singkat padat, hakekat legitimasi kekuasaan versi Islam, legitimasi pertama adalah Tuhan sebagai sumber kekuasaan dan sumber hukum, legitimasi kedua, persetujuan kebebasan rakyat yang dibatasi oleh Tuhan. Tuhan memiki hak absolut mengatur urusan manusia, sedang manusia memiliki hak menolak dan menerima proposal Tuhan itu, jika manusia menerima, maka sebagian hak manusia diserahkan pada Tuhan untuk mengatur manusia. Caranya ngatur, pakailah aturan Tuhan !.

Ibarat papan dan bidak catur, kata Tuhan “dunia dan manusia, gue yang kasih dan ciptain, kenapa loe yang ngatur dan membatasi hak gue”. Gua yang punya kekuasaan ngatur dan membatasi dong. Lo.. boleh main catur sesuai dengan aturan lo sepakati, gua kasih hak sama lo untuk menikmati permainan catur itu”.

Nah dalam soal beginian mayoritas dunia berlomba dan main catur tanpa ada urusan dengan Tuhan, jikapun masih, dia disebut saat seremoni saja, biar terlihat sopan. Papan catur dan bidak memang bukan wakil perlambang kompleksitas urusan negara. Dia hanya mempermudah memahami posisi hak dan kewajiban Tuhan dan manusia, alias manusia menjalankan kewajiban di mata Tuhan, manusia tidak bisa menuntut Tuhan menjalankan kewajibanya, manusia tidak bisa membatasi hak Tuhan, misal jatah Tuhan kasih rizki, kematian… itu ok… kita terima, tapi ngurus negara biar manusia saja, please Tuhan “stay way from the state”.

Kira kira begitu. Menerima sebagian dan menolak sebagian. Itu bukan Islam, kata orang Islam itu total surrender. Manut dawuh kalian pasrah kalian gusti, amargi sinuwun sang sangkan paraning dumadi.

Kenapa demikian, menurut Islam karena semua itu pemberian, alias tidak bisa timbal balik. Yang bisa timbal balik hanya hak dan kewajiban antar manusia. Manusia itu pengabdi, penghamba. Bukan pemain rolet, yang memegang pistol, dia tidak memiliki hak kebebasan penuh membunuh dirinya dan orang lain sesuai dengan hitungan dan moodnya.

Barat yang diwaliki geng pencerah mengatakan, sudahlah manusia itu independent, menentukan urusan manusia, itu absolut titik,…. doktrin adalah doktrin,..bendera revousi pencerahan Eropa, harus tegak merata tanpa ada yang tersisa di muka bumi. Jika tidak, maka kita tidak bisa move on, terjerat dalam kerangkeng Tuhan Kristen abad pertengahan. Pastor-pastor, pendeta-pendeta sebagai wakil panitia pertobatan dunia tak memiliki hak mengatur kekuasaan  negara dan mengontrol harta properti rakyat.

Kasus ini ditutup dengan sinopsis, setelah kekuasaan “Tuhan Barat” bisa dikerangkeng diganti dengan penemuan hukum alam, maka soal hukum sosial politik dianggap dan harus berlaku sama, harus tunduk dan patuh manusia. Manusia pendekar kaum pencerah berpikir, “hukum realitas itu mutlak materi” karena realitas sama dengan materi, yang bisa diberlakukan seluruh hukum sosial. Mereka mengira, kebebasan manusia sinonim dengan kebebasan materi. Sel sperma bebas mendekat sel ovum, tapi Barat melupakan, dua sel itu ditaruh oleh kebebasan ayah dan ibu setelah menikah. Sedang menikah adalah suara dan cara Tuhan menyayang manusia. Itu namanya karunia, berkah dan maslahat

Pilihan revolusi, mengkoloni, huru hara demokrasi, bisa di enginer  oleh otak Barat. Rekayasa genetika sama dengan dengan rekayasa sosial. Hukum gravitasi benda jatuh ke bumi sama dengan jatuhnya kursi rezim dengan rekayasa demokratik. Revolusi dunia Islam, jikapun ada, harus berlaku sama dengan hukum alam revolusi Perancis, Inggris, Amerika, Rusia dan Cina. Kalau  gagal, hapus dari peta bumi. Inilah semangat kaum pencerah barat.

Soal dunia politik, intinya adalah antara Islam dan Barat bertemu dalam hal pendayagunaan kebebasan manusia tapi dalam soal pembatasanyaberbeda arah. Hak asasi secara alamiah pemberian Tuhan,… ketemu, tapi beda prespektif, hak keamanan ketemu, hak properti ketemu, hak kesejahteraan ketemu. Sementara hak global mengatur negara tidak ketemu, karena beda definisi, apa itu kekuasaan, apa bedanya kekuasaan dan  kedaulatan, apa itu kebebasan, apa itu manusia. Mekaten.