Hingga tahun 2023 satu-satunya bangsa yang belum merdeka adalah Palestina. Segala kemewahan kemajuan teknologi, era revolusi digital 4.0 menuju 5.0, kesejahteraan peradaban manusia begitu memukau. Sebuah prestasi manusia digital kontemporer begitu gemilang dan menuju puncak. Tetapi kemanusiaan mental kolonial para penguasa dunia dan PBB yang mendukung Israel selama 75 tahun terakhir masih bertahan. Sisa tanah Palestina historis yang tinggal 10 persen di diami bangsa Palestina terus dicaplok. Israel menggunakan ragam narasi menyesatkan ingin menuntaskan pesta pora perayaan kemerdekaan negara Israel 14 mei 1948 hingga sekarang. Demi terwujudnya proyek Israel Raya (Greater Israel) yang terbentang dari Sungai Nil di Mesir hingga Sungai Eufrat di Suriah dan Irak.
Pembelokan sejarah, penipuan melalui proses perdamaian, pembangunan pemukiman illegal, di tutupi dengan segala macam narasi. Apa dan bagaimana aktifitas konkrit yang bisa menbantu Palestina?. Salah satu cara membantu Palestina adalah menangkal distorsi sejarah dengan narasi Nakbah. Peringatan nakba adalah pelurusan sejarah versi sang korban, bangsa Palestina. Nakba adalah cerita malapetaka, penggusuran, pengusiran, pembersihan etnis, pendudukan bagi bangsa Palestina oleh Israel. Zionis Israel menggunakan taktik politik demografi (pengusiran) dan expansi wilayah (kolonisasi).
Nakba
Peringatan Nakba artinya menunjuk pada peristiwa Nakba atau bencana bagi bangsa Palestina, merujuk tahun 1947-1949 adalah salah satu dari empat gelombang pengusiran penduduk palestina dari tanah historisnya yang terus terjadi hingga sekarang. Sementara 14 mei 1948 menjadi hari kemerdekaan negara Israel secara sepihak tanpa meminta persetujuan warga asli Palestina menjadi alat menandai gelombang besar pengusiran warga Palestina dari tanah airnya sendiri. Nakba adalah sebuah istilah bahasa Arab yang berarti “malapetaka,” mengacu pada pemindahan massal dan perampasan warga Palestina akibat penjajahan, pembersihan etnis, pembantaian, dan tindakan teroris yang dilakukan oleh milisi Zionis Israel.
Orang-orang Palestina yang tinggal di dalam perbatasan mandat Palestina, tanah yang sekarang terbagi menjadi apa yang disebut Israel, wilayah Palestina yang diduduki- occupied Palestinian territory (oPt)-terdiri dari Tepi Barat, Yerusalem timur, dan Jalur Gaza- mengalami empat periode utama pemindahan paksa: (1) Mandat Inggris (1922-1947), (2) Nakba (1947-1949), (3) pemerintahan militer Israel yang dipaksakan atas warga Palestina di dalam Garis Hijau (1949-1966), dan (4) Perang Enam Hari tahun 1967.
Gelombang Pertama: Mandat Inggris (1922-1947)
Pada bulan Desember 1917, pasukan Sekutu pimpinan Inggris menduduki Palestina, yang saat itu merupakan bagian dari Kekalifahan Ottoman. Pada 24 Juli 1922, Liga Bangsa-Bangsa melembagakan “Sistem Mandat”, yang mempercayakan administrasi sementara Palestina kepada Britania Raya sebagai Mandat Kelas A–sebuah kategorisasi yang paling mendekati (persiapan) kemerdekaan versi kolonial.
Mandat Kelas A ditujukan untuk wilayah yang dianggap “telah mencapai tahap perkembangan di mana keberadaan mereka sebagai negara merdeka dapat diakui sementara dengan tunduk pada pemberian saran dan bantuan administratif oleh Mandat hingga mampu berdiri sendiri”.
“Mandatory Palestine” atau Mandat untuk Palestina adalah suatu jenis perwalian internasional yang dipercayakan oleh Liga Bangsa-Bangsa kepada Britania Raya pada tahun 1922. Tujuan Sistem Mandat adalah untuk memfasilitasi kemerdekaan wilayah-wilayah yang tidak berpemerintahan sendiri. Semua negara lain tunduk pada Sistem Mandat kolonial setelah Perang Dunia I hingga mencapai kemerdekaan. Mandat untuk Palestina, artinya, memfasilitasi penjajahan Zionis Israel di tanah Palestina sejalan dengan Deklarasi Balfour.
“Mandatory Palestine” mengacu pada sejarah Palestina – seluruh tanah Palestina sebelum Nakba, ketika Palestina masih berada di bawah Mandat Inggris. Namun, keputusan Mandat Inggris untuk mengakhiri mandat tersebut menyerahkan masalah Palestina kepada PBB. Implikasi kebijakan ini adalah Deklarasi Kemerdekaan Israel dan pembentukan Israel. “Mandatory Palestine”dianggap sebagai apa yang sekarang disebut Israel sebagai occupied Palestinian territory (oPt).
Dari perspektif hukum, status akhir Palestina secara geopolitik, wilayahnya ditentukan oleh Perjanjian Lausanne yang diadopsi pada 24 Juli 1923, yang dilaksanakan 6 Agustus 1924.
Perjanjian ini mengubah status de facto orang Palestina menjadi kewarganegaraan Palestina secara de jure, yang didefinisikan sebagai orang-orang yang pernah menjadi subyek Kekalifahan Ottoman dan sekarang tinggal di Mandat Britania atas Palestina. Selanjutnya, berlakunya aturan Kewarganegaraan Palestina tahun 1925 secara hukum mengkodifikasikan kewarganegaraan Palestina di tingkat nasional. Dengan demikian, status Palestina sebagai wilayah berdaulat yang ditentukan dan status rakyat Palestina sebagai bangsa yang diidentifikasi secara nasional dengan hak untuk menentukan nasib sendiri telah ditetapkan secara hukum sebelum pembentukan negara Israel.
Namun pengakuan atas rakyat Palestina, sebenarnya, dirusak oleh penerapan undang-undang yang sama ini, serta yang lainnya, yang pada dasarnya meletakkan dasar bagi keberhasilan penjajahan Mandat Palestina oleh gerakan Zionis, pemindahan massal dan perampasan penduduk Palestina (Nakba), dan pembentukan negara Israel. Sejalan dengan itu, kebijakan Mandat Inggris yang memfasilitasi dominasi Zionis dan selanjutnya mengusir paksa Palestina termasuk, antara lain:
- Mengubah komposisi demografis Palestina dan selanjutnya memfasilitasi penyelesaian Zionis-Yahudi, termasuk nasionalisasi Yahudi sambil mendenasionalisasi warga Palestina.
- Pengalihan penggunaan dan kepemilikan tanah di Palestina kepada organisasi, lembaga, dan individu Zionis.
- Mendukung milisi Zionis.
- Mengembangkan institusi dan komunitas Zionis sambil mendorong pengikisan komunitas Palestina.
Peningkatan terus menerus populasi Zionis-Yahudi berkat bantuan Inggris berhasil menghasilkan banyak bentrokan antara pribumi penduduk Palestina dan orang Yahudi imigran yang baru tiba. Dari awal Mandat Inggris di Palestina di tahun 1922 sampai akhir 1947, diperkirakan 100.000–150.000 orang Palestina-hampir sepersepuluh dari populasi Arab Palestina-diusir, didenasionalisasi, atau dipaksa meninggalkan rumah mereka. Selain itu, puluhan ribu warga Palestina mengungsi secara internal sebagai akibat dari penjajahan Zionis, penggusuran petani penyewa, dan penghancuran rumah oleh pemerintah Inggris.
Kebijakan, Alat dan Dampak Mandat Inggris
Kebijakan sisem Mandat Inggris waktu itu menjadi alat dan dampak yang sistematis dan destruktif bagi nasib masyarakat Palestina berlanjut hingga sekarang. Kebijakan itu diantaranya; pertama mengubah komposisi demografi Palestina, kedua pengalihan penggunaan dan kepemilikan tanah kepada Organisasi, Badan, dan Individu Zionis, ketiga mendukung Milisi Zionis.
A. Kebijakan mengubah komposisi demografi Palestina
Alat
- Deklarasi Balfour (1917) dan Mandat untuk Palestina (1922) -pada pembukaan, Pasal 2, dan Pasal 4-mengatur pembentukan rumah nasional Yahudi menjadi sangat penting, termasuk memfasilitasi migrasi Yahudi dan pemukiman di Palestina.
- Pasal 7 Mandat untuk Palestina menugaskan Administrasi Palestina untuk memberlakukan undang-undang kewarganegaraan, yang membantu memfasilitasi perolehan kewarganegaraan orang-orang Yahudi dan tinggal permanen di Palestina. Hal ini memuncak dalam aturan Kewarganegaraan tahun 1925 dan aturan Tanah (Penyelesaian Hak Milik) Tahun 1928.
Dampak
- Populasi Yahudi meningkat drastis dari 8 persen pada akhir era Ottoman (1914) menjadi 31 persen pada akhir Mandat Inggris akibat imigrasi dan pemukiman ilegal.
- Jumlah orang yang memperoleh kewarganegaraan Palestina melalui naturalisasi adalah 132.616; sekitar 99 persen dari mereka adalah orang Yahudi.
- Akibat penindasan Inggris yang parah, sekitar 40.000 warga Palestina melarikan diri selama pertengahan 1930-an.
- Diperkirakan 60.000 orang Palestina tinggal, bekerja, atau belajar di luar negeri sebelum tahun 1925 dan karena itu tidak diizinkan untuk mengklaim kewarganegaraan Palestina.
B. Kebijakan pengalihan penggunaan dan kepemilikan tanah kepada organisasi, badan, dan individu Zionis
Alat
- Deklarasi Balfour (1917) dan Pasal 6 Mandat untuk Palestina (1922)– “…mendorong[d]…pemukiman dekat oleh orang Yahudi di tanah termasuk tanah Negara dan tanah kosong yang tidak diperlukan untuk tujuan publik.”
- Pada tahun 1901, Dana Nasional Yahudi-Jewish National Fund (JNF) didirikan, yang mengabdikan dirinya secara eksklusif untuk akuisisi tanah di Palestina untuk pemukiman Yahudi.
Dampak
- Pada awal Mandat, orang Yahudi memiliki kurang dari 3 persen dari total tanah. Pada tahun 1948, penjajah Zionis, dibantu oleh JNF, telah mengakuisisi 1.393.531 luas tanah, kira-kira 6 persen dari total luas tanah ”Mandatory Palestine” dan 12 persen dari tanah yang dapat ditanami. Lebih khusus lagi, 714 km2 diperoleh oleh asosiasi kolonisasi Zionis, kebanyakan dari pemilik tanah besar yang tidak tinggal di Palestina.
- Antara tahun 1939 dan 1945, 1.062 rumah tangga penyewa Palestina di 48 daerah diusir dari tanah yang dibeli oleh orang Yahudi.
C. Kebijakan mendukung milisi Zionis
Alat
- Pasal 17 Mandat untuk Palestina (1922) menyatakan bahwa “kecuali untuk tujuan tersebut [untuk menjaga perdamaian dan ketertiban], tidak ada angkatan militer, angkatan laut atau angkatan udara yang boleh diangkat atau dipertahankan oleh Administrasi.”
Dampak
Pendirian milisi Zionis seperti Haganah, Stern Gang, dan Irgun, yang dilatih dan diperlengkapi, serta memiliki koloni yang dibentengi dengan baik secara militer.
- Selama Pemberontakan Arab 1936-1939, kerasnya pembalasan militer untuk menaklukkan pemberontakan mengakibatkan 5.000 orang Palestina terbunuh, 15.000 terluka, dan pengasingan, pemenjaraan, atau pembunuhan pemimpin Palestina.
- Pemberlakuan sanksi berat terhadap warga Palestina, termasuk hukuman mati karena memiliki senjata kecil (seperti pistol atau pisau), menempatkan warga Palestina pada posisi yang tidak menguntungkan.
oleh; Muhammad Ma’ruf