Enam Prinsip Ideologi dan World View Islam

Antara Islam dan ideologi Islam tidak bisa dimaknai secara terpisah. Olehkarena Islam adalah aspek praktis  yang berasal dari worldview immateri yang bersifat universal. Atau Islam adalah pandangan universal yang bersifat teoritis yang berimplikasi pada aspek praktis. Itulah relasi antara world view dan ideologi Islam. Sementara ideologi dan worldview Islam, setidaknya memiliki enam prinsip;

Prinsip Pertama

Segala sesuatu harus dimulai dari kepercayaan kepada Tuhan sebagai Pencipta, Penguasa alam semesta. Ini menyiratkan kesediaan untuk tunduk pada kehendak Tuhan, untuk menerima bimbingan-Nya, dan mengabdi secara lengkap dan tanpa syarat, seperti menolak sistem riba atau bunga.

Prinsip Kedua

Agama Islam adalah acara hidup yang lengkap; sesuatu yang memandu kehidupan seseorang dalam segala aspeknya: moral, sosial, etika, ekonomi, politik, dll. Semua aspek ini didasarkan pada bimbingan Tuhan. Oleh karena itu, ini bukanlah pertanyaan tentang penerimaan seseorang terhadap ajaran Tuhan dalam satu hal dan penolakan dalam hal lain. Semuanya harus berada dalam pedoman dasar itu.

“…Dan Kami turunkan Kitab (Alquran) kepadamu untuk menjelaskan segala sesuatu, sebagai petunjuk, serta rahmat dan kabar gembira bagi orang yang berserah diri (muslim).” (Quran 16:89)

Prinsip Ketiga

Tuhan menciptakan manusia di bumi sebagai wali-Nya, yang berarti bahwa setiap orang diciptakan untuk memenuhi tanggung jawab tertentu di bumi ini. Tuhan telah mempercayakan manusia dengan kehendak bebas agar mereka menjalani hidup sesuai dengan nilai moral dan etika yang Dia sediakan sendiri. Selain itu, Islam memberikan peluang kemajuan materi, sehingga memadukan kemajuan moral, sosial, dan materi, yang semuanya saling terkait secara harmonis.

Prinsip Keempat

Tuhan, untuk membantu umat manusia memenuhi tanggung jawab perwalian, telah membuat segala sesuatu di alam semesta ini tunduk kepada mereka. Ada banyak ayat dalam Alquran yang menyarankan arti ini, seperti:

“Allah-lah yang menundukkan lautan untukmu supaya kapal-kapal dapat berlayar padanya dengan seizin-Nya dan supaya kamu dapat mencari karunia -Nya dan mudah-mudahan kamu bersyukur..” (Al-Quran 45:12)

Namun, ini tidak berarti bahwa manusia diberi kebebasan memerintah untuk menggunakan dan menyalahgunakan sumber daya yang telah Tuhan sediakan bagi kita, bagaimanapun kita memilih. Sebaliknya, ada banyak ayat yang mendesak umat manusia untuk memanfaatkan berbagai sumber daya yang telah Tuhan sediakan bagi mereka di bumi ini secara bertanggung jawab. Manusia didorong untuk menikmati hal-hal baik yang Tuhan telah ciptakan, tetapi mereka melakukannya dalam batasan yang telah Dia berikan.

Mempraktekkan hal itu tidak dianggap berdosa selama mengikuti jalan-Nya dan tidak melampaui batas-batas-Nya. Tuhan berfirman:

 “Dan Dialah yang menjadikan kebun-kebun yang berjunjung dan yang tidak berjunjung, pohon korma, tanam-tanaman yang bermacam-macam buahnya, zaitun dan delima yang serupa (bentuk dan warnanya) dan tidak sama (rasanya). Makanlah dari buahnya (yang bermacam-macam itu) bila dia berbuah, dan tunaikanlah haknya di hari memetik hasilnya (dengan disedekahkan kepada fakir miskin); dan janganlah kamu berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan. ” (Al-Quran 6: 141)

Prinsip Kelima

Akuntabilitas di akhirat. Tuhan telah memberikan perwalian dan sumber daya kepada manusia. Ini berarti bahwa setiap orang akan ditanyai pada hari kiamat tentang bagaimana dia berperilaku pada saat menikmati kehidupan duniawinya. Ini tentu saja termasuk perilaku ekonomi kita. Tuhan berkata:

“Dan kemudian pada Hari itu (Hari Kebangkitan) kamu akan dipanggil untuk mempertanggungjawabkan setiap penghiburan dan kegembiraan [yang kami limpahkan kepadamu].” (Al-Quran 102: 8)

Prinsip Keenam

Variasi kekayaan orang tidak memberikan seseorang memiliki inferioritas atau superioritas. Sebaliknya, kemiskinan dan kemakmuran berada dalam kendali penuh Tuhan  dengan Keadilan dan Kebijaksanaan-Nya yang Tak Terbatas, telah menentukan siapa yang Dia pilih.

“Allah melapangkan rezeki bagi siapa yang Dia kehendaki dan membatasi (bagi siapa yang Dia kehendaki). Mereka bergembira dengan kehidupan dunia, padahal kehidupan dunia hanyalah kesenangan (yang sedikit) dibanding kehidupan akhirat..” (Quran 13:26)

Kemakmuran, seperti kemiskinan, juga dilihat sebagai ujian dari Tuhan, yang melaluinya terlihat apa yang akan dilakukan seseorang dengan kekayaan mereka – membelanjakan untuk diri sendiri atau menggunakan secara konstruktif dengan cara-cara yang diatur dalam agama,

 “Sesungguhnya harta benda kamu dan anak-anak kamu itu hanyalah menjadi ujian, dan di sisi Allah jualah pahala yang besar.”(Quran 64:15)

 Berkatalah seorang yang mempunyai ilmu dari Al Kitab: “Aku akan membawa singgasana itu kepadamu sebelum matamu berkedip”. Maka tatkala Sulaiman melihat singgasana itu terletak di hadapannya, iapun berkata: “Ini termasuk kurnia Tuhanku untuk mencoba aku apakah aku bersyukur atau mengingkari (akan nikmat-Nya). Dan barangsiapa yang bersyukur maka sesungguhnya dia bersyukur untuk (kebaikan) dirinya sendiri dan barangsiapa yang ingkar, maka sesungguhnya Tuhanku Maha Kaya lagi Maha Mulia”.”(Quran 27:40)

Tuhan tidak peduli dengan jumlah kekayaan yang mungkin telah dikumpulkan seseorang, keindahan atau warnanya, melainkan, ukuran kehormatan-Nya adalah kesalehan hati. Tuhan berkata:

“Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Mahateliti.. ” (Al-Quran 49:13)

Nabi juga bersabda: “Sesungguhnya Tuhan tidak peduli dengan penampilan atau kekayaanmu, melainkan hati dan perbuatanmu.” (Shahih Muslim)

Terkait sistem ekonomi Islam, tentu sangat berbeda dari yang lain, karena perbedaan nilai-nilai yang mendasarinya. Dalam masyarakat kapitalis, orang mungkin melihat aturan ekonomi tertentu yang lebih diutamakan daripada nilai moral dan etika karena sifat dan nilai intrinsik dari sistem itu. Hal yang sama dapat dilihat dalam masyarakat komunis, sosialis dan lainnya juga. Sistem ekonomi Islam menyeimbangan antara keuntungan pribadi dan keuntungan masyarakat secara keseluruhan, juga keuntungan duniawi dan keuntungan spiritual, semua harus dipastikan bahwa seseorang mendapatkan keridhaan Allah.