Akar Dunia Multipolar

Mp-Hampir bisa dipastikan, kita tidak akan menemukan definisi Dunia Multipolar yang sistematis dan konsisten dalam berbagai buku dan artikel.  Konstruksi teori Dunia Multipolar lazimnya biasanya untuk merespon proses globalisasi, yang digerakan oleh pusat dan inti dunia modern (AS, Eropa, dan, lebih luas lagi, ‘Global blok Barat’ terhadap negara di luar lingkaran supra kekuasaan tersebut. Perbandingan potensi AS dan Eropa, di satu sisi, dan pusat-pusat kekuatan baru yang sedang berkembang (Tiongkok, India, Rusia, negara-negara Amerika Latin, dll.), di sisi lain, semakin meyakinkan akan relativitas negara-negara tersebut. Tradisi superioritas Barat menimbulkan pertanyaan baru tentang logika proses jangka panjang yang menentukan arsitektur kekuatan global dalam skala global, dalam area politik, ekonomi, energi, demografi, budaya, dan lain-lain.

Semua observasi ini sangat penting untuk merekontruksi Teori Dunia Multipolar, yang tentunya diawali dari fragmen, sketsa dan kemungkinan gagal dalam mencapai tingkat generalisasi teoretis dan konseptual.

Perlu juga dipertimbangkan bahwa, seruan terhadap tatanan Dunia Multipolar semakin sering terdengar di pertemuan puncak resmi konferensi internasional, dan kongres. Kita bisa menemukan referensi gagasan Multipolaritas dalam sejumlah perjanjian internasional yang penting dan dalam teks konsepsi strategi keamanan dan pertahanan nasional di banyak negara berpengaruh dan kuat  seperti Tiongkok, Rusia, Iran, dan sebagian Uni Eropa. Sehingga tuntutan akademis dan ilmiah bisa di penuhi.

Multipolaritas vs Westphalia

Sebelum kita melanjutkan konstruksi Teori Dunia Multipolar (TMW) dengan serius, kita harus secara tegas memiliki gambaran tentang zona konseptual yang dipelajari. Untuk itu, kita akan mempertimbangkan konsep-konsep dasar, menentukan bentuk-bentuk tatanan global yang pastinya tidak multipolar dan oleh karena itu, gagasan multipolaritas memiliki status alternatif.

Westphalia

Kita selanjutnya akan masuk dan mulai pada pembahasan tatanan global Westphalia. Perjanjian Westphalia adalah perjanjian damai yang mengakhiri Perang Tiga Puluh Tahun, salah satu konflik terburuk dalam sejarah Eropa. Para sejarawan sering mengelompokkannya menjadi satu dari dua istilah berikut: Perjanjian Westphalia atau Perdamaian Westphali.

Perdamaian Westphalia, merujuk pada pemukiman Eropa tahun 1648, adalah suatu wilayah barat laut Jerman dan salah satu dari tiga bagian bersejarah negara bagian Rhine-Westphalia Utara.

Perdamaian ini mengakhiri Perang selama Delapan Puluh Tahun antara Spanyol dan Belanda dan fase Perang Tiga Puluh Tahun Jerman. Perdamaian dinegosiasikan, dari tahun 1644, di kota Münster dan Osnabrück di Westphalia. Perjanjian Spanyol-Belanda ditandatangani pada tanggal 30 Januari 1648. Perjanjian tanggal 24 Oktober 1648 mencakup kaisar Romawi Suci Ferdinand III, pangeran Jerman lainnya, Prancis, dan Swedia. Inggris, Polandia, Rusia, dan Kekaisaran Ottoman adalah satu-satunya kekuatan Eropa yang tidak terwakili di kedua majelis tersebut. Beberapa pakar hubungan internasional memuji perjanjian tersebut karena memberikan landasan bagi sistem negara modern dan mengartikulasikan konsep kedaulatan teritorial.

Para delegasi

Para delegasi perjanjian ini adalah wakil utama kaisar Romawi Suci adalah Maximilian, Graf (count) von Trauttmansdorff, dimana dengan kebijaksanaannya sangat menentukan hasil perdamaian. Utusan Perancis berada di bawah Henri II d’Orléans, duc de Longueville, sementara Marquis de Sablé dan comte d’Avaux adalah agen Perancis. Swedia diwakili oleh John Oxenstierna, putra kanselir, John Adler Salvius, yang sebelumnya bertindak untuk Swedia dalam merundingkan Perjanjian Hamburg (1641). Fabio Chigi, yang kemudian menjadi Paus Alexander VII. Brandenburg, diwakili oleh Johann, Graf von Sayn-Wittgenstein, memainkan peran utama di antara negara-negara Protestan di kekaisaran.

Berdasarkan ketentuan penyelesaian damai, sejumlah negara menerima wilayah atau dikukuhkan kedaulatannya atas suatu wilayah. Klausul teritorial semuanya menguntungkan baik Swedia, Prancis, dan sekutunya. Swedia memperoleh Pomerania barat (dengan kota Stettin), pelabuhan Wismar, keuskupan agung Bremen, dan keuskupan Verden.

Keuntungan ini memberi Swedia kendali atas Laut Baltik dan muara sungai Oder, Elbe, dan Weser.

Prancis memperoleh kedaulatan atas Alsace dan dipastikan memiliki Metz, Toul, dan Verdun, yang telah direbutnya satu abad sebelumnya; Prancis kemudian memperoleh perbatasan yang kokoh di sebelah barat Sungai Rhine.

Brandenburg memperoleh Pomerania timur dan beberapa wilayah kecil lainnya. Bavaria mampu mempertahankan falz bagian atas, sedangkan falz Rhenish dikembalikan ke tangan Charles Louis, putra pemilih palatine Frederick V. Dua hasil penting lainnya dari penyelesaian teritorial adalah konfirmasi dari Persatuan Provinsi Belanda dan Konfederasi Swiss sebagai republik yang merdeka, sehingga secara formal mengakui status yang sebenarnya telah dipegang oleh kedua negara tersebut selama beberapa dekade.

Terlepas dari perubahan teritorial ini, amnesti universal dan tanpa syarat bagi semua orang yang telah dirampas harta bendanya juga diumumkan, dan diputuskan bahwa semua tanah sekuler (dengan pengecualian tertentu) harus dikembalikan kepada mereka yang telah menguasainya pada tahun 1618.

Yang lebih penting daripada redistribusi wilayah adalah penyelesaian gerejawi. Perdamaian Westphalia mengukuhkan Perdamaian Augsburg (1555), yang memberikan toleransi beragama kepada kaum Lutheran di kekaisaran dan kemudian dibatalkan oleh Kaisar Romawi Suci Ferdinand II dalam Dekrit Restitusi (1629). Terlebih lagi, penyelesaian damai ini memperluas ketentuan-ketentuan dalam Perdamaian Augsburg mengenai toleransi beragama kepada gereja Reformed (Calvinis), sehingga menjamin toleransi bagi tiga komunitas agama besar di kekaisaran tersebut-Katolik Roma, Lutheran, dan Calvinis. Dalam batasan ini, negara-negara anggota kekaisaran diwajibkan untuk mengizinkan setidaknya ibadah pribadi, kebebasan hati nurani, dan hak emigrasi bagi semua agama minoritas dan pembangkang di wilayah mereka. Namun, tindakan toleransi ini tidak mencakup orang-orang non-Katolik di tanah warisan keluarga Habsburg.

Pertanyaan sulit tentang kepemilikan tanah spiritual diselesaikan melalui kompromi. Tahun 1624 dinyatakan sebagai “tahun standar” yang menyatakan bahwa wilayah-wilayah tersebut dianggap milik Katolik Roma atau Protestan. Dengan adanya ketentuan penting bahwa seorang pangeran harus kehilangan tanahnya jika ia berpindah agama, yang kemudian menjadi hambatan bagi penyebaran lebih lanjut baik dari kubu Reformasi maupun Kontra-Reformasi.

Dengan demikian perdamaian Westphalia menjadi fundasi sistem yang mengakui kedaulatan mutlak negara-bangsa yang menjadi dasar untuk membangun seluruh bidang hukum Hubungan Internasional. Sekali lagi, sistem ini, dibentuk setelah tahun 1648 (berakhirnya Perang Tiga Puluh Tahun di Eropa), melalui beberapa tahap pembentukan dan sampai batas tertentu sesuai dengan realitas obyektif hingga akhir Perang Dunia Kedua.

Sistem ini lahir dari penolakan terhadap pretensi kekaisaran abad pertengahan terhadap universalisme dan “misi ilahi”, yang sejalan dengan reformasi borjuis dalam masyarakat Eropa, dan didasarkan pada posisi bahwa kedaulatan tertinggi hanya dimiliki oleh negara-bangsa, sedangkan tidak ada otoritas di luar negara yang memiliki hak hukum untuk ikut campur dalam politik internal negara ini, apa pun tujuan dan misinya, seperti (agama, politik, atau lainnya). Dari pertengahan abad ke-17 hingga pertengahan abad ke-20, prinsip ini menentukan politik Eropa dan diterapkan dengan beberapa modifikasi ke negara-negara lain di dunia.

Sistem Westphalia awalnya hanya menyangkut negara-negara Eropa, sementara koloni-koloni mereka dianggap hanya sebagai perpanjangan tangan mereka, tidak memiliki potensi politik dan ekonomi yang memadai untuk mengklaim kedaulatan independen. Sejak awal abad ke-20 dan selama masa dekolonisasi, prinsip Westphalia yang sama menyebar ke seluruh bekas jajahan.

Model Westphalia mengandaikan kesetaraan hukum penuh di antara negara-negara berdaulat. Dalam model ini, jumlah kutub pengambilan keputusan kebijakan luar negeri di dunia sama banyaknya dengan jumlah negara berdaulat. Aturan ini secara implisit berlaku bahkan sekarang karena inersia, dan seluruh hukum internasional didasarkan pada aturan tersebut. Namun dalam praktiknya, tentu saja terdapat ketimpangan dan subordinasi hirarkis antar negara berdaulat.

Dalam Perang Dunia Pertama dan Kedua, distribusi kekuasaan di antara kekuatan-kekuatan global terbesar meluas ke dalam konfrontasi blok-blok terpisah, di mana keputusan-keputusan dibuat di negara yang paling berkuasa di antara sekutu-sekutunya. Akibat Perang Dunia Kedua, terutama akibat kekalahan Nazi Jerman dan negara-negara Poros, terbentuklah sistem hubungan internasional dunia “bipolar” yang disebut sistem Yalta. Yalta sendiri adalah sebuah Konferensi kadang disebut Konferensi Krim, atau Konferensi Argonaut, yaitu sebuah konferensi masa Perang Dunia II diadakan tanggal 4 sampai 11 Februari 1945. Pelaku konferensi adalah pemerintah Amerika Serikat, Uni Soviet, dan Britania Raya.

Hukum internasional secara de jure berbasis sistem Yalta tetap mengakui kedaulatan absolut suatu negara. Namun secara de facto, keputusan-keputusan besar mengenai pertanyaan-pertanyaan sentral tatanan dunia dan politik global dibuat hanya di dua pusat, Washington dan Moskow.

Multipolar vs Yalta

Nah, dunia multipolar berbeda dengan sistem Westphalia klasik, karena sistem ini mengakui negara-bangsa yang terpisah, berdaulat secara hukum dan formal, mengakui status negara-negara kutub yang utuh. Akibatnya, jumlah negara-negara di dunia multipolar seharusnya jauh lebih sedikit dibandingkan dengan jumlah negara-bangsa yang diakui (dan tidak diakui). Saat ini, sebagian besar negara-negara tersebut tidak dapat dengan sendirinya menjamin keamanan atau kesejahteraan mereka sendiri dalam menghadapi kemungkinan konflik dengan hegemon (AS). Akibatnya, mereka bergantung secara politik dan ekonomi pada sumber-sumber eksternal. Karena ketergantungan, negara-negara tersebut tidak dapat menjadi pusat kemauan yang benar-benar independen dan berdaulat dalam permasalahan global mengenai tatanan dunia.

Multipolaritas bukanlah sistem hubungan internasional yang menekankan kesetaraan hukum negara-bangsa, dan dianggap sebagai hal yang biasa saja. Multipolaritas adalah tampilan luar dari gambaran dunia yang sepenuhnya berbeda, berdasarkan pada keseimbangan kekuatan dan potensi strategis yang nyata, bukan sekedar pada aspek nominal.

Multipolaritas beroperasi sesuai dengan kondisi real. Tidak hanya secara de jure, namun juga secara de facto, dan hal ini dimulai dari ketidaksetaraan utama negara-negara di dunia kontemporer dan yang secara empiris telah ditetapkan. Terlebih lagi, struktur ketidaksetaraan ini sedemikian rupa sehingga negara-negara sekunder dan tersier tidak mampu mempertahankan kedaulatan mereka, bahkan dalam konfigurasi blok, terhadap kemungkinan tantangan eksternal dari kekuatan hegemonik. Oleh karena itu, kedaulatan macam ini, bisa dikatakan sebuah “fiksi hukum”.

Konsep Multipolaritas

Konsep dunia multipolar, yang diusulkan versi Rusia, didukung oleh Tiongkok, India, dan sejumlah negara besar lainnya, dicetuskan pada pertengahan tahun 1990-an sebagai reaksi terhadap hegemoni global pasca-Perang Dingin. Ide teoretis tersebut akhirnya berubah menjadi tujuan praktis dan kemudian menjadi kenyataan internasional.

Tahap selanjutnya adalah mengonseptualisasikan bagaimana tepatnya tatanan dunia ini akan berfungsi. Atas dasar apa pusat-pusat kekuasaan akan berinteraksi dan bagaimana konflik yang melekat dalam polisentrisme dapat diatasi?. Istilah polisentrisme dalam ilmu geopolitik didasarkan pada prinsip-prinsip hubungan antar subyek hukum internasional, berdasarkan pada persamaan ekspresi kemauan, rasa hormat, pengakuan kedaulatan nasional, hak suatu bangsa untuk mengidentifikasi diri dalam komunitas dunia, pada persepsi toleran semua subyek internasional.

Meski demikian, sistem polisentris tidak dapat disatukan kedalam satu definisi. Pusat-pusat kekuasaan, pengaruh dan pembangunan bersifat mandiri secara budaya dan ideologi. Menciptakan tatanan dunia berarti mengembangkan mekanisme yang mempertimbangkan kepentingan semua orang dan bekerja sama demi pembangunan semua. Dengan demikian mirip yang menjadi misi BRICS. Kita bisa menemukan definisi BRIC dari dalam anggotanya maupun kelompok kontranya.

“BRICS” adalah akronim yang menunjukkan langkah ekonomi global, Brasil, Rusia, India, Tiongkok, dan Afrika Selatan. Istilah ini awalnya diciptakan pada tahun 2001 sebagai “BRIC” oleh ekonom Goldman Sachs Jim O’Neill dalam laporannya, Building Better Global Economic BRICs (Global Economics Paper No: 66). Saat itu, perekonomian Brasil, Rusia, India, dan Tiongkok mengalami pertumbuhan signifikan sehingga menimbulkan kekhawatiran mengenai dampaknya terhadap perekonomian global. Para menteri luar negeri negara-negara ini mulai bertemu secara informal pada tahun 2006, yang kemudian mengarah pada pertemuan puncak tahunan yang lebih formal mulai tahun 2009.

Pada bulan Desember 2010, Afrika Selatan bergabung dengan kelompok informal dan mengubah akronimnya menjadi BRICS. Menurut World Factbook, negara-negara berkembang ini mewakili 42% populasi dunia dan menyumbang lebih dari 31% PDB dunia. Menurut ketua KTT tahun 2023, Afrika Selatan, lebih dari 40 negara tertarik untuk bergabung dengan forum ekonomi tersebut karena manfaat yang akan diberikan oleh anggotanya termasuk pembiayaan pembangunan, dan peningkatan perdagangan dan investasi Di akhir KTT diumumkan bahwa Argentina, Mesir, Ethiopia, Iran, Arab Saudi, dan Uni Emirat Arab akan menjadi anggota baru BRICS mulai tahun 2024.

Organisasi ini telah memasuki tahap baru dalam perkembangan, perluasan, yang berarti transisi menuju penciptaan sistem dunia lain secara bertahap-bukan dalam kerangka melawan siapa pun, tetapi berda