Pengantar Tema Filsafat Kuno hingga Modern

 

 Awal Mula Pemikiran Filsafat

Sejarah pemikiran dan penciptaan manusia melampaui yang dapat di identifikasi ilmu sejarah. Di mana pun manusia berada, pikiran dan akal budi menjadi ciri khas manusia.

Tidak ada informasi yang pasti dan tepat tentang jejak pertama  kali manusia telah berpikir tercata dalam tulisan.  Dugaan para arkeolog berdasarkan sisa-sisa yang ditemukan.

Jenis pemikiran manusia, berkaitan dengan pengetahuan tentang keberadaan, awal-akhir, pada mulanya bercampur dengan keyakinan agama. Oleh karena itu pemikiran-pemikiran filosofis yang tertua bercampur dengan kepercayaan Timur.

Sejarawan filsafat percaya koleksi paling kuno yang murni bersifat filosofis berkaitan dengan orang bijak Yunani, hidup kira-kira enam abad sebelum Masehi.

Disebutkan para pemikir pada masa telah mencoba mengetahui keberadaan, awal dan akhir alam semesta. Untuk memaknai penampakan dan perubahan yang terjadi pada eksistensi, mereka mengungkapkan pendapat yang berbeda dan terkadang bertentangan, sekaligus tidak menyembunyikan fakta bahwa pemikiran mereka sedikit banyak dipengaruhi oleh keyakinan agama dan budaya oriental (timur).

Suasana bebas untuk berdiskusi dan mengkritik di Yunani pada masa itu membuka jalan bagi pengembangan dan kebanggaan terhadap pemikiran filosofis. Kawasan itu menjadi tempat pembibitan filsafat.

Tentu saja pemikiran-pemikiran awal tidak tersusun dan tertata dengan baik, permasalahan-permasalahan untuk penelitian tidak terkategorikan secara tepat, apalagi setiap kategori harus mempunyai nama, judul, dan ciri metode tertentu. Ringkasnya, semua gagasan disebut ilmu (‘ilm), hikmah (hikmat), ilmu (ma’rifat), dan sejenisnya.

Kemunculan Sofisme dan Skeptisisme

Pada abad kelima SM, muncul dalam bahasa Yunani “sofis”, yaitu orang bijak dan terpelajar. Mereka memiliki banyak sekali informasi tentang pengetahuan, hanya mereka tidak percaya pada kebenaran yang pasti, mereka tidak menganggap segala sesuatu dapat diketahui secara pasti.

Sebagaimana dilaporkan oleh para sejarawan filsafat, mereka adalah guru profesional yang mengajarkan retorika dan debat, melatih pengacara menjadi pembela di pengadilan, yang banyak diminati pada saat itu. Profesi ini menuntut para pembela mampu mengajukan tuntutan apapun dan mampu menolak segala macam tuntutan yang berlawanan. Menghadapi “ajaran” semacam ini yang sering kali mengandung kekeliruan, lambat laun melahirkan semacam pemikiran yang pada dasarnya menganggap “tidak ada kebenaran di luar pemikiran manusia!”.

Sebagai ilustrasi, ada cerita tentang seorang pria yang dengan bercanda mengatakan bahwa di rumah anu, permen dibagikan. Masyarakat yang polos bergegas berkerumun di sekitar pintu rumah tersebut. Sedikit demi sedikit, si pencerita sendiri mulai curiga, agar tidak kehilangan kesempatan mendapatkan permen gratis, dia pun ikut mengantri.

Tampaknya kaum Sofis juga menjadi korban nasib yang sama. Dengan mengajarkan cara-cara yang keliru untuk menetapkan dan menyangkal klaim, sedikit demi sedikit muncullah kecenderungan-kecenderungan seperti itu dalam pemikiran mereka sendiri, bahwa pada dasarnya kebenaran dan kepalsuan bergantung pada pemikiran manusia, dan kesimpulannya “tidak ada kebenaran di luar pemikiran manusia!”.

Ungkapan “sofisme”, yang berarti bijak dan terpelajar, karena dianggap berasal dari orang-orang tersebut, kehilangan makna mendasarnya, dan kemudian digunakan sebagai simbol dan tanda cara berpikir menurut “penalaran yang salah”. Ungkapan yang sama inilah yang dalam bahasa Arab berbentuk “sufisti” dan istilah “safsatah” berasal darinya.

Masa Berkembangnya Filsafat

Pemikir paling terkenal yang menentang kaum Sofis dan mengkritik gagasan dan pandangan mereka adalah Socrates. Dialah yang menyebut dirinya “philosophus”, yaitu pecinta kebijaksanaan. Ungkapan yang sama inilah yang dalam bahasa Arab disebut  “hikmah”.

Sejarawan filsafat menganggap ada dua penyebab pemilihan nama ini: satu adalah kerendahan hati Socrates, yang selalu mengakui ketidaktahuannya sendiri, dan yang lainnya adalah keberatannya terhadap kaum Sofis yang menyebut diri mereka bijak, yaitu dengan Pemilihan gelar ini, ia ingin membuat mereka mengerti: Anda, yang demi tujuan materi dan politik terlibat dalam diskusi dan debat, belajar mengajar, tidak layak menyandang nama ‘bijak’, dan bahkan saya, yang menolak nama Anda. Sokrates tidak menganggap dirinya layak menyandang gelar ini, dan menyebut diri “pecinta kebijaksanaan”.

 

Setelah Socrates, muridnya, Plato, yang selama bertahun-tahun mengambil manfaat dari pelajarannya, berusaha keras untuk menegakkan prinsip-prinsip filsafat, dan kemudian, muridnya, Aristoteles, membawa filsafat ke puncak kejayaannya, dan memformalkan prinsip-prinsip pemikiran dan penalaran dalam bentuk ilmu logika, kemudian merumuskan kekeliruan-kekeliruan pemikiran dalam bentuk bagian tentang falasi.

Sejak Sokrates menyebut dirinya seorang filsuf, ungkapan filsafat telah digunakan sebagai lawan dari menyesatkan, dan mencakup semua ilmu nyata (hakiki), seperti fisika, kimia, kedokteran, astronomi, matematika, dan teologi. Bahkan saat ini di banyak perpustakaan paling terkenal di dunia, buku-buku fisika dan kimia diklasifikasikan dalam filsafat, dan hanya disiplin ilmu konvensional, seperti kosa kata, sintaksis, dan tata bahasa, yang berada di luar bidang filsafat.

Dengan cara ini, filsafat kemudian dianggap sebagai kata benda umum untuk semua ilmu pengetahuan hakiki, dan dibagi menjadi dua kelompok umum: ilmu-ilmu teoretis dan ilmu-ilmu praktis. Ilmu-ilmu teoritis meliputi ilmu-ilmu alam, matematika dan teologi, dan ilmu-ilmu alam pada gilirannya meliputi bidang kosmogoni, mineralogi, botani dan zoologi, dan matematika dibagi menjadi aritmatika, geometri, astronomi dan musik.

Teologi dibagi menjadi dua bagian: metafisika atau pembahasan umum tentang keberadaan, dan teologi yang khusus. Ilmu-ilmu praktis dibagi menjadi tiga cabang: moralitas, ekonomi domestik dan politik.

Akhir Filsafat Yunani

Setelah Plato dan Aristoteles, selama beberapa waktu murid-muridnya menyibukkan diri dengan kontemplasi (perenungan), pengaturan dan elaborasi karya-karya master mereka, dan menjaga pasar (kasanah) filsafat tetap aktif. Namun, tidak butuh waktu lama, kecepatan ini digantikan oleh stagnasi, kemakmuran serta kemajuan mulai menurun, dan di Yunani hanya ada sedikit yang meminati ilmu pengetahuan.

Para ahli seni dan sains datang untuk tinggal di Alexandria, tempat mereka terlibat dalam penelitian dan pendidikan. Kota ini tetap menjadi pusat ilmu pengetahuan dan filsafat hingga abad keempat.

Namun ketika para kaisar Romawi masuk Kristen, dan menyebarkan kepercayaan Gereja sebagai keyakinan dan gagasan resmi, mereka mulai menentang “pemikiran dan ilmu pengetahuan yang bebas”, hingga akhirnya Yustinianus, Kaisar Romawi Timur, pada tahun 529 M, mengeluarkan undang-undang dekrit untuk menutup universitas dan sekolah di Athena dan Aleksandria, dan para pemikir melarikan diri mencari perlindungan di kota dan negeri lain. Karena alasan inilah obor ilmu pengetahuan dan filsafat padam di jantung Kekaisaran Romawi.

Perkembangan di dunia Islam

Bersamaan dengan proses yang disebutkan di atas (pada abad keenam era Kristen), di sudut dunia lainya, peristiwa terbesar dalam sejarah terjadi, dan Jazirah Arab menjadi saksi kelahiran Isam oleh Nabi Muhammad. Nabi ini mengajak masyarakat untuk menggapai pengetahuan.  Menjunjung tinggi membaca, menulis, dan belajar.

Muhammad mendirikan peradaban dan kebudayaan Islam, kesuluruh dunia. Muhammad menganjurkan para pengikutnya untuk memperoleh ilmu dan hikmah dari buaian hingga liang lahat (min al-mahd ila al-lahd), dari titik terdekat hingga terjauh di muka bumi (walaupun ke Tiongkok (China), wa hukum bil-sin), dan berapapun biayanya (wa hukum bi-safk al-muhaj wa khawdh al-lujaj).

Pohon muda pengetahuan Islam tumbuh subur,  memancarkan pancaran wahyu Ilahi dan dipelihara oleh budaya lain, tumbuh dan menghasilkan buah yang harum. Ajaran Islam menyerap bahan mentah fitrah pemikiran manusia dan petunjuk Ilahi dan mengubahnya menjadi unsur-unsur yang berguna untuk menghasilkan kritik yang membangun, dan dalam waktu singkat  peradaban Islam berkembang  pesat.

Karena dorongan Rasulullah dan penerusnya, umat Islam mulai memperoleh berbagai ilmu pengetahuan warisan ilmiah dari Yunani, Roma dan Persia yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Arab. Mereka menyerap unsur-unsur yang berguna kemudian melengkapinya dengan penyelidikan mereka sendiri, mereka mampu membuat penemuan-penemuan penting, seperti  aljabar, trigonometri, astronomi, perspektif, fisika dan kimia.

Dengan demikian, berbagai gagasan filosofis, ilmu pengetahuan dan kerajinan (industri awal) dengan motivasi yang beragam melalui kawan dan lawan, memasuki lingkungan Islam. Umat Islam mulai mempertanyakan, mengadopsi dan mengkritiknya, dan tokoh-tokoh cemerlang mulai bermunculan di dunia ilmu pengetahuan dan filsafat. Masing-masing mengembangkan cabang ilmu pengetahuan melalui usaha yang konsisten.

 

Di antara mereka, para pemikir dan teolog meninjau doktrin Islam, mengritik isu-isu filsafat ketuhanan dari sudut pandang yang berbeda-beda. Banyak di antara mereka yang melakukan kritik secara radikal, kritis dan selektif,  menimbukan keraguan iman pada umatnya. Namun, para pemikir dan filosof muslim berhasil mengarah, hingga menjadi kekayaan intelektual dan filosofis.

Perkembangan Filsafat di Era Islam

Seiring semakin luasnya wilayah pemerintahan Islam, banyak berdiri pusat ilmu pengetahuan. Terjadi pertukaran gagasan besar di kalangan ulama, pertukaran buku antar perpustakaan dan penerjemahan buku-buku  dari bahasa: Hindi, Farsi, Yunani, Latin, Aram, Ibrani, dll., ke dalam bahasa Arab, yang secara de facto telah menjadi bahasa internasional. Dunia Islam berkontribusi mempercepat laju perkembangan filsafat, ilmu pengetahuan dan kerajinan (industri awal). Banyak buku karya filsuf Yunani dan Aleksandria, serta pusat pembelajaran terkemuka lainnya diterjemahkan ke dalam bahasa Arab.

Pada awalnya, olehkarena kurangnya padanan “bahasa dan istilah teknis” yang disepakati oleh para penerjemah, dan perbedaan mengenai prinsip-prinsip filsafat Timur dan Barat membuat pengajaran, penelitian dan seleksi istilah filsafat di antara prinsip-prinsip tersebut menjadi semakin sulit. Namun tidak lama kemudian, orang-orang jenius seperti Abu Nasr Farabi dan Ibnu Sina mampu mempelajari seluruh pemikiran filosofis Yunani.

Dengan bakat-bakat yang dianugerahkan Tuhan, mereka kemudian mampu mengkaji dan memilih di antara prinsip-prinsip filosofis yang sesuai dan menyajikan sistem filosofis yang matang,  mencakup pemikiran Aristoteles dan Neo-Platonis dari Aleksandria, serta gagasan mistik oriental (‘urafa)  dan juga mencakup pemikiran-pemikiran baru.

Belakangan, sistem filosofis ini berada di bawah kaca pembesar kritis para pemikir seperti Ghazali, Abu al-Barakat Baghdadi dan Fakhr Razi. Di sisi lain, dengan memanfaatkan karya-karya orang bijak Iran kuno, dan membandingkannya dengan karya-karya Plato, kaum Stoa, dan Neo-Platonis.

Suhrawardi mendirikan aliran filsafat baru yang disebut filsafat Iluminasionis yang lebih bernuansa Platonis.

Dengan cara ini, landasan baru dipersiapkan untuk pertemuan antara ide-ide filosofis hingga mencapai kematangan. Berabad-abad kemudian, filsuf besar seperti Khwajah Nasir al-Din Tusi,

Muhaqqiq Dawani, Sayyid Sadr al-Din Dashtaki, Syekh Baha’i dan Mir Damad mampu melengkapi pengayaan filsafat Islam dengan ide-ide cemerlangnya masing-masing. Kemudian tibalah giliran Sadr al-Din Shirazi yang memperkenalkan sistem filsafat baru dengan kejeniusan dan inovasinya sendiri, mampumenyusun unsur-unsur harmonis filsafat hikmah, iluminasi serta pengungkapan mistik, disebut sebagai teosofi transenden (hikmat muta’aliyyah).

Sekilas Jalan Pemikiran Filsafat (dari Abad Pertengahan hingga Abad Kedelapan Belas)

Filsafat Skolastik

Setelah penyebaran agama Kristen di Eropa dan penggabungan kekuatan Gereja dengan kekuatan Kekaisaran Romawi, pusat-pusat pembelajaran berada di bawah pengaruh aparat kerajaan sedemikian rupa sehingga pada abad keenam (sebagaimana telah disebutkan sebelumnya), universitas dan sekolah di Athena dan Alexandria ditutup.

Periode ini, yang berlangsung sekitar seribu tahun, disebut Abad Pertengahan, dan ditandai dengan dominasi Gereja atas pusat-pusat pembelajaran dan program-program di sekolah dan universitas.

Di antara tokoh-tokoh terkemuka pada zaman ini adalah St. Agustinus yang mencoba menggunakan prinsip-prinsip filsafat, khususnya pandangan Plato dan Neo-Platonis untuk menjelaskan dogma-dogma agama Kristen. Setelahnya, sejumlah diskursus filosofis dimasukkan dalam program sekolah.

Namun sikap terhadap pemikiran Aristoteles kurang baik karena dianggap bertentangan dengan keyakinan agama, dan ajarannya dilarang. Dengan dominasi umat Islam di Andalusia (Spanyol) dan masuknya pemikiran Islam di Eropa Barat, gagasan-gagasan para filosof Islam seperti Ibnu Sina (Avicenna) dan Ibnu Rusyd (Averroes) banyak diperbincangkan, sementara pemikiran Kristen kurang banyak diperbincangkan. Para sarjana juga mengenal pandangan Aristotelian melalui buku-buku para filsuf tersebut.

Namun, tahap demi tahap, anggota Gereja tidak dapat menahan gelombang pemikiran filosofis, dan akhirnya St Thomas Aquinas menerima sebagian besar pandangan filosofi Aristoteles yang tercermin dalam buku-bukunya dan lambat laun, penolakan terhadap filsafat Aristoteles berkurang, bahkan mendominasi. beberapa pusat pembelajaran.

Bagaimanapun juga, pada Abad Pertengahan, filsafat berkembang di negara-negara Barat, tetapi juga mengalami kemunduran, dan berlawanan dengan dunia Islam, di mana ilmu pengetahuan dan pengkajian terus berkembang dan semakin diperkaya. Di Eropa, satu-satunya filsafat yang berkembang dan diajarkan di Gereja, adalah filsafat skolastik yang mendukung dogma-dogma Kekristenan.

Dalam pengajaran  filsafat skolastik, selain logika, teologi, etika, politik, beberapa filsafat alam dan astronomi yang diterima oleh Gereja, tata bahasa dan retorika dimasukkan ke dalam kurikulum.

Renaisans dan Perubahan Pemikiran Komprehensif

Sejak abad keempat belas, berkembang pemikiran nominalisme (fundamentalitas “nama/benda/individu”/tanpa realitas) dan penolakan universalisme di Inggris dan Perancis. Kecenderungan filosofis ini berperan efektif dalam meruntuhkan landasan filsafat. Faktor lainnya adalah filsafat alam Aristoteles menjadi kontroversi di Universitas Paris.

Isu lain adalah ketidaksesuaian antara filsafat (akal) dengan dogma Kristiani (agama). Munculnya perselisihan antara penguasa duniawi dan penguasa Gereja, dan di antara penguasa Kristen sendiri juga terjadi perselisihan yang berujung pada munculnya Protestantisme.

Faktor lainnya adalah puncaknya humanisme dan kecenderungan untuk menangani persoalan-persoalan kehidupan manusia tanpa mengabaikan persoalan-persoalan metafisik. Akhirnya, pada pertengahan abad kelima belas, Kekaisaran Bizantium runtuh, dan terjadi perubahan total (politik, filosofis, sastra, dan agama) di seluruh Eropa, dan institusi kepausan diserang dari segala sisi. Dalam perjalanan ini, filsafat skolastik yang lemah berakhir.

Mulai abad keenam belas, minat terhadap ilmu pengetahuan alam dan empiris menjadi kuat,  penemuan Copernicus, Kepler, dan Galileo mengguncang fondasi astronomi Ptolemeus dan filsafat alam Aristotelian. Singkatnya, di Eropa semua aspek kehidupan manusia mengalami gangguan dan ketidakstabilan.

Lembaga-lembaga kepausan mampu menahan gelombang yang menderu-deru ini selama beberapa waktu, dan para ilmuwan dihadapkan pada “inkuisisi” dengan alasan menentang dogma-dogma agama, karena ajaran kosmologi mereka bertentangan dengan penafsiran Alkitab dan doktrin agama.

Perilaku fanatik Gereja Katolik masa itu tidak mempunyai dampak apa-apa selain memberikan masyarakat sikap negatif terhadap otoritas Gereja, dan secara umum terhadap agama, mengakibatkan jatuhnya filsafat skolastik-satu-satunya filsafat yang masih berlaku pada masa itu. Akibatnya menimbulkan kekosongan intelektual dan filosofis, pada akhirnya memunculkan skeptisisme modern.

Selama proses ini, satu-satunya yang mengalami kemajuan adalah humanisme, semangat ilmu alam dan ilmu empiris di bidang budaya, serta kecenderungan liberalisme dan demokrasi di bidang politik.

Skeptisisme Fase Kedua

Selama berabad-abad, pihak Gereja telah menyebarkan pandangan dan gagasan beberapa filsuf sebagai keyakinan agama, dan umat Kristiani telah menerimanya sebagai sesuatu yang pasti dan sakral, termasuk pandangan kosmologi Aristotelian dan Ptolemeus.

 

Perubahan pemikiran dan keyakinan serta runtuhnya landasan intelektual dan filosofis [Abad Pertengahan] ini menimbulkan krisis psikologis pada banyak agamawan dan menimbulkan keraguan di benak mereka seperti: bagaimana kita bisa yakin bahwa keyakinan orang lain tidak sah, bagaimana kita bisa tahu bahwa teori-teori ilmiah yang baru ditemukan tidak akan menjadi tidak valid suatu saat nanti?.

 

Seorang sarjana besar bernama Montaigne mengingkari nilai ilmu pengetahuan dan ia secara eksplisit menulis, bagaimana kita bisa yakin bahwa teori Copernicus tidak akan batal di masa depan? Dia sekali lagi mengungkapkan keraguan kaum skeptis dan sofis dengan cara baru, dan membela skeptisisme, yang kemudian memunculkan fase skeptisisme lainnya.

Problem Skeptisisme

Sikap ragu-ragu, selain menjadi wabah psikologis, juga akan membawa bahaya spiritual dan material yang besar bagi masyarakat. Dengan penolakan pada nilai ilmu maka tidak ada lagi harapan bagi kemajuan ilmu pengetahuan dan pembelajaran, demikian pula tidak ada lagi ruang bagi nilai-nilai moral dan peranannya yang luar biasa dalam kehidupan manusia, agama juga kehilangan landasan intelektualnya.

Pukulan terbesar diarahkan pada dogma-dogma agama. Banjir keraguan mengalir di hati masyarakat. Skeptisisme menjadi sangat ekstrim, tidak ada sistem etika, hukum, politik atau agama yang dapat stabil, dan wabah ini memberi peluang dan alasan bagi segala jenis kejahatan, ketidakadilan dan penindasan.

 

Pada abad ketujuh belas berbagai kegiatan dilakukan untuk menopang reruntuhan Renaisans termasuk perjuangan melawan bahaya skeptisisme. Gereja cenderung memutus ketergantungan agama Kristen pada akal dan ilmu pengetahuan, dan memperkuat doktrin agama melalui hati dan iman. Namun, para filsuf dan cendekiawan mencari landasan pengetahuan dan nilai yang kokoh dan tak tergoyahkan, sehingga fluktuasi intelektual dan gejolak sosial tidak menghancurkannya.

Filsafat Modern

Upaya terpenting pada periode ini dalam rangka untuk menyelamatkan diri dari skeptisisme dan revitalisasi filsafat, dilakukan oleh Rene Descartes, filsuf Perancis yang disebut sebagai “bapak filsafat modern”.

Setelah melakukan banyak penelitian dan meditasi, ia menyusun pijakan pemikiran filosofis; Prinsipnya yang terkenal: “Aku ragu, maka aku ada,” atau “Aku berpikir, maka aku ada”, yaitu, jika seseorang mengikuti jalan keragu-raguan mengenai keberadaan segala sesuatu, maka ia tidak akan pernah mampu meragukan keberadaan dirinya sendiri.

Karena keragu-raguan tidak ada artinya tanpa adanya orang yang ragu, maka keberadaan manusia yang ragu-ragu dan berpikir juga tidak dapat disangkal. Kemudian ia mencoba merumuskan hukum-hukum pemikiran tertentu yang mirip dengan hukum-hukum matematika dan memecahkan masalah-masalah filsafat berdasarkan hukum-hukum tersebut.

Dalam periode kekacauan intelektual itu, pemikiran dan pandangan Descartes menjadi sumber kepastian bagi banyak sarjana; dan pemikir besar lainnya, seperti Leibniz, Spinoza dan Malebranch, yang juga berupaya memperkuat landasan filsafat modern. Namun upaya tersebut belum mampu mewujudkan sistem filsafat yang harmonis dan memiliki landasan yang pasti dan kokoh.

Di sisi lain, perhatian sebagian besar ilmuwan telah beralih ke ilmu-ilmu empiris, banyak di antara mereka yang tidak berminat meneliti masalah-masalah filosofis dan metafisika.

Oleh karena itu, sistem filsafat yang kuat, kokoh, dan didukung dengan baik belum ada di Eropa, dan meskipun kumpulan pandangan dan gagasan filsafat kadang-kadang diusulkan dalam bentuk aliran pemikiran filsafat tertentu yang dalam batas-batas tertentu mampu mendapatkan lebih banyak atau lebih sedikit pengikut, namun tak satu pun dari mereka yang mampu menjadi mapan secara permanen.

Fundamentalitas Pengalaman dan Skeptisisme Modern

Sementara filsafat rasional sedang dihidupkan kembali di benua Eropa, dan akal akan menemukan tempatnya sendiri dalam pemahaman kebenaran, kecenderungan lain sedang mengalami kemajuan di Inggris, munculnya paham  fundamentalitas akal dan pengalaman, yang disebut empirisme.

Dimulai pada akhir Abad Pertengahan dan pada masa William dari Ockham, seorang filsuf Inggris yang merupakan pendukung “nominalisme” (fundamentalitas nama/nomena), merupakan penyangkal fundamentalitas akal.

Pada abad keenam belas, Francis Bacon, dan pada abad ketujuh belas, Hobbes, yang juga orang Inggris, sama-sama mengandalkan fundamentalitas “akal dan pengalaman”, namun yang dikenal sebagai empiris adalah tiga filsuf Inggris lainnya: John Locke, George Berkeley dan David Hume, yang membahas masalah-masalah pengetahuan dari akhir abad ketujuh belas hingga sekitar satu abad kemudian.  Mereka mengkritik pandangan Descartes mengenai “pengetahuan bawaan”, mereka menganggap sumber segala pengetahuan adalah akal dan pengalaman.

Di antara mereka, John Locke adalah yang paling moderat dan paling dekat dengan kaum rasionalis. Berkeley adalah seorang pendukung fundamentalitas “nama/nomena”, yaitu seorang nominalis, tetapi (mungkin secara tidak sadar) ia menggunakan prinsip sebab-akibat, yang merupakan prinsip rasional. Ia juga memiliki pandangan lain yang tidak sesuai dengan fundamentalitas makna dan pengalaman.

Namun, Hume tetap setia sepenuhnya pada fundamentalitas indra dan pengalaman, ia mengikatkan dirinya pada skeptisisme metafisik, dan pada penerimaan  pada realitas fenomena alam. Dengan cara ini, fase skeptisisme ketiga dalam sejarah filsafat Barat mulai terbentuk.

Filsafat Kritis Kant

Pemikiran-pemikiran Hume termasuk di antara pemikiran-pemikiran yang mendasari gagasan-gagasan filsafat Kant, dalam kata-katanya sendiri, “Hume-lah yang membangunkanku dari tidur dogmatisku,”. Kant secara khusus berpendapat bahwa penjelasan Hume mengenai prinsip kausalitas sangat cocok, didasarkan pada gagasan bahwa pengalaman tidak dapat membangun hubungan antara sebab dan akibat.

Selama bertahun-tahun Kant memikirkan masalah-masalah filsafat, dan menulis banyak esai dan buku. Ia menawarkan pandangan filosofis tertentu yang jika dibandingkan dengan pandangan serupa sebelumnya, lebih tahan lama dan dapat diterima. Namun ia akhirnya sampai pada kesimpulan bahwa akal teoritis tidak mempunyai kemampuan untuk memecahkan masalah-masalah metafisika dan bahwa prinsip-prinsip rasional dalam bidang ini kurang memiliki nilai ilmiah. 

Kant secara tegas menyatakan bahwa persoalan-persoalan seperti keberadaan Tuhan, keabadian jiwa dan kehendak bebas tidak dapat dibuktikan dengan bukti-bukti rasional, namun keyakinan dan keimanan terhadap hal-hal tersebut tersirat dalam penerimaan dalm suatu sistem etika. Dengan kata lain, hal itu merupakan prinsip yang diterima dalam logika praktis, dan etikalah yang mengajak kita untuk beriman akan kebangkitan, bukan sebaliknya.

Oleh karena itu, Kant harus dianggap sebagai penghidup kembali nilai-nilai etika, yang setelah Renaisans mengalami ketidakstabilan dan terancam memudar dan dilenyapkan. Di sisi lain, ia harus dianggap sebagai salah satu perusak fondasi filsafat metafisika.