Karya Rumi dan Distorsinya

Salah karya yang melegenda dan menjadi simbol peradaban kuno adalah sastra-sufi. Sosok Rumi dengan Matnawinya telah di klaim banyak pihak sebagai representasi esensi semua agama, batin manusia terdalam yang bersifat universal. Namun Matsnawi sendiri hanyalah bayangan, metafor, inti kitab suci Quran.

Rumi lahir di Afganistan, wafat di Turki, tumbuh dalam sastra Persia-Iran. Jalaluddin Muhammad Rumi berasal dari keluarga ulama Islam terkemuka. Ia lahir pada tahun 1207 M di Balkh, sebuah kota di Afghanistan modern yang terletak di dataran antara Pegunungan Hindu Kush dan Amu Darya, sekitar 2.500 tahun yang lalu.

Pada saat Maulana Rumi lahir, Kekaisaran Persia membentang dari Pakistan di timur hingga Yunani di barat.

Pada usia 33 tahun, Maulana menjadi terkenal sebagai ulama Islam. Ia memiliki sekitar 10.000 pengikut di puncak karier mengajarnya, kata putranya, Sultan Walad, di Diwan-nya.

Momen transformatif dalam kehidupan Maulana Rumi terjadi pada usia 37 tahun ketika ia bertemu dengan seorang mistikus dan penyair Persia pengembara, Shams Tabrizi.

“Setelah bertahun-tahun tidak berhasil mencari jiwa yang cocok, akhirnya ia bertemu Rumi, yang ia temukan sebagai jiwa potensialnya sendiri,” tulis sarjana Islam dan psikolog Reza Arsteh tentang Shams dalam buku terkenalnya, Rumi, the Persian, the Sufi.

Setelah tiga tahun, Shams tiba-tiba menghilang dari kehidupan Maulana Rumi. Para ahli tentang mistikus Persia ini mengatakan bahwa Maulana Rumi mengatasi rasa sakit karena perpisahan dengannya dengan menulis puisi.

Barat mengakui Maulana Rumi sebagai seorang mistikus, guru spiritual, dan Sufi, tetapi jarang menyebutkan latar belakang Islam penyair-misterius legendaris itu.

Para ahli Rumi mengatakan bahwa ia mempraktikkan Sufisme untuk mendekatkan diri kepada Tuhan. Karya besarnya yang terdiri dari 50.000 baris, Matsnawi, menggambarkan kerinduannya yang dalam akan kedekatan dengan Sang Ilahi.

“Matsnawi adalah sebuah komentar atas keadaan dan kedudukan mistik ini. Buku ini menempatkannya dalam konteks keseluruhan ajaran dan praktik Islam dan Sufi,” tulis sarjana dan penerjemah Islam William Chittick dalam bukunya, The Sufi Path of Love.

“ Buku ini mengoreksi kesan keliru yang mungkin diterima seseorang dengan mempelajari puisi-puisi berbeda di Diwan secara terpisah dan memisahkannya dari konteks Sufisme dan Islam yang lebih luas.”

Karya-karya Maulana Rumi dipenuhi dengan kutipan dari Al-Quran. Ia menggunakan kisah-kisah dan karakter Al-Quran, cermin dari ketertarikannya yang mendalam pada Islam sebagai agama dan cara hidup.

“Kisah Nabi Musa disebutkan dalam Al-Quran. Rumi menggunakan Nabi Musa tidak hanya sekali atau dua kali, tetapi beberapa kali dalam seluruh Matsnawi. Kisah Hazrat Adam dalam Matsnawi disalin dari Al-Quran.

Menurut para ahli Rumi, motif cinta yang muncul dalam puisi Maulana Rumi juga terinspirasi oleh Al-Quran.

Dalam Al-Quran, Tuhan berbicara tentang cinta, cinta untuk ciptaan-Nya. Bertentangan dengan apa yang dipikirkan orang, hubungan Al-Quran antara Tuhan dan ciptaan-Nya didasarkan pada cinta dan bukan rasa takut. Maulana sangat menyadari cinta Tuhan dan mengomunikasikannya melalui karya-karyanya.

Maulana bahkan mengatakan bahwa dia hanya bertindak sebagai narator Matsnawi dan bukan penciptanya. Mistikus Persia yang hebat ini percaya bahwa ayat-ayat tersebut sama seperti Al-Quran jika mediatornya disingkirkan. Diwahyukan ke dalam pikiran, hati, atau jiwa narrator.

Sekitar 6.000 ayat Masnawi memiliki referensi Al-Quran atau terinspirasi oleh ajaran Al-Quran, setara seperempat dari Matsnawi.

Masnawi dipenuhi dengan ayat-ayat Al-Quran dan ide-ide Al-Quran, dan setiap upaya untuk memisahkan Masnawi dari Al-Quran atau ajaran dasar Al-Quran hanyalah upaya kekanak-kanakan dan sia-sia.

Siapa pun yang membaca Masnavi akan mengerti bahwa buku ini tidak lain hanyalah bayangan cermin dari Al-Quran.

Karya utama Rumi lainnya, Diwan-e-Shams, yang berisi 2.500 syair dipersembahkan untuk gurunya Shams Tabrizi, juga sarat dengan referensi ke Al-Quran dan Nabi Suci (saw).

Sejauh menyangkut Diwan-e-Shams, jika kita melihat Ghazal nomor 1948 (urutan numerik situs web Ganjoor), seluruh Ghazal diambil dari Al-Quran. Setiap ayat diakhiri dengan kata-kata dari Al-Quran.

Kata-kata dan bahasa kiasan Al-Quran Suci telah banyak digunakan oleh Maulana Rumi dalam puisi mistiknya untuk mengomunikasikan pengalaman cinta dan persatuan ilahi.

Seiring dengan semakin dikenalnya Maulana Rumi di Barat, karya-karyanya mendapat pengakuan signifikan dalam budaya populer Barat.

Namun, banyak terjemahan bahasa Inggris yang memisahkan puisinya dari keyakinannya kepada Tuhan dan Islam, sehingga ayat-ayatnya menjadi puisi cinta “dunia”.

Rumi Mohammad Ali Mojaradi, berpendapat, sebagian besar halaman Rumi di posting di Instagram, Twitter yang viral dan sekarang menjai situs web lengkap secara salah.

Mojaradi dikenal di media sosial sebagai Sharghzadeh. Ia adalah seorang peneliti dan penerjemah yang tinggal di AS yang telah mempelajari karya-karya Rumi selama bertahun-tahun.

Mojaradi mengatakan bahwa ia “berusaha untuk memperbaiki karya yang diterjemahkan secara tidak akurat dan dikaitkan secara keliru” yang berkaitan dengan penyair Persia abad ke-13 tersebut.

Meskipun latar belakang Maulana Rumi sebagai seorang Muslim sangat memengaruhi karyanya, hubungan penting ini sering kali diabaikan oleh para penerjemah zaman baru.

Banyak penafsir yang mengaku mengenal Maulana Rumi tidak pernah mempelajari bahasa Persia dan sebagian besar tidak menyadari latar belakang dan lingkungan Islam penyair Persia tersebut.

“Saya malas, sebenarnya—tidak ada harapan untuk mencoba mempelajari bahasa Persia,” Coleman Barks, penerjemah Amerika yang berjasa memperluas pembaca Rumi di Barat mengatakan, dikutip di berbagai media.

Terjemahan oleh penerjemah lain yang mengaku mengenal Molana Rumi memiliki sedikit kemiripan dengan karya asli penyair tersebut, sering kali menyajikan versi puisinya yang terdistorsi.

Para ahli Rumi menganggapnya sebagai “upaya yang disengaja” untuk menghapus sejarah keagamaan dan spiritual yang telah berusia berabad-abad yang diwarisi dan disaksikan oleh umat Islam di seluruh dunia.

“Ada bias nyata terhadap Islam dan semua hal yang berbau Timur, dan ini tentu saja memengaruhi versi Barat tentang Rumi, baik secara halus maupun terang-terangan,” kata Mojarradi ketika ditanya apakah penghapusan latar belakang Islam Rumi dapat dikaitkan dengan bias Barat terhadap Islam dan budaya Timur.

Meski di reduksi secara sengaja di Barat, Rumi  tetaplah sebagai penawar kebencian dan penderitaan. Memang saat ini dunia makin gila, dunia butuh Rumi lebih dari sebelumnya.