Heidegger, Menemukan Ada (Analisa Bahasa dan Puisi)

Tanpa bermaksud meremehkan Heidegger, tidak berlebihan jika Corbin berkata, Metafisika Heidegger adalah catatan kaki Mulla Sadra. Menemukan”ada” bukan persoalan Islam atau bukan Islam, akan tetapi menemukan “ada” dengan Islam, bisa diandalkan untuk mengukur validitas “ada” yang otentik.

Dulu saya membayangkan orang membuat puisi semata karena faktor campuran absurditas dan kebenaran yang dipengaruhi keyakinan, bacaan, lingkungan. Belakang urusan membuat puisi lebih serius, tidak semata keisengan pada anti-nalar, lebih suka merasakan daripada berpikir , tapi sekarang lebih dari itu, urusanya menjadi eksistensial dan menjadi petunjuk (tahu diri) sampai dimana bahasa kita dalam pencarian “wujud”. Ternyata bahasa puisi dapat dicari validitas kebenaranya.

Satu paragraf diatas anggap saja sebuah mukadimah. Cerita ini bisa kita mulai dari Heidegger, sang metafisikawan, salah seorang filsuf jerman  yang  menawarkan berpikir puitis, seni menangkap  “ada”. Heidegger menganggap sejarah filsafat sejak Yunani hingga abad 17 hanya berkutat mencari mana yang benar dan mana salah secara epistemologis dan gagal menemukan “ada” yang otentik. Heidegger menganggap puisi penting untuk menangkap “ada” karena bahasa puisi bahasa hati, dan ada otentik tidak bisa ditangkap dengan bahasa diskursif. Tapi berpikir puitis, pesan Heidegger tidak hanya  metafora seperti makna konfensional puisi, lebih dari itu Heidegger yakin  berpikir puitis bisa mengkap ada yang otentik.

“Tujuan puisi kata Heidgger “bukan mencari kebenaran baru, sebuah kosa kata tanpa klaim epistemologis apapun, berpikir seharunya membangun rumah ada, bukan mencari ada.”

Inilah sumbangan Heidegger bahwa “ada otentik” itu penting, tapi sayang, Heidegger tidak mengklarifikasi secara rigit “being (ada), Tuhan dan alam semesta.

Pengembangan lebih lanjut berpikir puitis Hidegger ini memperoleh hiruk pikuknya pada postmodernisme yang anti terhadap grand naratif. Sastra, arsitektur dan keseluruhan seni posmo adalah artikulasi anti kemapanan. Nietzsche dan karya-karya kesusasteraan, semisal Jacques Derrida, sang pengulas Mallarme menginspirasikan banyak seniman.

Antara ada (being), Wujud (bi makna amm) dan Wujud (bi makna khos)
Orang yang belajar filsafat barat di kampus UI, UGM dan Driyarkarya sudah pasti akrab dengan dengan kata “ada (being), akan tetapi biasanya kurang akrab dengan “wujud” dalam tradisi filsafat Islam. Seorang ahli metafisika Islam Indoensia, Dr. Muhsin Labib membagi tiga peta mazhab Filsafat di Jakarta; pertama, Rasionalisme Harun Nasution atau mazhab Ciputat,  berpusat di UIN Syarif Hidayatullah, kedua Filsafat Katolik/Kristen Driyarkarya, dan ketiga  mazhab “wujud” Sadra Institute Pejaten. Ukuran keberhasilan santri mazhab ketiga ini adalah memahami, merealisasikan dan mengabdikan “ilmu wujudnya” sesuai kapasitas wujudiyahnya masing-masing.

Pembagian ini sepintas hanya berkelakar, tapi jika dianggap penting, maka secara sosiologis akan berpengaruh pada cetakan/produk yang dihasilkan. Saya termasuk menganggap penting, karena akan menjadi data sejarah pemikiran filsafat di Indonesia ke depan.  Satu contoh adalah masalah tidak rampungnya pemahaman “ada” yang semakna dengan “wujud”, mengakibatkan pertanyaan serius, kenapa rasionalisme dianggap mewakili mazhab Ciputat, seolah ujung dari pencarian dalam filsafat adalah rasionalisme.

Mazhab Pejaten mengatakan, harus jelas makna “ada” dalam pengertian  Filsafat Wujud (wujud bi makna amm (metafisika/illahiyat bi makna amm) dan  “ada” dalam pengertian wujud bi makna khas (filsafat ketuhanan). Sehingga pada akhirnya tidak menjadi bingung (kehilangan daya burhaninya/argumentasinya) misalnya ketika menjelaskan konsep Wahdatul Wujud.

Kita akan coba perluas dengan menganasila kecil-kecilan melalui kasus berpikir puitisnya Heidegger. “Ada otentik” yang diusahakan Heidegger melalui berpikir puitis sepertinya, semata karena ketidakjelaskan Heidegger menjelaskan “ada” dalam pengertian umum (metafisik) dan ada dalam pengertian khusus (Tuhan).

Menyelidiki Kesulitan Heidegger
Pertama; pokok masalah Heidegger jika dilihat dengan prespektif Filsafat Mistisme dalam konteks bahasa dan puisi sangat jelas. Jika “ada” yang dimaksudkan untuk menangkap “ada” dengan bahasa filsafat (akal) maka itu itu dibahas dalam filsafat wujud. Akan tetapi jika yang ingin ditangkap “ada”  dalam pengertian menangkap keserupaan Tuhan maka alat yang dipakai dengan dhauqi, meski sampai kapanpun tidak bisa menangkap 100 %, dan jika yang ingin ditangkap ketidaksebandingan Tuhan maka dengan akal, karena kerja akal adalah memperjelas perbedaan, sedangkan kerja hati menangkap keserupaan. Dalam Fuhsu Al-Hikam diterangkan;

“Kekuatan pikiran menspiritualkan hal-hal yang fisik yang dicerap alat inderawi, dan menyimpanya dalam ingatan, dan ia memfisikkan  hal-hal spiritual yang dipahami hati dengan memberi bentuk.”

Kedua, pencarian Hediegger dengan bahasa puitisnya dalam menangkap ada, diteruskan dan dibahas secara apik dalam kajian filsafat Islam sebagai ittihad akal dan ma’qul (persatuan subjek dan objek) sedangkan pengetahuan yang didapat adalah pengetahuan hudhuri, hadirnya pengetahuan itu dalam benak kita, dalam kontek Filsafat Mistisme dibahas detil dalam syuhud.

Dalam kontek ini, Heidegger sebenarnya mau keluar dari bahasa diskursif fisafat akan tetapi tidak bisa mengandalkan bahasa hati (puisi), sehingga yang keluar ucapan “berpikir puitis” (seni menangkap ada). Meski begitu di lain kesempatan puisi dapat diandalkan oleh Heidegger dalam menangkap ada.

Ketiga, Heideger tidak membahas level kesadaran, instrumen pengetahuan, dan  level alam. Coba kita lihat dan bandingkan dengan Fisafat Mistisme yang membahas dengan cukup jelas, bahwa bahasa hati/ilham/intuisi para seniman semakna dengan  bahasa mistal/imajinal. Sejauh-jaunya seniman mendapatkan intuisi menurut pemahaman subjektif saya, hanya sampai pada level (alam) barzah, alam paska kematian, setinggi-tingginya alam imajinasi seniman, level kesadaranya masih dalam alam mimpi. Seniman masih akan kesulitan memaknai simbol-simbol mimpi secara akurat. Pengalaman jenis ini adalah pengalaman jenis ekstrovert yaitu pendahuluan memasuki alam berikutnya, yang  tidak hanya dialami seniman tetapi juga  ilmuan.  Contohnya, pengalaman  kesatuan luminaous ( benda-benda sekitarnya tiba-tiba menghilang) oleh filsuf atheis-eksistensialis J.P Satre,  juga pengalaman Fritjof Capra yang mampu melihat paralelisme konsep fisika modern dengan konsep Taoisme.

Keempat, Heidegger tidak cukup jeli menangkap apakah jiwa menangkap absurditas atau fana. Heidegger tidak membahas bahan bakar puisi dari absurditas yang berisi (agnotisme, relatifisme, atheisme negatif) dan  bahan bakar puisi dari fana (level kesatuan) yang sampai puncaknya pada fana fillah seperti dalam pembahasan Filsafat Mistisisme.

Kondisi fana (maqom) dan hal (keadaan cepat) adalah ladang para sufi mengungkapkan perasaanya. Perasaan yang sublim (dhauq) dari para sufi itu bukan sejenis perasaan kebingungan terhadap absurditas kehidupan seperti yang ditangkap Nietche dan banyak seniman  yang setia pada  absurditas.

Kelima, masalah level kesadaran Heidegger dapat ditemukan jawabanya secara sempurna oleh Imam Khomeini dengan penjelasan level-level  kesadaran tawajjuh. Pertama, tawajjuh lahiriyyah (pada titik tunggal berpaling dari kasrah/keragaman), kedua, tawajjuh al-qalbiyyah malakuttiyah-alkatsrah malakutiyah (al-katsrah sudah hilang), ketiga, tawajjuh batiniyah jabarutiyah, dengan ciri-al-mulk (alam materi) dan malakut sudah terhapus, hanya tinggal berhadapan dengan cahaya aljabarutiyah dan mengarah pada satu cahaya tunggal kemudian nantinya juga akan hilang dari perhatian. Keempat,  tawajjuh al-asma’iyyah (dalam al-a’yan tsabitah) akan menembus nama dan sifat, semua nama hilang dan akan tinggal hanya satu nama tunggal, al-itsm al A’zham.

Keenam, kesulitan Heidegger dengan mengganti epistemologi menjadi “seni melihat”  (berpikir puitis) untuk menghadirkan ‘ada’ yang ada disekitar kita dengan bahasa otentik menurut saya adalah bentuk lain dari mengembalikan metafisika, atau illahiyat bi makna am (filsafat wujud) dalam tradisi Filsafat Islam. Namun usaha Heidegger mencari “aku” yang otentik (purba) agar sesama manusia mampu berkomunikasi dengan bahasa eksistensial ternyata gagal menemukan “aku” yang otentik.

Aku yang otentik ini dalam tradisi Filsafat Islam dibahas dalam illahiyat bi makna khas, terkhusus lagi pada Filsafat Mistisisme dan “aku” yang otentik memperoleh kesempurnaan dengan menghilangkan aku (fana) bukan mencari aku yang otentik agar bisa membangun rumah ada (Heidegger). Kondisi fana adalah ladang para sufi mengungkapkan perasaanya. Perasaan yang sublim(zhaugh) dari para sufi itu bukan perasaan kebingungan terhadap absurditas kehidupan seperti yang ditangkap Nietche dan kawan-kawan.

Keenam, jika niat Heidegger untuk menangkap “ada” yang otentik itu kita sempurnakan dengan irfan, maka kita dianjurkan untuk tidak membuat puisi untuk menangkap keserupaan Tuhan dengan memakai simbol. Jika masih ngotot, maka mau tidak mau kita harus memakai bahasa Tuhan melalui wahyu, dan Tuhan hanya memperlihatkan dirinya (bertajalli/mukasafah) melalui nabi dan walinya. Penjelasan ini bisa didapat dalam Futuhat Makkiyah.

Nabi tidak menyampaikan dan membuat puisi, nabi hanya menyampaikan bahasa Tuhan kepada manusia agar di kenal, adapun tajalli (manifestasi) itu berupa kitab Fushus Hikam bentuknya yang mirip prosa dan puisi itupun oleh Ibnu Arabi ditulis dengan hudhuri (bimbingan Tuhan) dan tidak keluar dari bahasa al-Quran dan riwayat.

Oleh karena itu,  jika dilihat dari seluruh sisinya, maka usaha Heidegger membangun rumah ada, sudah dijawab oleh Filsafat Mistisme dengan konsep Wahdatul Wujud jauh sebelum Heidegger oleh Ibnu Arabi. Dengan kata lain, jika kita masih berminat membuat puisi untuk menangkap wujud dan mengabadikan pengalaman fana kita, sebaiknya memahami al-Quran dan ucapan nabi terlebih dahulu, agar kualitas puisi kita valid karena sudah disensor dan discan di alam mulk, malakut dan jabarut. Seperti usaha Imam Khomeni menangkap simbol-simbol bahasa al-Quran, dengan penafsiran ramzi (simbolik), yang  sarat dengan cita rasa sufistik.

Sehingga dengan demikian, kita akan tahu sudah sampai mana bahasa kita dalam menangkap “ada”, sudahkan kita fana, sudahkah kita berpikir barzakhi/imajinal, sudahkah kita bertemu dengan berbagai cahaya, sudahkah kita bertemu dengan nama-nama dan sifat-Nya, sudahkah kita berjumpa dengan nama tanpa nama, ujung  dari perjalanan sang seniman agung.  Kalau tidak, maka kualitas bahasa puisi kita atau semua jenis karya seni kita bisa-bisa jauh dari validitas kebenaran atau malah terjebak dan terus asik dalam absurditas, yang kita anggap ujung, padahal hanya awal kebingungan eksitensial biasa.

Sebaiknya memang kita sebagai peminat filsafat dan seniman di Indonesia, belajar dari Heidegger dan Nietsche, dan takjub pada pemilihan sastra sufi (Kuntowijoyo, Abdul Hadi) dan  bukan sastra sufi. Tapi sekali waktu iseng-isenglah membuka kita Fushus al-Hikam dan Asfar al-Arbaah, siapa tahu urusanya menjadi ekesistensial (gawat) dan menjadi peta serius sampai dimana pencarian kita seperti statemen paragraf awal saya. Tanpa bermaksud menyinggung arwah Heidegger, tidak berlebihan jika Corbin berkata, Metafisika Heidegger adalah catatan kaki Mulla Sadra. Menemukan “ada” bukan persoalan Islam atau bukan Islam, akan tetapi menemukan “ada” dengan Islam, bisa diandalkan untuk mengukur validitas “ada” yang otentik. (IRIB Indonesia)

 Rujukan
Arabi, Ibn, Fushus al-Hikam
Heidegger, Martin, Being adan Time
Tabatabai, Bidayah al-Hikmah
Imam Khomeini, Shalat Ahli Makrifah
Jurnal Al-huda, 2007, Volume V, Nomor 13