Memahami Empirisme dan Positifisme

Empirisme dan Positivisme

Empirisme dan Positivisme merupakan dua aliran filsafat yang penting dan signifikan. Ketepatan dalam memahami dan mengkritiknya akan membantu memahami karakter umum filsafat barat kontemporer.

Kedua aliran ini memperoleh popularitas, karena kseberhasilannya dalam menjustifikasi ilmu pengetahuan alam menjadi panduan ilmu sosial dan menyingkirkan filsafat klasik (metafisika) dan agama. Bagi mereka yang tertarik dengan filsafat klasik, dan memiliki minat isu-isu kontemporer, kedua aliran ini harus dikupas tuntas.

Empirisme

Di antara tokoh empirisme dan kontribusinya adalah John Locke (ilmu sosial dan metode ilmiah), David Hume (ilmu sejarah dan sains), George Berkeley (fisika, matematika dan teologi), Francis Bacon (metode induktif modern), dan Thomas Hobbes (politik). Para filsuf ini mencoba untuk mengaitkan semua konsep dengan indera.

 Pengertian Umum Empirisme

Empirisme, dalam filsafat adalah pandangan yang mengatakan bahwa semua konsep berasal dari pengalaman, bahwa semua konsep adalah tentang atau berlaku untuk hal-hal yang dapat dialami, atau bahwa semua keyakinan atau proposisi yang dapat diterima secara rasional dapat dibenarkan atau diketahui hanya melalui pengalaman. Definisi yang luas ini sesuai dengan asal usul istilah empirisme, dari kata Yunani kuno empeiria, “pengalaman.”

Konsep dikatakan “a posteriori” (setelah), jika konsep tersebut dapat diterapkan hanya berdasarkan pengalaman, dan konsep tersebut disebut “a priori” (sebelum), jika konsep tersebut dapat diterapkan secara independen dari pengalaman. Keyakinan atau proposisi dikatakan “a posteriori” jika konsep tersebut dapat diketahui hanya berdasarkan pengalaman dan “a priori” jika konsep tersebut dapat diketahui secara independen dari pengalaman. Jadi, menurut definisi empirisme kedua dan ketiga di atas, empirisme adalah pandangan bahwa semua konsep, atau semua keyakinan atau proposisi yang dapat diterima secara rasional adalah termasuk pengetahuan a posteriori daripada a priori.

Dua definisi pertama, empirisme biasanya melibatkan teori makna implisit, yang menyatakan bahwa kata-kata bermakna hanya sejauh kata-kata tersebut menyampaikan konsep. Beberapa empirisme berpendapat bahwa semua konsep adalah “salinan” mental dari entitas yang dialami manusia secara langsung atau kombinasi kompleks dari konsep yang merupakan salinan dari entitas yang dialami secara langsung. Pandangan ini terkait erat dengan gagasan bahwa kondisi penerapan suatu konsep harus selalu ditentukan dalam istilah “pengalaman”.

Definisi ketiga empirisme adalah berupa teori pengetahuan, atau teori pembenaran. Teori ini memandang keyakinan, misalnya,  keyakinan bahwa objek ini berwarna merah-pada akhirnya dan tentu saja bergantung pada pengalaman “pembenaranya/justifikasinya” bahwa faktanya berwarna merah. Cara yang setara untuk menyatakan tesis ini adalah dengan mengatakan bahwa semua pengetahuan manusia berasal dari pengalaman.

Pandangan empirisme mengenai konsep dan empirisme mengenai pengetahuan tidak secara ketat menyiratkan satu sama lain. Banyak empirisme telah mengakui bahwa ada proposisi apriori tetapi telah menyangkal bahwa ada konsep apriori. Akan tetapi, jarang ditemukan filsuf yang menerima konsep apriori tetapi menolak proposisi apriori.

Paham empirisme menekankan pengalaman, menentang klaim otoritas, intuisi, dugaan imajinatif, dan penalaran abstrak, teoritis, sebagai sumber yang dapat diandalkan. Antitesisnya yang paling mendasar adalah  rasionalisme, yang juga disebut intelektualisme atau apriorisme. Teori konsep rasionalis menegaskan bahwa beberapa konsep bersifat apriori dan bahwa konsep-konsep ini bersifat “bawaan”, atau bagian dari struktur atau representasi asli pikiran. Sebaliknya, teori pengetahuan rasionalis menyatakan bahwa beberapa proposisi yang dapat diterima secara rasional—mungkin termasuk “setiap hal harus memiliki alasan yang cukup untuk keberadaannya” (prinsip alasan yang cukup)—adalah apriori. Proposisi apriori, menurut kaum rasionalis, dapat muncul dari intuisi intelektual, dari pemahaman langsung akan kebenaran yang terbukti dengan sendirinya, atau dari penalaran deduktif murni.

Terdapat beberapa kritik terhadap paham empirisme;

  1. Keterbatasan “instrumen”membuat pengetahuan diperoleh sama terbatasnya dengan indera
  2. Pengetahuan pertama dari pengamatan indera adalah pengetahuan sederhana, bukan pengetahuan mendalam
  3. Kerusakan pada salah satu indera dapat mengakibatkan tidak sahnya hasil persepsi
  4. Pengetahuan empiris tidak mempercayai hukum kausalitas
  5. Pengetahuan empiris dapat diperoleh dari proses deduksi tersembunyi, bukan hasil persepsi indera secara langsung
  6. Pengetahuan empiris merupakan pengetahuan tunggal, tidak dapat memahami hubungan yang satu dengan yang lain, atau tidak dapat mengambil hukum umum
  7. Indera manusia memiliki kedudukan yang sama dengan hewan, bahkan indera hewan memiliki kelebihan seperti indera penciuman anjing yang lebih tajam daripada manusia,
  1. Pengetahuan empiris hanya merupakan satu langkah, pengetahuan kedua dapat menarik kesimpulan dari pengetahuan pertama.
  2. Pengetahuan empiris hanya terjadi untuk wilayah dan waktu tertentu, tidak dapat mencakup masa lalu dan masa depan.
  3. Penggunaan pengetahuan empiris seperti kerja kamera, pengambilan gambar, tetapi kurang pemahaman antar gambar.
  4. Pengetahuan empiris seperti tabula rasa sudah diberikan sejak kecil (bawaan), namun pengetahuan ini dalam prespektif Islam seperti tabula rasa, kertas putih dan panca indera manusia menyerapnya dengan jiwanya, berbagai bentuk gambaran indera merupakan nutrisi bagi jiwa.
  5. Induksi dalam empirisme selalu mengarah pada induksi sempurna dan induksi tidak sempurna. Induksi sempurna tidak akan terjadi, karena tidak dapat mencakup induksi masa lalu dan masa depan. Induksi sempurna selalu berakhir dengan generalisasi dari data empiris yang terbatas.
  6. Pembatasan terhadap realitas yang dapat dirasakan oleh panca indera, padahal banyak realitas yang tidak dapat diserap oleh panca indera.

Positivisme dan Enam Prinsip.

Salah satu aliran utama dalam filsafat ilmu sosial adalah positivisme. Akar positivisme terletak pada pemikiran Auguste Comte (lahir 19 Januari 1798 – meninggal 5 September 1857). August Comte percaya bahwa metode ilmiah didasarkan pada “observasi”. Ia percaya bahwa metode ini lazim dalam ilmu pengetahuan alam dan dapat digunakan dalam ilmu humaniora juga.

Comte memiliki pandangan tiga tahap perkembangan masyarat;

  1. Teologis (keyakinan, budaya) basis sosial; keluarga (family)
  2. Metafisik, filsafat, basis sosial; negara (state)
  3. Positif ( pengetahuan sains), rasional, kemanusiaan (humanisme)

Positivisme didasarkan pada enam prinsip.

Prinsip 1: Pikiran manusia seperti papan putih .

Prinsip 2: Pengetahuan apa pun dapat dinilai berdasarkan pengalaman.

Prinsip 3: Apa yang tidak terlihat berada di luar ranah sains.

Prinsip 4: Hukum ilmiah adalah ekspresi dari pengamatan berulang.

Prinsip 5: Penjelasan suatu fenomena adalah untuk menunjukkan bahwa fenomena ini merupakan contoh hukum sains.

Prinsip 6: Menurut hukum sains, seseorang dapat memprediksi.

Positivisme dapat dibagi menjadi dua periode: periode dasar dan periode akhir. Langkah pertama dalam mencapai pengetahuan ilmiah adalah observasi. Positivisme primitif adalah tentang keadaan pikiran dalam proses mengetahui bahwa pikiran hanya memiliki peran menerima. Dengan kata lain, pikiran tidak memiliki pengaruh apa pun pada kognisi. Dalam kamera, cahaya adalah satu-satunya faktor dalam menciptakan gambar, dan kamera tidak berperan dalam proses ini. Dari sudut pandang positivisme, semua manusia memiliki karakteristik ini. Tentu saja, orang mungkin menemukan kesalahan dalam mengaksesnya.

Kaum positivis memberikan rekomendasi untuk menghindari kesalahan. Penjelasan tentang kondisi ini membawa kita ke prinsip kedua. Berdasarkan prinsip kedua, pengetahuan apa pun dapat dinilai berdasarkan pengalaman. Titik awal pengalaman adalah observasi. Dalam setiap observasi, pengamat harus memiliki sarana observasi yang benar. Misalnya, mata, telinga, dan indera lainnya harus sehat.

Tujuannya adalah agar kelima indera berfungsi sebagaimana mestinya. Jadi, sebagaimana kelemahan kelima indera itu bermasalah, kekuatan kelima indera yang berlebihan juga bermasalah. Misalnya, seseorang dengan mata yang lemah tidak cocok untuk penelitian empiris, dan seseorang yang memiliki mata yang sangat kuat. Tetapi mengapa mata yang lebih kuat menjadi bermasalah?. Karena apa yang diperoleh orang-orang ini tidak terlihat oleh publik dan orang lain tidak dapat mengonfirmasi pengamatan mereka.

Syarat lain untuk melakukan pengamatan yang kredibel adalah bahwa ia menghindari prasangka apa pun dalam pengamatannya. Dengan kata lain, pengamat menghindari campur tangan terhadap perasaan mental dan emosionalnya apa pun dalam pengamatan. Syarat lain untuk mengamati keabsahan adalah bahwa pengamat secara akurat mencatat apa yang diamatinya. Hanya dengan mengamati ketiga syarat ini, langkah pertama akan terwujud untuk metode empiris. Kita juga harus menerima prinsip ketiga sesuai dengan prinsip kedua.

Menurut prinsip ketiga mengingat bahwa pengamatan atas dasar pengalaman apa pun, apa pun yang tidak terlihat, itu berada di luar cakupan penelitian ilmiah. Menurut Positivisme, jika sesuatu yang tidak dicapai oleh indera yang tidak bermoral tidak dapat diterima, maka sesuatu yang tidak dicapai oleh kelima indera tidak dapat diandalkan.

Berdasarkan Prinsip 4, hukum ilmiah adalah ekspresi dari pengamatan yang berulang-ulang. Apa yang dimiliki kaum positivis untuk membenarkan prinsip ini? Prinsip ini dibenarkan oleh langkah kedua dalam metode empiris.

Menurut Positivisme, pengamat harus melakukan induksi setelah pengamatan. Tetapi kenapa induksi dan mengapa itu digunakan secara eksperimental. Tujuan induksi adalah untuk memeriksa kasus-kasus yang berulang. Tujuan utama induksi adalah agar pengamat tidak tertipu oleh fitur-fitur khusus dari hal-hal yang diamati. Ketika kita mengamati contoh-contoh yang berulang dan memperoleh karakteristik umum, fitur ini dapat diperluas ke individu-individu yang tidak diamati.

Oleh karena itu, prinsip keempat tidak hanya dibenarkan, tetapi juga wajib dan perlu. Tetapi kaum positivis juga telah memperhatikan masalah-masalah yang mungkin timbul dari induksi. Oleh karena itu, mereka telah mempertimbangkan beberapa kondisi untuk validasi induksi.

Syarat pertama adalah jumlah pengamatan harus sangat banyak. Syarat kedua adalah kasus-kasus yang diamati harus berada dalam situasi dan kondisi yang berbeda. Syarat ketiga adalah tidak boleh ada contoh tandingan yang diamati selama pengamatan sejumlah kasus.

Kritik terhadap positivisme

Kritik Pertama

Salah satu kritik terhadap positivisme adalah tentang penafsiran hakikat “pengamatan”. Sementara sebagian besar penganut positivis menganggap “pengamatan” bersifat absolut, para kritikus percaya bahwa hal itu bersifat relatif. Para kritikus percaya bahwa pikiran bukanlah papan putih atau seperti yang diungkapkan John Locke “Tabula Rasa”. Setiap orang memiliki latar belakang subjektif. Berbagai faktor berkontribusi terhadap pembentukan latar belakang mental tersebut.

Beberapa faktor tersebut adalah: budaya, lingkungan, warisan, dan sebagainya. Budaya berbeda-beda. Sementara orang-orang dalam suatu budaya menghormati tradisi leluhur, dalam budaya lain, orang-orang tidak terlalu memperhatikan tradisi tersebut. Dapat dikatakan bahwa banyak orang memiliki budaya yang sama.

Namun perlu dicatat bahwa orang-orang dengan budaya yang sama memiliki lingkungan yang berbeda. Misalnya, sebagian orang dengan budaya yang sama mungkin tinggal di daerah gurun sementara yang lain tinggal di pegunungan. Dan seperti yang telah diklaim, tinggal di gurun menyebabkan perilaku manusia menjadi kasar. Dapat dikatakan bahwa banyak orang memiliki budaya yang sama serta lingkungan yang sama.

Namun perlu dicatat bahwa orang-orang dengan budaya yang sama memiliki warisan yang berbeda. Bahkan orang-orang dengan budaya, lingkungan, dan warisan yang sama memiliki karakteristik psikologis yang berbeda. Jelas, Anda tidak dapat menemukan dua orang dengan latar belakang mental yang sama. Menurut para kritikus, perbedaan dalam karakteristik yang disebutkan di atas membuat perbedaan dalam pengamatan dan sikap.

Tampaknya seseorang dapat mencapai serangkaian pengamatan yang sama. Namun perlu dicatat bahwa pengamatan seseorang akan berubah seiring waktu dan dengan perubahan keadaan. Jadi, atas dasar ini, kita tidak akan pernah dapat mencapai serangkaian pengamatan yang sama. Sekarang apa yang terjadi jika pengamatan yang sama tidak dapat dicapai? Ya, kita tidak akan dapat mencapai “hukum ilmiah”. Kritik ini dinamai dengan istilah kritik “berisi teori”. N. R. Hanson menggunakan istilah tersebut untuk pertama kalinya. Namun Popper, Kuhn, dan Lakatosh juga telah menerima kritik ini.

Kritik kedua, sekarang mari kita bahas tentang kritik kedua. Berdasarkan kritik kedua, dengan asumsi bahwa individu dapat mencapai pengamatan yang sama, mereka tidak akan pernah dapat mencapai “hukum ilmiah” dari pengamatan yang sama. Karena apa yang diperoleh dari pengamatan yang sama tidak lain adalah “induksi yang tidak sempurna”. Arti dari “induksi yang tidak lengkap” adalah bahwa “tidak semua hal dapat diamati”. Menurut kritik ini, tidak peduli seberapa banyak seseorang mencoba memperluas lingkaran induksi, ia tidak dapat mengamati semua hal yang ingin diamatinya. Berdasarkan kritik ini, hanya “induksi lengkap” yang dapat mengarah pada hukum ilmiah.

Kritik ini dikenal sebagai “masalah induksi” atau “masalah Hume tentang induksi”. Jika tidak ada hukum ilmiah, prediksi tidak akan mungkin dilakukan.

 Kritik ketiga.

Sekarang kita akan membahas kritik ketiga. Berdasarkan bentuk ketiga, bahkan jika hukum ilmiah dapat dicapai berdasarkan induksi yang tidak lengkap, hukum ilmiah ini tidak dapat diterapkan pada manusia. Karena ada perbedaan antara ilmu pengetahuan alam di satu sisi dan ilmu humaniora di sisi lain. Manusia memiliki kehendak bebas. Atas dasar kehendak bebas manusia, seseorang tidak dapat memprediksi dengan cara apa pun perilaku seseorang di masa depan, berdasarkan apa yang telah diamatinya di masa lalu.

Positivisme, Metafisika, Matematika dan Logika

Positivisme merupakan bentuk empirisme yang paling ekstrem. Aliran ini membatasi persepsi pengalaman hanya pada sensualitas. Positivisme tidak mengakui pengalaman batin sebagai pengetahuan ilmiah. Ide-ide universal (metafisika) dianggap sebagai kosakata mental yang tidak bermakna. Hanya subjek-subjek yang bermakna dan ilmiah yang dapat dirasakan oleh panca indera.

Berikut ini beberapa kritik terhadap positivisme terkait “metafisika”;

  1. Positivisme menganggap ilmu pengetahuan itu ilmiah jika dapat diakses dan dibuktikan oleh panca indra. Dengan demikian prinsip ilmu pengetahuan langsung (presentational knowledge/ hudhuri) dan proposisi yang membuktikannya secara intelektual runtuh.
  2. Positivisme menutup pembuktian logika dunia luar. Padahal ilmu pengetahuan panca indra merupakan pengalaman yang paling rapuh.
  3. Asumsi konsep-konsep metafisika tidak ada artinya karena mengingkari prinsip kausalitas.
  4. Positivisme menganggap tidak mungkin ada hukum ilmiah yang universal, permanen, dan niscaya karena tidak dapat dibenarkan secara mutlak oleh panca indra. Meskipun ada celah pada panca indra. Dengan demikian jika panca indra dijadikan standar, maka jika panca indra tidak dapat dialami, maka status panca indra tidak dapat diingkari dan dibenarkan.
  5. Positivisme dipaksa menerima konsep matematika dengan cara menggabungkan konsep logika, meskipun konsep matematika memiliki contoh dari dunia luar (bahasa teknis karakter dan konsep). Hal ini membuktikan kepositifan kaum positivis.
  6. Positivisme menganggap indera lebih penting daripada rasio, padahal fungsi indera hanya memberikan informasi (konsep/pengertian/tasawur) sedangkan rasio memberikan keputusan (afirmasi/tasdiq) dengan cara membandingkan dengan konsep lainnya.

Empirisme dan Positifisme berpengaruh kuat pada bangunan sains modern, sehingga membentuk  karakter umum fondasi epistemologi Barat dan respon dari dunia Islam.  Diantara keduanya, memiliki sejumlah klaim;

Klaim Epistemologi Barat

  1. Ada pengetahuan tertentu yang tidak dapat dikalahkan oleh panca indra; res cogitan (Decartes), apriori dan murni berpikiran reinen Vernunft (Immanuel Kant), ide-ide bawaan (Leibniz)
  2. Semua pengetahuan berasal dari indera (Empirisme), tabula rasa (John Lock)
  3. Semua Pengetahuan berasal dari panca indera (Positivisme)

Klaim epistemologi Islam & Kritik Epistemologi Barat

  1. Pengetahuan langsung (tanpa perantara)  tidak mungkin ditolak
  2. Pengetahuan perolehan (perantara), persepsi indrawi-diproses oleh akal, dibandingkan dengan konsep lain menjadi pengetahuan hakiki yang universal, logika sekunder (seperti konsep non-kontradiksi, bentuk-bentuk silogisme, aritmatika, dll.), filosofis sekunder (seperti konsep sebab/akibat, perlu/mungkin, bentuk/ketiadaan, dll.)
  3. Penghakiman benar dan salah hanya berlaku untuk pengetahuan perolehan/acquire knowledge/ hushuli
  4. Semua pengetahuan proporsional bersifat aksiomatik
  5. Proposisi non-aksiomatik didasarkan pada korespondensi proposisi benar pada dirinya sendiri/being qua being/thing in itself/“nafs amr”

oleh, Muhammad Ma’ruf, peneliti pemikiran barat dan Islam

Referensi:

  1. Roger Trigg, Understanding Social Science: Philosophical Introduction to the Social Sciences(Penerbit: Wiley, 2000)
  2. Ted Benton & Ian Craib, Philosophy of Social Science
  3. Misbah Y, Philosopical Intruction; An Introduction to Contemporary Islamic Philosophy, Yazdi Misbah, Shadra Press, 2010