Memasuki Hari ke 38, korban genosida warga Palestina akibat serangan Israel-USA di Jalur Gaza telah meningkat menjadi 11.180 orang,termasuk 4.609 anak-anak dan 3.100 wanita. Lebih dari 28.000 orang lainnya terluka. Rezim Tel Aviv memblokir akses air, makanan, dan listrik Gaza menimbulkan krisis kemanusiaan hebat. Setidaknya 22 rumah sakit dan 49 pusat kesehatan telah berhenti beroperasi kekurangan bahan bakar yang dibutuhkan untuk mengoperasikan generator listrik.
Namun dibalik pembantian etnis terbuka yang memilukan ini, bisnis kolonial Israel-Inggris-USA berjalan seperti biasa. Israel telah memberikan 12 izin kepada enam perusahaan untuk mengeksplorasi gas alam di lepas pantai Mediterania negara itu pada tanggal 30 Oktober. Bisnis ini adalah upaya terbaru Israel untuk mengeksploitasi salah satu dari beberapa ladang gas yang ditemukan di pantai Mediterania selama beberapa dekade terakhir, yang bertujuan untuk mengatasi ketergantungan energi Israel dan, yang terpenting, akan memasok ke wilayah Eropa. Tahun 1999, BG Group atau perusahaan minyak dan gas multinasional Inggris yang berkantor pusat di Reading, Inggris menemukan ladang gas besar antara 17 dan 21 mil laut di lepas pantai Gaza. Dikenal sebagai Gaza Marine 1 dan 2.
Total cadangan minyak dan gas itu bernilai $524 miliar pada tahun 2019. Namun Israel sebagai penjajah tidak memiliki hak hukum tunggal atas $524 miliar tersebut. Menurut laporan PBB yang diterbitkan pada tahun yang sama. Tidak hanya sebagian dari $524 miliar yang bersumber dari Wilayah Pendudukan Palestina, sebagian besar sisanya berada di luar batas negara di laut dalam, dan oleh karena itu harus dibagikan kepada semua pihak terkait.
Laporan PBB 2019, pernah mempertanyakan hak nasional atas sumber daya alam ini, karena mengingat pembentukannya membutuhkan waktu jutaan tahun—dan yang lebih penting bahwa orang-orang Palestina menduduki seluruh wilayah tersebut, sementara Israel secara resmi didirikan baru 1948.
Para penulis juga mencatat bahwa tindakan penjajah yang menolak hak warga negara untuk menggunakan sumber daya alam mereka sendiri merupakan kejahatan perang lainnya, termasuk mengalihkan pasokan air Palestina, memutus akses terhadap perikanan mereka, merampas lahan pertanian dan menghancurkan kebun zaitun. Biaya finansialnya sangat besar. “Sampai saat ini, kerugian nyata dan kerugian akibat pendudukan yang semata-mata terjadi di bidang minyak dan gas alam telah terakumulasi hingga puluhan, bahkan ratusan miliar dollar”.
Penjajah untuk apa berbagi dengan yang dijajah?
Konspirasi maut AS, Inggris, Uni Eropa dengan Israel telah terjalin erat sejak negara tersebut didirikan pada tahun 1948. Pada bulan Juni 2022, di bawah tekanan untuk mencari sumber gas lain sejak invasi Rusia ke Ukraina, UE menandatangani Nota Kesepahaman dengan kolonial Israel untuk mengimpor gas dari ladang gas Leviathan. Ladang gas ini merupakan penemuan terbesar baru-baru ini, menyimpan 22 triliun kaki kubik gas alam yang dapat diperoleh kembali dan dapat memenuhi kebutuhan domestik Israel selama 40 tahun.
Menteri Energi Israel, Karine Elharrar, pernah membagikan video di akun Twitter-nya tentang penandatanganan perjanjian trilateral. “Hari ini, Mesir dan Israel bersama-sama membuat komitmen untuk membagi gas alam kami dengan Eropa dan membantu mengatasi krisis energi,”
Presiden Komisi Eropa, Ursula von der Leyen, menyambut baik penandatanganan kesepakatan tersebut. “Saya sangat menyambut baik penandatanganan perjanjian bersejarah antara Israel, Mesir, dan Uni Eropa ini,”
AS melangkah lebih jauh, membuat paket kerjasama bisnis dan keamanan regional dengan dan untuk Israel yang merupakan kepentingan strategis AS. Partisipasi strategisnya, mengirim dua kapal induk dan mengirim ribuan ton amunisi untuk Israel dalam operasi pembersihan etnis Gaza 2023. Penggusuran, pengusiran dan pembersihan etnis adalah cara termudah menghilangkan hak ekonomi bangsa Palestina dalam mengekplorasi gas di wilayahnya sendiri.
Gas alam dipandang sebagai sumber daya yang “memberi dampak positif pada keamanan regional”, sebuah propaganda kebijakan untuk membangun jembatan perdagangan dengan negara-negara Arab tetangga, Mesir, Jordanai, dan Uni Emirart Arab, dan Arab Saudi. Mesir mulai mengimpor gas dari ladang Leviathan pada tahun 2020, dan menandatangani MoU dengan Israel dan UE tahun lalu.
Memang bisnis Liquefied natural gas (LNG) telah digunakan sebagai taktik politik di seluruh dunia untuk memperdalam hubungan politik dan ekonomi saling tergantung. Bukan berbasis pada moralitas ekonomi kesejahteraan tetapi hanya karena cadangan minyak semakin menipis. LNG adalah bahan bakar fosil kesayangan dengan emisi karbon dioksida 40% lebih sedikit dibandingkan batu bara (baterai rendah), dan pasokan global dalam cadangan saat ini selama 125 tahun.
Amerika Serikat, produsen dan eksportir LNG terbesar di dunia, memperkirakan transisi energi akan menggunakan gas terlebih dahulu sebelum menjadi ramah lingkungan. Sebanyak 20 terminal LNG baru, yang mengangkut gas dari Permian Basin di Southwest, diharapkan disetujui oleh pemerintahan Biden tahun ini. Karena ditujukan untuk ekspor, para analis mengatakan emisi gas rumah kaca yang terkait dengan hal ini akan dua puluh kali lebih besar dibandingkan dengan pengeboran minyak di Willow, ladang minyak baru yang banyak diprotes di Alaska. Dengan demikin, bisnis Gas adalah mata uang untuk mendapatkan dukungan politik
Gas Palestina di Gaza
Sejak tahun 1999, BG Group (BGG) telah menemukan ladang gas besar antara 17 dan 21 mil laut di lepas pantai Gaza. Berdasarkan perjanjian Oslo II, Otoritas Nasional Palestina mempunyai yurisdiksi maritim hingga 20 mil laut di lepas pantai Gaza. Pada bulan November 1999, PNA menandatangani kontrak eksplorasi gas berdurasi 25 tahun dengan BGG.
Cadangannya diperkirakan mencapai 1 triliun kaki kubik dan akan memenuhi kebutuhan Palestina serta memungkinkan ekspor. Ehud Barak, Perdana Menteri Israel pada saat itu, menyetujui otorisasi bagi BGG untuk mengebor sumur pertama pada bulan Juli 2000. Sumur tersebut menghasilkan gas emas. Palestina dan Israel mulai bernegosiasi dan kesepakatan tersebut dipandang menguntungkan baik permintaan Israel maupun pasokan Palestina.
Namun, pergantian kepemimpinan Israel memperburuk kesepakatan tersebut, dengan pemerintahan Ariel Sharon yang diduga mendorong penolakan kesepakatan pasokan antara ladang gas Palestina dan Perusahaan Listrik Israel milik negara. Bulan Mei 2002, PM Inggris saat itu, Tony Blair, terlibat dan Sharon setuju untuk merundingkan perjanjian pasokan tahunan sebesar 0,05 triliun kaki kubik gas Palestina untuk jangka waktu 10 hingga 15 tahun.
Namun, dia berubah pikiran pada tahun 2003 dengan menyatakan bahwa dana tersebut dapat digunakan untuk mendukung terorisme.
Pemerintahan Ehud Olmert, yang didorong oleh PM baru, setuju untuk membuka kembali perundingan dengan BGG pada bulan April 2007. Mulai tahun 2009, Israel akan membeli 0,05 triliun kaki kubik gas Palestina seharga $4 miliar per tahun, sehingga menciptakan suasana yang baik untuk perdamaian, demikian pendapat mereka.
Namun, pertempuran Gaza tahun 2007 di mana Hamas mengambil kendali atas wilayah tersebut sekali lagi mengubah kesepakatan tersebut. Hamas ingin meningkatkan 10% bagian asli Palestina dalam kesepakatan BGG. Sebuah tim perunding Israel dibentuk oleh Pemerintah Israel untuk merumuskan kesepakatan dengan BGG, tanpa melibatkan pemerintah Palestina dan PNA, sehingga secara efektif membatalkan kontrak yang ditandatangani pada tahun 1999 antara BGG dan PNA. Namun, pada bulan Desember 2007, BGG menarik diri dari negosiasi dengan pemerintah Israel.
Pada bulan Juni 2008, pemerintah Israel menghubungi kembali BGG untuk segera merundingkan kembali kesepakatan tersebut. Laporan PBB menyatakan: “Keputusan untuk mempercepat negosiasi dengan BGG bertepatan, secara kronologis, dengan perencanaan operasi militer Israel di Gaza, dimana terlihat bahwa Pemerintah Israel ingin mencapai kesepakatan dengan BGG sebelum operasi militer tersebut dilakukan. yang sudah dalam tahap perencanaan lanjutan.”
Invasi Israel ke Gaza pada bulan Desember 2008 menjadikan ladang gas Palestina berada di bawah kendali Israel—tanpa memperhatikan hukum internasional. BGG kemudian berurusan dengan pemerintah Israel sejak saat itu. PBB memperkirakan kerugian miliaran dolar bagi rakyat Palestina.
Rupanya situasi status pendudukan Palestina lebih kompleks dibandingkan lokasi ladang gas, arah geopolitik dan geologi. Bagi UE, permintaan terhadap gas yang disetujui sekutunya (Israel) lebih tinggi dari sebelumnya, inilah yang memicu keberanian EU untuk memperjuangkan kejahatan perang yang dilakukan Israel tahun 2023, tetapi mengecam kejahatan perang yang dilakukan Rusia. Sementara AS mengambil peran, melindungi dan mendapatkan keuntungan dari bisnis perang Ukraina, dan potensi bisnis perang Israel yang sedang di perjuangkan.
Namun Houti dan tentara nasional Yaman melangkah sigap, berhasil menembakan rudalnya ke kota Eilat, unjung selatan Israel. Memberi kode yang mengusik bisnis kanal Israel. Bagi Israel, kota Eilat akan menjadi penghubung laut merah dan laut Mediterania, koridor projek kanal Ben Gurion yang di rancang sejak 1963, yang akan menggantikan terusan Suez. Rupanya Houthi sedang memberi petunjuk kita tentang peta arah bisnis perang kolonial-Gaza.
Oleh; Muhammad Ma’ruf, Direktur-Global Thinkers Institute (GTI)