“Jika saja hal itu terjadi maka Putin layak dianugerahi pujian pepatah Jawa “Wani Ngalah Luhur Wekasane” (berani mengalah untuk sesuatu yang lebih mulia), “menang tanpo ngasorake” (menang tanpa merendahkan lawan).”
Keprihatinana saya mencapai puncak ketika AS sudah gatal ingin menjatuhkan bom-bom saktinya, agar pergantian rezim Suriah segaris dengan kepentingan proxy AS,Eropa dan Israel. Tri masketir ini punya pasukan jihadis darat negara-negara Liga Arab. Suasana genting itu segera mencair dengan diplomasi resmi dan sebuah surat dari Presiden Putin untuk rakyat dan presiden AS.
Kurang lebih 4447 tanggapan terpublis dalam situs The New York Times, 11 september 2013, mengomentari tulisan opini Putin, Presiden Rusia. Putin, bekas anggota KGB menamai tulisanya dengan judul “A Plea for Caution From Russia” What Putin Has to Say to Americans About Syria. Sebuah permohonan seorang presiden tangguh saingan negara adidaya AS. Tulisan Putin ini di tujukan untuk rakyat Amerika, untuk mengurangi jarak komunikasi masyarakat Rusia dan AS. Tapi sayang, mayoritas komentar yang terpublis membela Obama secara dangkal, disortir pihak redaksi.
Kita pernah menjadi sekutu bersama mengalahkan Hitler, pernah mengalami masa perang dingin, tulis Putin mengingatkan Obama dan rakyat Amerika. Rayuan surat Putin ini ditujukan untuk menambah amunisi diplomasi jalan damai; menawarkan senjata kimia Assad di bawah pengawasan internasional. Putin menyebut Obama sebagai “personal relationship” dan mengapresiasi kepercayaan dirinya dan Obama makin tumbuh. Tawaran Putin tak disangka oleh Obama dan para pecandu perang penghuni gedung putih, Putin seperti anak yang polos, bagaimana mungkin menyerahkan secara suka rela senjata kimia pada pihak musuh untuk dimusnahkan. Obama tak perlu repot memberi intruksi meluncurkan ratusan missile, untuk melumpuhkan senjata andalan Assad. Obama tidak juga merasa bersalah pada Netanyahu karena kekawatiran senjata kimia akan menghujani Tel Aviv. Singkat kata, tawaraan Putin, menjadi solusi gratis kepentingan AS dan Israel. Jika senjata kimia Assad benar-benar sudah dimusnahkan oleh PBB, maka Suriah sebagai pihak terhukum akan membuat lega Israel. Lalu cerita krisis Suriah akan segera berakhir, benarkah demikian?
Chomsky menyebut tawaran Putin sebagai penyelamat Obama. Bagaimana tidak, Obama tidak akan disalahkan publik AS dan dunia karena kesalahan fatal mengintervensi Suriah, Obama terselamatkan karena kerugian resiko efek regional akibat intervensi, tradisi wibawa Obama sebagai seorang presiden adidaya dengan label “super power” (bahasa mliiter, dikte, dominasi) terselamatkan. Obama diselamatkan oleh musuh besarnya sendiri, inilah kekalahan telak dalam diplomasi tingkat tinggi terbaru, diplomasi militer takluk dengan diplomasi jalan damai. Putin memang beda, begitu komentar banyak pengamat. Siapa Putin…?
Pujian kepada Putin memang banyak dilontarkan di publik Rusia dan AS. Boris Yeltsin menyatakan Vladimir Putin kepada seluruh rakyat Rusia pernah berkata bahwa “Dia dapat mengulangi kejayaan Rusia yang baru pada abad 21”. Sergei Stepashin, pejabat yang digantikannya mengatakan bahwa dia seorang yang jujur. Mantan Presiden Amerika Serikat Bill Clinton mengatakan dia mampu untuk menjadikan Rusia sebagai negara yang berprospek dan kuat. Sedangkan mantan Presiden Uni Soviet Mikhail Gorbachev ketika bertemu dengan Putin pada bulan Agustus 2000 memastikan dia tidak akan merusak demokrasi Rusia.
Begitulah Putin, dia berani kerahkan puluhan kapal perang melindungi Suriah meladeni gaya AS unjuk kekuatan, pada saat yang sama konsisten menawarkan diplomasi damai. Tapi pertanyaanya sampai kapan retorika perang Obama bisa diredam Putin? Kita tidak tahu secara pasti, tetapi Obama si anak menteng bisa tenang untuk sementara karena Netanyahu saja setuju dengan Putin, bukankah artinya pengganyangan dan upaya penggantian rezim Assad menjadi lebih mudah. AS tinggal kirim terus senjata kepada pemberontak sampai senjata konvensional Assad habis apalagi kalau senjata kimia Assad sudah musnah, tentu perjalanan mewujudkan Israel Raya makin mudah.
Dimata sebagian media AS, upaya Putin ini sebagai “buying time”” mengulur waktu, sementara doa para pemberontak Suriah agar bom-bom besar segera di jatuhkan agar khilafah segera terbentuk. Krisis Suriah untuk setengah tahun kedepan nampaknya masih perang urat syaraf ditingkat diplomasi, sementara di darat upaya pembersihan pemberontak akan terus berlangsung.
Perjalanan krisis Suriah akan berpotensi berlanjut tanpa deadline pasti manakala Assad bersikukuh mengajukan pemusnahan senjata kimianya berbarengan dengan senjata nuklir Israel. Israel mempunyai fasilitas nuklir di Dimona, Israel selatan di gurun Negev, Israel sampai saat ini tidak menjadi anggota IAEA dan tidak berada di bawah pengawasannya. Nuklir Israel telah diproduksi sejak tahun 1967 .
Opini akan bergeser dari Assad si manusia kejam menjadi Israel si kepala batu. Mesin propaganda berafiliasi zionis akan gagap karena dipaksa menutupi arsenal nuklir Israel. Kebijakan Israel yang ambigu, tidak mengkonfirmasi dan tidak menyangkal kepemilikan nuklirnya menjadi senjata makan tuan bagi AS, siapa penyebab sebenarnya instabilitas kawasan? Belum lagi dengan suara media pemberontak yang mengatasnamakan Islam khilafah, akankah masih punya legitimasi moral membela Israel sambil memotong kepala leher muslim Sunni di Suriah dengan tanda “label Syiah”.
Jika angin diplomasi Putin terus berhembus pada pertanyaan kredebelitas tatanan Internasional (PBB), maka urusan rezim Assad menjadi urusan antar anggota dewan PBB, yang tentu saja menjadi ajang kompetisi meraih simpati suara publik internasional (semua anggota PBB). Retorika perang akan berubah menjadi retorika yang bisa menjadi benar–benar mencari kebenaran karena langsung menembus jantung tatanan dunia. Memori dunia akan dibangkitkan lagi kenapa Liga Bangsa-Bangsa didirikan, kenapa PBB didirikan, kenapa hanya dengan persetujuan (istimewa) anggota Dewan Keamanan intervensi militer boleh dilakukan, sementara selain negara-negara yang tidak terlibat perang dunia I dan II hanya menjadi penonton. Putin menulis dengan cerdas;
“The United Nations’ founders understood that decisions affecting war and peace should happen only by consensus, and with America’s consent the veto by Security Council permanent members was enshrined in the United Nations Charter. The profound wisdom of this has underpinned the stability of international relations for decades.”
Tentu saja bayangan akan tertuju pada pembongkaran pertanyaan, kenapa semua negara harus mengutuk Hitler demi semata memuluskan jalan bagi pendirian Israel Raya? Jika mayoritas opini dunia tersadarkan secara masal opini semacam ini, maka misteri jawaban Israel sebagai jantungya kejahatan dunia segera terbongkar, pada titik itu titik cerah harapan Palestina bisa merdeka secara penuh bisa terjelaskan. Jika saja hal itu terjadi maka Putin layak dianugerahi pujian pepatah jawa “Wani Ngalah Luhur Wekasane” (berani mengalah untuk sesuatu yang lebih mulia), “menang tanpo ngasorake” (menang tanpa merendahkan lawan). (IRIB Indonesia)
Selasa, 2013 September 17 16:10
Oleh: Muhammad Ma’ruf