Tulisan berikut merupakan seluk beluk memahami ilmu sosial prespektif Islam dari dua pendekatan, Ibnu Khaldun dan Al-Farabi.
Sebagaimana Sosiologi yang berkembang di Barat berbicara tentang masyarakat barat, tentu Sosiologi Islam berusaha menjelaskan masyarakat Islam. Tidak ada Fisika Barat atau Fisika Islam, yang ada hanya Fisika, mungkinkah itu berlaku bagi ilmu sosial.
Membicarakan Ilmu Sosial atau yang dikenal sebagai ilmu Sosiologi dalam Islam, tidak bisa dilepaskan dari Islam sebagai adjektif yang merujuk pada penjelas ilmu sosial, maupun sebagai objek, ketika masyarakat Islam di bicarakan dalam bingkai Ilmu Sosial.
Sebagaimana Sosiologi Barat berbicara tentang teori para Sosiolog Barat membicarakan masyarakarat barat, Sosiologi dalam Islam berusaha membicarakan target minimalnya, berbicara tentang masyarakat Islam dari sudut pandang Islam. Sementara tarjet maksimalnya berbicara tentang fenomena masyarakat umum tanpa atau dengan dua kategori Barat dan Islam. Dalam ilmu Sosiologi secara umum, dikenal memiliki dua pendekatan, makro dan mikro. Makro berambisi membuat pola umum sehingga bisa dipakai untuk menangkap kondisi problem fenomena sosial. Sedang mikro berusaha menangkap realitas sosial dari aspek empiris pernik pernik pengalaman masyarakat.
Tulisan berikut tidak akan berusaha memotret dua fondasi teori Sosiologi tersebut. Tulisan ini mencoba mengangkat aspek kemungkinan ilmu sosial dari prespektif Islam. Dalam Islam, setidaknya terdapat dua pendekatan, pertama pandangan Ibnu Khaldun sebagai bapak sosiologi, dan Al-Farabi sebagai filsuf muslim.
Ilmu Sosial Islam Khaldunian
Penekanan penambahan adjektif Islam dalam ilmu sosial biasanya merujuk pada pemaknaan ilmu “ulumul imron”, atau ilmu organisasi sosial. Sebuah penemuan dari Ibnu Khaldun yang diklaimnya sebagai ilmu baru yang tidak terpengaruh oleh Aristoteles. Ibnu Khaldun melihat Aristoteles dalam buku “Politik”, mencampur adukan segala hal menjadi satu, sehingga menurut Khaldun menjadi buku yang tidak bagus. Sedang Ibnu Khaldun sendiri, mengklaim dirinya mampu berbicara dengan jernih ilmu sosial sebagai ilmu organisasi sosial, yang bersumber dari Filsafat Sosial, teori evolusi sosial, historiagrafi, travelogi, dan peradaban. Khaldun beranggapan, ilmunya semata berkat bantuan Allah.
Ibnu Khaldun banyak menganalisa penyebab keruntuhan Magribi, keseluruhan peradaban Islam dan peradaban pada umumnya. Khaldun beranggapan bahwa banyak dinasti mengalami naik turun disebabkan oleh faktor alam, persaingan, korupsi, dan menandai masa kejayaan daualah hanya sampai pada tiga generasi, setiap generasi berumur 40 tahun. Ketika daulah hancur, tidak semunya mengalami kehancuran, akan ada sesuatu yang mengalami transformasi baru.
Khaldun yakin bahwa ilmu sosial atau yang dikenal dengan ilmu Sosiologi pada masa kontemporer, tidak bisa lepas dari sejarah. Hubungan ilmu sosial dan sejarah seperti satu mata koin dengan dua wajah.
Berbicara Sosiologi artinya berbicara sejarah masyarakat dalam periode tertentu. Dengan bahasa praktis, apa yang disebut ilmu Sosiologi yang dibahas di barat sejak abad 17 hingga 21 adalah Sosiologi masyarakat Prancis, Amerika, Jerman dll. Oleh karenanya jika berbicara ilmu Sosiologi semata yang berkembang di barat, sebagian pemikir beranggapan artinya mengulang apa yang sudah di bahas oleh Sosiolog barat tentang masyarakat barat.
Sama halnya jika berbicara masyarakat Islam dengan terma ilmu Sosiologi Khaldunian, artinya menggunakan ilmu Sosiologi oleh Sosiolog muslim yang bersumber dari Filsafat sosial, historiografi, travelogi, dan peradaban. Dua tokoh sarjana muslim yang senada dengan pendapat Ibnu Khaldun adalah Ali syariati dan Murthada Mutahari. Dua tokoh tersebut memberi penekanan akan pentingya ikatan ilmu sosial dan sejarah. Sedang sarjana kontemporer yang memiliki pendapat senada salah satunya Dr. Jamsidiha.
Manusia secara naluriah membutuhkan orang lain (sosial), dan dalam perjalananya, apa yang dimaksud kehidupan sosial manusia adalah pergerakan dari satu periode menuju periode berikutnya. Mempelajari kehidupan sosial masyarakat artinya mempelajari sejarah masyarakat.
Skema Khaldunian ini memberi tambahan pekerjaan yang cukup menantang, karena ilmu sosial yang selalu berapit dengan sejarah masyarakat. Menandai sejarah masyarakat, artinya menarik hukum dan pola, membicarakan sejarah masyarakat sekarang, pada saat yang sama membicarakan masyarakat ke belakang dan ke depan. Dengan kata lain, dibutuhkan Filsafat Sejarah pada saat yang sama Filsafat Sosial ketika berbicara evolusi masyarakat. Tidak hanya itu, dalam pergerakanya masyarakat, menggunakan daya inderanya untuk menyerap kondisi secara geografis dan kondisi sosial, ekonomi dan politik dan membawa peradaban tertentu dalam dinasti tertentu. Oleh karenanya, dibutuhkan data dari para pencatat (travelog), dan sejarawan.
Mencatat kondisi sosial (ilmu sosial) pada dinasti keemasan Islam, tentunya haruslah bersumber pada para travelog muslim karena kondisi daulah (state) yang kuat memberi kemudahan kepada para pencatat sejarah berbicara dan bernarasi sesuai dengan pandangan internalnya secara lebih baik. Berbeda ketika data diambil dari sejarawan atau Sosiolog barat yang berbicara tentang masyarakat muslim dari sudut pandang barat.
Kelemahan dari pendekatan ini tidak praktis ketika di tuntut berbicara masyarakat kontemporer, karena beban yang harus menyodorkan jawaban analisa historis, untuk bisa menyampaikan maksud jika ingin berbicara tentang masyarakat ideal. Belum lagi kondisi negara-negara muslim yang lemah, sulit untuk bisa independen, lepas dari bayang-bayang pandangan Sosiolog dari negara-negara maju, karena posisi sejarah negara-negara muslim sebagai bekas koloni Barat yang membawa dampak kolonisasi cara berpikir dan karakter pikiran yang di hasilkan.
Ilmu Sosial Farabian
Farabi dalam Madinah alFadilah memberi cukup justifikasi akan pentingya membangun masyarakat yang ideal. Disamping itu jika skema pembagian ilmu Farabi dipakai, maka pembagian ilmu teori dan praktik, memberi alasan tidak perlu ada penambahan adjektif Islam. Karena sosial dan politik masuk kategori ilmu praktik. Seperti halnya praktik fiqih kecil seperti shalat, puasa, zakat dan fiqih besar seperti praktek bernegara yang di dalamnya terdapat dimensi sosial dan politik.
Pendekatan ini memberi alasan untuk menggunaan logika kontinuitas (stream) tanpa banyak terinterupsi pembagian ilmu alam dan ilmu fisika sosial yang menjadi pengganjal ketika berbicara ilmu sosial dalam Islam. Sedang kontinuitas yang dimaksud adalah terjadinya aliran pemahaman pembagian ilmu teori dan praktik sejak Plato dan Aristoteles yang sebangun dengan tradisi filsuf muslim, sejak Farabi, Mulla Sadra, Imam Khomeini, Thabatabai, dan tokoh kontemporer sekarang Dr. Hamid Parsania dan Dr. Bernad.
Skema Farabian ini memberi keleluasaan untuk tidak terlibat terlalu jauh dalam diskursus Filsafat Sosial seperti aspek subjektif dan objektif, realitas yang lebih unggul antara individu dan sosial, evolusi biologi sosial, dll.
Garis kontinuitas ini memberi adopsi yang sangat kuat bagi skema teori dan praktek Plato dan Aristoteles, tanpa harus berbicara banyak tentang sejarah ketika berbicara ilmu sosial. Bahkan dalam skema Imam Khomeini, menurut peneliti irfan Imam Khomeini, Dr. Bernad mengatakan teori Imam Khomeini memberi penekanan langsung pada aspek operasi keadilan tanpa harus dibebani menjelaskan rumpun ilmu sosial dan politik.
Imam Khomeni membagi ilmu pokok menjadi teologi filosofis (bukan pada teologi kalam), ilmu sosial dan politik melalui pelaksanaan keadilan dengan fokus praktik syariat. Dengan kata lain, seolah kita bisa menyimpulkan, tidak perlu membuat ilmu sosial Islam karena pelaksanaan keadilan adalah bagian kewajiban syariat yang memiliki dimensi sosial dan politik.
Bernad, ilmuan Prancis dalam sebuah diskusi bersama penulis mengatakan, banyak pengetahuan tidak bisa di bahas oleh Sains. Artinya Sains bukanlah faktor utama untuk bisa menjelaskan segala bentuk pengetahuan. Termasuk disiplin ilmu sosial dan politik bisa dipahami ketika proses pelaksanaan keadilan sedang diupayakan dan berjalan. Terkadang jalanya kondisi sosial politik dalam negara bergerak tanpa harus dibebani payung ilmu nadhori (teori).
Pendekatan Khaldunian dan Farabian
Baik Khaldunian maupun Farabian meski memiliki konsekuensi penjelasan dan pendekatan masing-masing, keduanya bisa dipahami sebagai dua jalan memahami ilmu sosial dalam Islam. Khaldunian memberi porsi pekerjaan rumah riset yang mendalam dan ektensif, karena mengolah data dari travelog, sejarawan, Filsafat Sosial, Filsafat Sejarah dan peradaban. Dalam skema Khaldunian, peradaban dan negara selalu menyatu, tidak ada peradaban tanpa negara. Isi peradaban adalah, industri (kerajinan), sains, sistem sosial, kota, ekonomi dan produksi. Negara terbentuk baik karena kekuatan dan sukarela. Peradaban berposisi netral.
Sedang implikasi Farabian, memberi penekanan pada skema kontuinitas dan konsekuensi ilmu teori dan praktik. Ilmu sosial dan politik lebih berada dalam rumah praktis (amaliyat), dan dibutuhkan “will” untuk melakukan evolusi sosial.
Keduanya memberi peluang yang besar untuk melakukan kritik ilmu sosial barat (Sosiologi Barat) baik yang berkiblat pada positifis maupun humanisme Prancis sebagai fondasi. Lebih dari itu, urgensinya, jalan Farabian dan Khaldunian memberi kesempatan untuk berbicara masyarakat Islam dari sudut pandang Islam. Sisi universalnya diharapakan dapat berdialog dan sharing dengan sudut pandang sosiologi barat, berkontribusi pada ilmu sosiologi kontemporer untuk dapat membaca fenomena kontemporer yang multi dimensi. (Oleh Muhammad Ma’ruf, Peneliti Pemikiran Barat dan Islam)