Mishbah Yazdi di Mata Muhsin

“Kalau diperhatikan, semua masalah: benar-salah, baik-buruk, sempurna-tidak sempurna  itu muaranya adalah proses identifikasi ada dan tidak ada.”

Merapikan Filsafat Islam

Mengenal sosok dari dekat pemikiran filsuf muslim adalah pengalaman yang menarik, salah satunya adalah sosok Ayatullah M.T. Misbah Yazdi, seorang ulama sekaligus profesor filsafat yang masih hidup hingga kini. Salah seorang akademisi dan pernah nyantri di Qom, Muhsin Labib telah berhasil meneliti pemikiran Taqi untuk merampungkan gelar doktornya di UIN Syarif hidayatulllah Jakarta.

Hasil desertasinya kini menjadi buku dengan judul Pemikiran Filsafat Ayatullah M.T. Taqi Misbah Yazdi terbitan Sadra Press, dan menjadi bacaan mahasiswa Islamic College-Paramadina selain karya terjemahan karya asli Taqi Sendiri. Saya bersyukur mendapat kesempatan mendengar pengalaman langsung dari Muhsin Labib tentang sejarah penulisan buku beliau.  Bagi saya pemikiran Taqi masih menjadi teka-teki pembuka tabir pemikiran Sadra.

Saya harus mati-matian memahaminya bersama teman-teman yang lainya dengan disiplin suasana “ala Sokrates” yang dikomandoi Musa Kazim dalam kelas setiap hari Sabtu. Pemikiran filsafat Islam Taqi menarik bagi Muhsin Labib karena beberapa hal, pertama beliau sebagai salah satu murid dari Thabathabai, sedangkan Thabathabai adalah representasi mazhab Qom atau Sadraian. Selain itu kata Muhsin, ada juga sub-sub mazhab Sadraianseperti Jawadi Amuli, Jafar Subhani, Hasan Zadeh, Jawadi Amuli, Makarim Shirazidan Hairi Yazdi. Bagi Muhsin sosok Taqi Misbah Yazdi punya kelebihan sendiri, jika dibandingkan dengan Hossein Nasr yang menjadi penafsir filsafat Sadra di dunia Barat.Taqi menjadi representasi sosok reformis dalam pengajaran filsafat terutama di Qom. Ia juga berbeda dengan Jawadi Amoli yang lebih mewakili kubu konservatif, yang cenderung membela Sadra. Sosok Taqi dalam memahami Sadra lebih kritis dan cenderung semi peripatetik. Alasan kedua bagi Muhsin, Taqi tidak saja ulama tapi juga tokoh pendidikan.

Beliau menggagas filsafat sekaligus mengkritik kurikulum sistem pengajaran di Qom yang menurut beliau kaku. Taqi menitikberatkan pada penguatan metodologi denganmenawarkanmetodologi pengajaran filsafat baru  (Manhaj al-Jadid fi Taklim al-falsafah/Amouzesh Falsafeh) yang menebarkanide-ide barunya terutama epistemologi. Thabathabai tidak meletakan epistemologi dalam filsafat Sadra, karena konsisten “filsafat” hanya membahas wujud. Tapi menurut Taqi, filsafat tanpa memperjelas epistemologi dan metodologinya akan kesulitan dalam memahaminya. Banyak istilah-istilah filsafat yang perlu diklarifikasi terutama bagi para pemula dan para peminat filsafat yang pikiranya terpengaruh oleh pemikiran Barat.

Taqi adalah seorang pemikir sekaligus seorang praktisi pendidikan, dia mendirikan lembaga pendidikan dan riset Imam Khomeini, sebuah perpaduan antara tradisihauzah dan universitas modern dengan lebih menitikberatkan pada metodologi. Muhsin meneliti Taqi pada fase kiprahnya sebagai profesor filsafat, sedangkan sekarang beliau sudah tidak mengajar filsafat. Taqi dalam fase sekarang lebih menggeluti etika dan pengabdian pada masyarakat. Dia tetap penganut Hikmah Mutaaliyah, dia bukanlah pencipta mazhab baru, tetap sebagai pendukung prinsip-prinsip Hikmah Muta’aliyah yang berdiri diatas 3 isu utama; Ashalatal-Wujud, Tashqiqal-Wujud, dan al-Haraqah al-Jauhariyah.Tetapi dalam detil-detilnya dia lebih mewakili  pandangan peripatetik, lebih mementingkan struktur pengetahuan.

Sekilas memang, kata Muhsin, menafsir cara berpikir Taqi dalam modus berpikir “aku berpikir aku ada” itu penting, tetapi untuk kepentingan kurikulum dan metode pengajaran, mestinya “ada” harus ada terlebih dahulu baru kemudian berpikir secara ontologi. Bagaimana menjelaskan “ada” kalau tidak ada pengetahuan, hal ini memang berbeda dengan Sadra bahwa pengetahuan itu tidak bisa terpisahkan dari entitas abstrak. Kalau kita belajar filsafat Sadra, ada satu tahapan Wujud al-Aql(intelektus), pengetahuan yang sifatnya ontologis, bukan pengetahuan representatif, tapi Taqi menggunakan pendekatan peripatetik, sebelum kita bisa mendudukan sarana dan kedudukan pengetahuan, maka kita akan kesulitan untuk mendudukan persoalan filsafat terutama dalam sistem pengajaran. Bagi Mulla Sadra, tema pertama itu ontologi bukan epistemologi akan tetapi menurut Taqi epistemologi setelah itu baru ontologi. Epistemologi penting menurut Taqi karena orang banyak tidak bisa membedakan misalnya mafhum dengan Ma’qulat, universalia dalam wujud dll. Karena setidaknya menurut pendapat mazhab qum, yang dimaksud dengan filsafat itu metafisika atau ontologi, bahkan Taqi sendiri percaya aksiologi, epistemologi itu bukan filsafat, tapi epistemologi sangat urgenuntuk memahami ontologi.

Meskipun Ilmu hudhuri itu ilmu eksistensial tapi dia berangkat berkat dukungan pada “Ashalatul Wujud” dan dia tidak bisa mengabaikan aspek ilmu hushuli sebagai penjelas, yang pada akhirnya tunduk juga pada rezim epistemologi. Dahulu ketika para pelajar Qom belajar filsafat dengan cara berjenjang, dari satu kitab menuju kitab berikutnya, oleh Taqi, pengajaran filsafat menjadi pertema dan bisa diukur dengan SKS  dan tema bisa “di-breakdown” menjadi tema yang paling dasar. Beliau juga mendorong dan membuka jalan bagi pemikir-pemiki muda untuk lebih berani melakukan kritik. Cara Memandang Dinamika Tokoh dan Masyarakat Syiah Bila dibandingkan latar belakang sejarah Taqi dengan sosok Muthahhari, maka terjadi beberapa perbedaan generasi dan tantangan  hidup.

Mutahari hidup  pada masa revolusi, tema kapitalisme, sosialiame dan marxisme mengemuka sehingga fisafat ditanganya digunakan untuk “mencounter” wacana yang berkembang saat itu yang pada saat itu masyarakat belum terbentuk. Sedangkan Taqi hidup pasca revolusi, lebih banyak bicara tentang toleransi, feminisme, posmodernisme karena masalah–masalah itu yang itu yang berkembang setelah masyarakat terbentuk, sehinggaTaqi mempunyai banyak waktu untuk mencoba merapikan filsafat. Dalam hal teologi, Taqi berpendapat teologi bagian dari filsafat(ontologi filosofis), ayat-ayat kitab suci diletakkan sebagai pendukung, bukan pertama, asumsinya beliau sudah melewati ontologi. Ada perbedaan antara mutakalim dengan para filsuf, kalau mutakalim itu menganggap tema wujud itu bukan tema yang harus diklarifikasi, jadi langsung membahas Tuhan, sementara filsuf menganggap kalau permasalahan wujud tidak diklarifikasi maka persoalan Tuhan juga bermasalah. Muhsin memperingatkan, kita harus jeli melihat pemikiran para filsuf muslim ahlul bayt yang sekaligus sebagai seorang ulama, adakalanya filsuf berlaku sebagai pembinbing umat adakalanya dia murni sebagaia seorang filsuf. Saat seorang filsuf seperti Mutahari dan Taqi Misbah sebagai filsuf dia akan menggunakan pendekatan filosofis yang tunduk pada kaidah-kaidah penalaran spekulatif dan tidak menggunakan tek kitab suci sebagai aksioma, saat berkepentingan mengarahkan umat , mereka berlaku sebagai ulama.

Muthahhari dalam kuliah-kuliahnya yang tidak diterjemahkan kedalam bahasa lain berlaku sebagai filsuf eksistensialisme Sadra, buku-buku yang sampai pada kita sering hanya melihat Muthahhari berbicara tentang masyarakat, sejarah yang sebenarnya itu menjadi tema-tema khusus kalau dipandang dari filsafat. Dalam pandangan Muhsin Labib, kalau mau konsisten sebenarnya kalau kita berbicara filsafat mestinya kita hanya bicara soal wujud. Kalau diturunkan menjadi tema-tema khusus itu menjadi intepretasi dan menjadi filsafat praktis, sedangkan filsafat yang diajarkan di Qom adalah filsafat yang membahas  filsafat teoritis misalnya tentang wujud. Terjadi fenomena dalam masyarakat syiah, karena imbas dari para ulama syiah yang juga seorang filsuf berpengaruh pada pada karakter pola pikir masyarakatnya.

Tipologi masyarakat syiah itu bisa dilihat misalnya dalam  aqidah, ada yang bernuansa kalam, irfani, mistik, politik, dan seringkali fenomena syiah seperti ini sering disalah mengerti. Syiah bisa dilihat dari berbagai sudut pandang, seperti dalam karya-karya para tokohnya, terkadang mereka sebagai seorang filsuf, terkadang sebagai mutakallim, tetapi diantara muatakalim atau ulama ditemukan oleh isu yang sama.

Salah satu contoh salah paham dalam melihat syiah adalah kasus pembakaran pondok pesantren Tajul di sampang hingga tuntutan pengadilan. Seperti dalam surat dakwaan disebutkan bahwa Tajul sesat karena mengajarkan aqidah yang sesat, yaitu mengajarkan umat dengan membangun aqidah yang berbeda dengan dengan rukun Iman pada masyarakat umum. Tema-tema ushuludin dalam syiah yang biasa dikaji di UIN seperti; Tauhid, Nubuwah, Adalah, Imamah, Maad, Qadha,dan Qadardianggap sesat. Sedangkan yang tidak sesat seperti yang diketahui dalam masyarakat umum yaitu; iman pada Allah, rasul, kitab dan hari akhir. Menurut  Muhsin Labib, orang sering menganggap sesat dan beda itu sama, siapa saja yang berbeda berarti sesat. Pemaknaan sesat itu sudah mengalami reduksi. Sebenarnya itu bukan masalah filosofis, masalah logis saja, mereka kurang beruntung tidak bisa membedakan apa itu sesat apa itu beda.

Cara padang atau parameter untuk menghakimi sesat itu yang harus dijelaskan, orang syiah tidak perlu mendapatkan legitimasi bahwa  syiah itu benar tidak sesat dari kelompok yang menyesatkan syiah. Kita ini hidup di negara majemuk, kalau yang dianggap berbeda ini sesat maka itu ancaman yang serius terhadap kebinekaan. Kualitas keberimanan kita dipengaruhi oleh posisi kita dalam memandang wujud, misalnya ungkapan orang awam yang mengatakan kalau terkena bencana ya itu karena yang diatas, berarti itukan mempersepsikan Tuhan lagi diatas dan mengawasi kita, menempati ruang tertentu, padahal Tuhan tidak menempati ruang dan waktu, Tuhan tidak bisa dipredikasi terhadap semua maujud yang terbatas,  secara filosofis itu bermasalah, pemahaman seperti ini penting kalau tidak penting kenapa menjadi persoalan dalam masyarakat. Kualitas pemahaman ini sangat berpengaruh terhadap pemaknaan tauhid, bukan hanya pada Tuhan, akan tetapi juga dalam memandang agama, masyarakat, dan berpengaruh pada perilaku. Dalam tradisi ahlul bait, filsafat itu menjelaskan atau menguraikan penjelasan para Imam maksum.

Ketika Imam Ali ditanya apakah kamu menyembah Tuhan dan dimana Tuhan berada, lalu Imam menjawab, dia yang menciptakan dimana? Dia ada sebelum dimana, andaikan berada berarti Tuhan lebih dahulu menciptakan, apabila ada tempat sebelum Tuhan atau Tuhan berada di suatu tempat berarti Tuhan bukan Tuhan lagi. Tuhan tidak menempati ruang dan waktu, orang sering keliru sesuatu yang tidak ada sering kita anggap ada. Kesadaran ada dan tidak ada itu ada dalam bawah sadar kita, karena kesadaran itu paling primordial, akan tetapi kita sering tidak menyadarinya. Kalau diperhatikan,  semua masalah; benar- salah, baik-buruk, sempurna-tidak sempurna  itu muaranya adalah proses identifikasi ada dan tidak ada. Filsafat membicarakan persoalan yang paling primordial itu. Terkadang kita tidak sadar terperangkap dalam kerangkeng “apa”,”benda”, kita diajak untuk melakukan Tajrid(abtraksi).Tema filsafat itu sebenarnya sedikit, tetapi untuk mengenal wujud itu diperlukan penjelasan “jlimet”. Kontribusi nyata Taqi adalah menyempurnakan filsafat Sadra sehingga bisa diajarkan,dan akhirnya dipahami dan setelah dipahami bisa di-breakdown, dan menjadi teori-teori yang bisa berguna bagi masyarakat.

Taqi menjembatani filsafat dan ilmu-ilmu praktis bisa harmoni, fisafat itu transenden, tetapi Muhsin tidak mendukung filsafat dibumikan, karena wilayahnya universal(abstrak), why? sedang ilmu praktis itu partikular(how), akan tetapi bisa diharmoniskan. Satu pengalaman rendah hati dari sosok Taqi yang masih membekas dalam ingatan Muhsin adalah ketika bertemu dan diperkenalkan, Ayatullah M.T. Mishbah Yazdi mengatakan,” Kenapa anda jauh-jauh dari negara lain hanya untuk meneliti karya saya, tidak ada yang istimewa dari karya saya untuk disertasi doktor anda, apa tidak pekerjaan yang lebih berguna selain itu?