I see, therefore I find

I see, therefore I find

Catatan hari adalah perkataan Taha Abdulrrahman. Seorang pemikir Maroko, dibesarkan diligkungan Universitas Sorbone Prancis. Satu kelas dengan Ali Syariati, Jabiri, Hanafi dan Hasan Turobi.

Taha menyangkal perkataan Decartes “I think therefore  I am”.  Menurutunya, pernyataan itu sebentuk solipsisme dunia barat (fondasi pola berpikir modern barat), semuanya datang menuju diri “Aku yang berpikir”. Tidak ada modus dalam “diri” selain berpikir dan diluar diri Aku. Sebuah pernyataan seperti menutup pintu selain Aku. Aku kognitif subtansial.

Taha menawarkan “I see therefore, I find it”. Atau lihatlah dengan “basirohmu” maka kamu akan menemukan. “See” dengan koginitif dan intuisi dalam wadah jiwa. Melihat tidak hanya dibatasi Aku yang melihat tapi membuka jendela lain untuk melihat, dan setelah melihat, kita akan menemukan segala tanda yang berserak dalam “diri manusia”,  “diri sosial” dan “diri alam semesta”.

Modern bentukan barat Decartes inilah yang khas milik barat. Tapi ruh hadazah (ruh modernitas) adalah rasionalitas milik setiap manusia yang tercerahkan. Prototype manusia tercerahkan adalah memahami degan akal, menjalankan dengan syariat (hukum) dan melihat (intuisi). Dia menawarkan melihat dengan holisisme, pola berpikir menyeluruh, interpolarilation, makna hanya bisa dipahami dengan melihat hubungan dengan yang lain (relasi). Ia tidak bisa berdiri sendiri.

Pola melihat ini terangkum dalam skema berikut;

Exam, the theoretical knowledge

=================

Maklumat nazhori

==================

Maklumat badihiyat         2 x 2

==================

Zihni———————————–

==================

Nafsi

Tidak seperti Jabiri  yang terpengaruh  al-Arwi an dal-khatiwbi yang menggunakan methodological oposition, Taha menawarkan methodological interaction.  Expresi, argumentasi dan mistisisme, berinteraksi satu sama lain, dan dioperasionalkan dengan epistimologi holisisme (F. De Soussere).

Taha meski seorang Asyariah, tapi lebih terkenal sebagai seorang new asyariah karena menganggap akal tidak bisa berdiri sendiri sebagaimana Mu’tazilah yang menganggap akal mandiri.