Sesungguhnya Kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan membawa bukti yang nyata, dan telah Kami turunkan bersama mereka Al-Kitab dan neraca (keadilan) supaya manusia dapat mengakkan keadilan (QS 57; 25)
Muthahhari dalam buku Inna ad –Din ‘inda Allah al-Islam, mengawali dengan ayat Al-Quran (QS 57; 25) untuk membangun argumentasi definisi keadilan dan sanggahan relatifitas keadilan. Pada bagian akhir tulisan, beliau menyimpulkan;
“Dasar keadilan adalah hak-hak nyata dan punya realitas. Keadilan bukanlah persamaan. Keadilan juga bukan keseimbangan yang tidak bertumpu pada hak. Akan tetapi keadilan bertumpu pada hak yang mempunyai realitas dan fitrah. Individu mempunyai hak, masyarakat juga mempunyai hak. Keadilan berawal dari usaha memberi hak pada individu yang memang berhak menerimanya. Keadilan berarti menjaga dan memelihara hak-hak itu. Karena itu pada setiap zaman keadilan adalah suatu realitas yang tidak lebih dari satu. Pernyataan keadilan adalah i’tibari adalah salah belaka.”
Muthahhari berpendapat, keadilan berarti keseimbangan dalam masyarakat. Tercipta dengan cara menjaga hak-hak individu dan masyarakat. Hak dan kewajiban individu dan masyarakat bersifat timbal balik. Hanya saja hak tidaklah bersifat timbal balik bagi Allah. Karena hak yang dimiliki Allah atas mahkluknya berbeda dari hak yang dimiliki seseorang atas orang lain. Tidak ada seorangpun punya hak atas Allah, sedangkan manusia hanya mempunyai kewajiban dan tanggung jawab pada Allah.
Imam Ali berkata, sekiranya ada zat yang hanya berlaku haknya atas orang lain, dan tidak punya kewajiban pada orang lain, maka zat itu hanya Allah (Najh al-Balaghah 214). Imam Ali juga mengatakan, sebagai pemimpin kalian, aku punya hak atas kalian, begitu juga sebagai rakyat, kalian punya hak atas diriku. (Najh al-Balaghah, khutbah 214).
Olehkarena itu, salah jika dikatakan hanya pemipin sajalah yang memiliki hak atas rakyat. Menurut Imam Ali, hukum bersifat universal mencakup pemimpin dan rakyat. Hukum bersifat timbal balik dan dua arah. Urusan pemimpin tidak akan terlaksana tanpa keteguhan rakyat, dan urusan rakyat tidak akan terlaksana tanpa keteguhan pemimpin.
Individu dan Masyarakat
Berkenaan dengan relasi individu dan mayarakat, Muthahhari berpendapat bahwa relasi antara individu dan masyarakat dekat dengan pengertian asimilasi bukan kombinasi. Kombinasi memiliki pengertian kumpulan beberapa hal yang diletakkan satu disamping lainya, tidak lebih dari itu. Seperti campuran kacang kedelai dan kacang adas, keduanya tetap dalam keadaan masing-masing meski dicampur. Seperti halnya udara, campuran antara oksigen dan ozon.
Namun berbeda dengan pengertian asimilasi, jika dua atau tiga unsur berbeda dicampur maka hasilnya saling mendekat dan memberi pengaruh sehingga menghasilkan unsur baru, menjadi perpaduan unsur kedua dan ketiga. Seperti juga air merupakan senyawa dua unsur gas, oksigen dan hidrogen yang melahirkan unsur yang berbeda dari dua unsur asalnya.
Analogi lain, seperti ribuan batu dalam posisi saling berdekatan di padang pasir selama ratusan tahun, batu-batu tersebut tidak akan saling mempengaruhi. Begitu juga dengan ketika kita menanam ribuan pohon di hutan. Masing-masing pohon-pohon itu hanya berurusan dengan air, udara dan cahaya. Sementara manusia dan masyarakat memiliki emosi, keyakinan dan pikiran yang saling mengambil kepribadian satu sama lain. Masyarakat bukan hanya campuran melainkan asimilasi yang kuat sebagaimana air. Individu dan masyarakat saling mempengaruhi.
Hakekat sebuah kumpulan yang disebut masyarakat itu adalah satu. Masyarakat punya umur dan ruh. Masyarakat juga memiliki kepribadian. Al-Quran mengatakan; Tiap-tiap umat mempunya ajal. Bila telah datang ajalnya, maka mereka tidak akan mengendurkanya barang sesaatpun dan juga tidak memajukanya barang sesaatpun. (QS; 7;340)
Dengan demikian terdapat hubungan yang bersifat alamiah antara individu, masyarakat, hak dan kewajiban, pemenuhan keadilan yang bertumpu pada hak yang mempunyai realitas dan fitrah. Basis keadilan yang diperjuangkan dalam Islam tidak bertumpu pada fokus realitas individu (individualisme dalam liberalisme), sehingga masyarakat yang bersifat iktibariyah hanya kumpulan individu. Juga bukan fokus pada masyarakat sebagai realitas hakiki (komunisme) dengan menafikkan realitas individu.
Islam menganggap baik individu dan masyarakat sebagai realitas hakiki bukan iktibari, keduanya saling mempengaruhi dibawah relasi dengan Tuhan sebagi sumber fitrah. Pemenuhan hak dan kewajiban timbal balik antara individu dengan individu, individu dengan masyarakat, masyarakat dengan masyarakat, individu dengan pemimpin, masyarakat dengan pemimpin-semuanya dalam rangka menjalankan kewajiban kepada Allah. Baik individu dan masyarakat, mau tidak mau, dalam gerak sejarahnya kembali kepada Allah. Semakin sempurna pergerakanya maka semakin bertauhid.
Hak dan kewajiban individu dan masyarakat serta pemenuhan keadilan di dunia berkaitan erat dengan kehidupan akherat. Maka dapat disimpulkan bahwa baik liberalisme dan komunisme, dapat beririsan dengan Islam sejauh terpenuhinya keadilan di dunia, meski pandangan dunia kedunya saling menafikan. Akan tetapi pemikiran Islam jauh lebih maju dalam usaha pemenuhan keadilan di dunia, karena berbasis pada timbangan keadilan akherat. Keadilan itu satu, ditopang oleh realitas hak dan kewajiban individu dan masyarakat yang hakiki sesuai dengan fitrahnya.