Film Sukarno, Perspektif Air Mata

Jika pengamatan saya diteruskan kurang lebih akan terus mengikuti alur air mata Rachmawati, putri Sukarno. Saya akan jadi makin paham, kenapa setengah karung kecil berisi DP 200 juta dalam bentuk puluhan ribu dikembalikan ke Rampunjabi.

Saya tidak tahu sudah berapa hari film Sukarno telah ditayangkan di bioskop. Sengaja saya tidak mengikuti perkembangan proses pra-tayang, riset, promo, termasuk ketegangan Ibu Rachmawati mewakili Yayasan Pendidikan Soekarno (YPS) dengan Raam Punjabi selaku pemilik PT. Tripar Multivision Plus (TMV).

Sengaja saya niatkan menonton film Sukarno sebagai produk estetika lengkap dengan plus minusnya. Secara sengaja pula saya hanya ingin fokus melihat dengan mata dan mendengar dengan telinga saya tanpa terganggu dengan informasi apapun tentang film itu.

Senin, 16/12/013, saya sudah menyaksikan film Sukarno itu. Apa yang saya rasakan, saat saya melihat dan  mengikuti film Sukarno, seorang lelaki tua di samping saya, kira-kira berumur 70 tahun, hampir setiap 1 menit sesenggukan dan mengucap lamat-lamat, Sukarno di buang, Sukarno cinta sekali dengan Inggit, Syahrir gegabah. Saya menduga laki-laki tua disebelah saya pecinta Sukarno tulen makanya terbawa sekali dalam film Sukarno.

Saya terkesan dengan cara lelaki tua melihat film hingga saya tidak terlalu fokus dengan film Sukarno sendiri. Jika ditanya apa kesan saya sendiri, saya sulit berkata  bohong untuk tidak mengatakan saya senang, air mata saya juga sesekali jatuh, tapi ada yang aneh dengan perasaan saya. Mungkin menggantung.

Perasaan aneh itu kemudian saya selidiki dan ada juga faktor kepentingan pribadi saya untuk tahu lebih kenapa putri bung Karno Rachmawati menangis. Mulailah saya melakukan riset-riset kecil-kecilan di internet; berita film di youtube, berita entertainmen, laman film Sukarno, dan Yayasan Pendidikan Sukarno. Awalnya saya ingin mencari-cari pembenaran kenapa Rachmawati menangis, bukannya senang bapakya difilmkan dan dilihat ribuan rakyat Indonesia generasi sekarang. Ternyata.. sedikit ada beberapa kesamaan kecondongan dalam hati saya tentang  kesan saya tentang film Sukarno dan tangisan Rahmawati.

Media mengekpos, Rachmawati tidak suka Bayu memerankan bapaknya karena tidak nasionalis, Rachmawati tidak suka ayahnya ditayangkan kencing, dan air kencingnya kemana-mana,  Rachmawati tidak suka Sukarno ditampar dan dipopor senjata tentara Jepang dan jatuh meski di film yang sudah tayang tidak ada. Kesamaan keberatan saya dan Rachmawati adalah pada adegan Sukarno kencing. Bahasa Rachmawati ini pelecehan dan penurun martabat kebesaran Sukarno.

Tidak hanya berhenti disitu, setelah saya melihat sinopsis di laman film sukarno saya menemukan  jawaban keanehan hati saya, apa itu?. Dua pokok penarikan kesimpulan Hanung dengan timnya, yaitu ekplorasi dramatik persoalan pilihan politik dan persoalan pilihan naluri cinta. Dua sisi kemanusiaan Sukarno, memilih bekerjasama dengan Jepang dan memilih cintanya pada Fatma. Pilihan Sukarno bekerjasama dengan Jepang karena Sukarno tidak suka pertumpahan darah rakyat dan tidak suka melihat darah Fatma saat melahirkan. Dua adegan yang sudah disiapkan dengan cermat oleh Hanung.

Pada sisi pilihan politik Sukarno ini, jutaan orang akan setuju, menolaknya sama saja dengan mengingkari kenikmatan kemerdekaan. Akan tetapi pilihan Hanung memilih adegan Sukarno memilih Fatma, sama saja membenarkan Sukarno menyakiti Inggit, kata Sukarno, “Aku tidak ingin menceraikanmu Inggit, kau sudah banyak berkorban untuku, dan bangsa ini, kemudian dipotong dengan cepat oleh Inggit, “dan kau merasa tidak cukup”. Pada adegan melankolik ini tak aneh jika Hanung memilih Maudi, si cantik nan lembut semampai, siapa yang tak tersentuh dengan aktingnya memainkan Zainab dalam si Dol anak Betawi.

Masukan untuk Hanung

Sedikit masukanku untuk Hanung adalah terlalu menaikkan kecantikan Inggit ke dalam film, menurut saya Inggit yang asli tidak secantik Maudi. Ini bukan masalah selera penonton, tetapi Hanung tidak percaya diri untuk mengekplorasi kecantikan dalam Inggit meski sudah ada dan menggantungkan kecantikan luarnya pada Maudi dengan menampilkan adegan Inggit yang emosional mendorong Sukarno dan pergi meninggalkan Sukarno.

Adegan Inggit berkorban dengan hartanya untuk seorang yang dicintainya tidak cukup, hemat saya harus ada adegan  yang mengeskplorasi Inggit mencintai rakyat yang lain. Dalam hal ini Maudi sebagai artis tidak salah memiliki wajah cantik. Hanya saja penonton diajak mensyukuri melankolia kenikmatan wujud fisik Maudi seperti sinetron Ram Punjabi bukan format layar lebar.  Bukankah kebesaran Sukarno harus ditangkap secara keseluruhan dengan format layar lebar bukan Sinetron. Lalu pertanyaan mendasar lain, apa hubunganya keputusan memilih adegan Sukarno memilih Fatma dengan kebesaran Sukarno?. Kalau itu dianggap sisi manusiawi Sukarno apa itu bagus buat pendidikan anak bangsa, para guru akan protes. Pesanya akan berbunyi begini, ini lo Presiden Sukarno bapak bangsa, memilih naluri cinta gadis 15 tahun bukan cinta Inggit yang rela berkorban untuk rakyat dan Suami.

Hanung tidak jeli memilih fakta sejarah untuk pendidikan dan memilih fakta sejarah untuk kepentingan estetika beserta komersialnya. Dalam hal ini Hanung mestinya menaikan sedikit selera estetikanya, karena estetika yang berkualitas mestinya mengarah pada non materi. Siasat kemas-mengemas film sebagai jimat Hanung-berkualitas dan laku- dari sudut ini hemat saya agak gagal.

Masukan lain  adalah melupakan sisi kemanusiaan Sukarno yang lain dan sisi itu bernama keindahan kedekatan Sukarno pada penderitaan rakyat. Bagaimana kelembutan hati Sukarno mampu melelehkan air mata rakyat dan rakyat rela berkorban untuk sang pemimpin. Hanung hanya mengandalkan pidato yang membius, kalau soal ini, bukankah penonton sudah tahu sebelum lihat film ini.

Hanung sengaja lupa mengekplorasi lebih jauh adegan Sukarno dengan petani, dan melalui petani ini muncul ide Marhenisme. Penonton generasi penerus Sukarno menunggu apa itu Marheinisme dalam format layar lebar. Pilihan ini  mungkin tidak masuk budget Ram Punjabi, karena tidak bisa menyedot banyak penonton. Dalam hal ini tangisan Rachmawati memperoleh jawaban, pelecehan dan penurunan kebesaran Sukarno terbukti salah satunya pada di titik ini.

Tangisan Rachmawati yang lain yang genting adalah soal adegan kencing Sukarno dimana-mana. Dari sisi ekplorasi kemanusiaan, bahwa Sukarno sang pemimpin besar yang juga kencing di penjara. Apa adegan ini memperkuat kebesaran Sukarno? Jika alasanya estetika realisme, terlalu banyak kehidupan Sukarno selain kencing. Bukanya kencing itu urusan prifat. Ghandi, Kennedy juga kencing, tapi apa itu dipilih sang Sutradara hebat. Kalau urusan mengkomersialkan urusan pribadi manusia Hollywood jagonya. Tapi  penonton sudah terlalu biasa melihat adegan ciuman, adegan di ranjang, buka baju dan sederet estetita erostisme. Di awal film kita sudah tahu, ketika melihat adegan Sukarno akan mencium gadis Belanda.

Jika penonton sedikit jeli akan tahu kemana film ini akan dibawa. Kurang lebih dibawa ke suasana dan selera Bollywood anak kandung Hollywood. Ingat kata Sukarno, independensi budaya, selera semestinya juga harus independen. Hanung lupa Sukarno itu benci imperialisme, benci kejahatan, bukankah adegan keinginan masa kecil Sukarno mencium gadis Belanda simbol kepalsuan ketidakmampuan Sukarno menahan nafsu dan dilampiaskan masa perkembangan inteletualnya menuju dewasanya dengan pidato agitatifnya terhadap Belanda. Boleh saja ini dianggap tafsir pribadi, tetapi bawah sadar penonton (terkontrol) ke arah sisi itu secara masal.  Poin ini Hanung tidak Pede membawa  sisi intelektual Sukarno ke lapis estetika, mungkin penyebab rendah diri Hanung karena intimidasi dirinya sendiri bahwa adegan intelektual tidak akan mampu membius penonton.

Jika pengamatan saya diteruskan kurang lebih akan terus mengikuti alur air mata Rachmawati, putri Sukarno. Saya akan jadi makin paham, kenapa setengah karung kecil berisi DP 200 juta dalam bentuk puluhan ribu dikembalikan ke Rampunjabi.

Air mata saya juga akan sebentar bergabung dengan Rachmawati kenapa beliau berkata, Ram seorang plagiat, Ram penipu, Hanung penipu, poster-poster yang diusung puluhan orang ‘Ram Punjabi & Hanung Bramantyo Antek-Antek Kapitalis’, ‘Jangan Lecehkan Bapak Bangsa’, dan ‘Anak Bangsa Cinta Bung Karno’. Antek kapitalis, mereka hanya mementingkan uang bukan idealisme Sukarno.

Tetapi air mata saya juga sedikit terobati, tentu saja Ram juga manusia, uang itu harus dikembalikan dengan layak pinta Ram. Kata Ram, saya sudah membuat 175 film, dan Hanung 25 film, mencoba memahamkan Rachmatwati  soal profesionalisme membuat film.

Hanung mengklarifikasi lewat lamanya “Film ini bertujuan menginspirasi generasi muda, dan semata-mata untuk tujuan pendidikan. Karena itu seharusnya yang membiayai film ini adalah negara dan tidak membutuhkan profit. Tapi film ini dibiayai swasta maka yang terjadi adalah bisnis, usaha menawarkan pemerintah membiayai film ini juga sudah dilakukan. Karena ternyata, pemerintah memiliki anggaran khusus, yaitu insentif untuk membiayai film-film pahlawan sebesar 10 milyar.”

Rachmawati berkata, harusnya fillm ini sebanding dengan nama besar Sukarno, bukan low budget, midle budget, tapi harus 1 trilyun. Ya.. memang kalau urusan budget saya setuju, biopik Sukarno harus senilai 1 trilyun mungkin untuk menyindir Ram,  ukuran yang tidak kecil jika dibandingkan budget film-film Ram tentunya. Tapi 1 trilyun itu tidak ada apa-apanya dibandingkan kekayaaan alam Indoensia, APBN zaman Suharto, Habibie, Megawati, Gus Dur dan SBY. Makin sedih lagi kalau mengingat jumlah hasil pencurian kas negara seperti Century. Bukankah kekayaan itu salah satunya hasil dari perjuangan darah dan air mata Sukarno bersama rakyat tercinta. Kenapa dari zaman Suharto hingga sekarang film Sukarno bisa terwujud berkat Ram dan Hanung bukan inisiatif presiden, DPR, para calon presiden yang kaya-kaya itu.

Dop (Direcor of Photography) film Sukarno, Fauzan Rizal berkata,  “Film ini ingin mengatakan, ini lo kekayaan alam Indonesia hasil jerih payah Sukarno, dan kenapa kok sekarang masih begini. Tentu saja yang paling mengasikkan adalah jika membayangkan reaksi  SBY presiden RI sekarang melihat film Sukarno presiden RI pertama.”

Harapan DOP itu bisa dijawab oleh SBY dengan membuat keputusan ala Sukarno, kembalikan kekayaan RI sekarang juga! Jika itu menjadi pilihan SBY. Maka suatu saat nanti Hanung jilid kedua akan memfilemkan dengan senang hati, karena Sukarno mirip SBY yang betul-betul dicintai oleh rakyatnya bukan bentukan tipuan iklan. Saya kira, Ini soal pilihan hidup, tapi jika SBY kekeh mengakhiri masa jabatan dan hidupnya tidak seperti Sukarno, maka SBY hanya dicatat dalam tanggal, hari, tahun, tidak lebih. Semoga saja SBY melihat dan berubah agar air mata Rachmawati terobati sempurna. (IRIB Indonesia)