Sains dan Metode Ilmiah

Metode ilmiah seharusnya rasional, dan memberi kita pengetahuan objektif tentang dunia. Mengatakan bahwa pengetahuan ilmiah itu obyektif berarti bahwa itu bukan produk dari kemauan individu, dan layak untuk dipercaya oleh semua orang, terlepas dari kepercayaan dan nilai-nilai yang di yakini.

Jadi, misalnya, jika itu adalah fakta objektif bahwa merokok menyebabkan kanker, atau bahwa semua logam mengembang ketika dipanaskan, maka itu harus diyakini oleh kaum ateis dan teis, konservatif dan liberal, perokok dan bukan perokok, semuanya harus rasional.

Tulisan ini akan meneliti tentang metode ilmiah, dimulai dari  “induktivisme Bacon”, yang merupakan penjelasan tentang bagaimana mengembangkan teori-teori ilmiah, hingga “Falsifikasi Popper”, yang secara khusus berkaitan dengan pengujian teori-teori ilmiah.

Bentuk induktivisme yang lebih canggih yang menggabungkan perbedaan antara konteks penemuan dan konteks pembenaran, dengan pandangan bahwa bukti dalam sains memang memberi kita alasan positif untuk mempercayai kedua teori ilmiah, dan generalisasi tentang perilaku masa depan dari hal-hal yang kita dapati berasal dari mereka. Induktivisme yang canggih, seperti Falsifikasi, berangkat dari induktifisme naif dengan memberikan peran penting pada faktor-faktor non-rasional dalam pengembangan ilmu pengetahuan.

Bagaimanapun, seperti yang telah kita lihat, para ilmuwan mungkin terinspirasi oleh agama, imajinasi, keyakinan metafisik atau bahkan oleh prasangka buta ketika mereka sedang mengembangkan teori baru. Karena alasan ini, konteks penemuan berada di luar domain rasionalitas.

Memang, pandangan yang diterima dalam Filsafat ilmu (anglophone) setelah Perang Dunia Kedua, yang disebut empirisme logis (kerabat dan penerus positivisme logis), memasukkan komitmen pada beberapa bentuk induktivisme canggih (sophisticated inductivism).

Salah satu pemikir empiris logis paling penting adalah Carnap, dan (berikutnya Lakatos 1968: 181). Kita dapat mengungkapkan perbedaan antara Hume, Popper dan Carnap sebagai berikut; Hume berpikir bahwa sains itu induktif dan irasional, Popper menganggapnya tidak-induktif dan rasional, dan Carnap menganggapnya induktif dan rasional.

Popper berpikir bahwa hal tersebut menunjukkan bahwa konfirmasi tidak mungkin, sementara Carnap dan Reichenbach berpikir bahwa itu bisa diselesaikan jika rincian formal dari logika konfirmasi yang tepat dapat dihilangkan. Popper tidak setuju dengan positivis logis (sedang di antaranya Carnap dan Reichenbach termasuk di dalamnya) berada dalam demarkasi antara sains dari non-sains.

Kaum positivis berusaha untuk membatasi antara yang bermakna dan tidak bermakna, dengan menyatakan bahwa makna dari sebuah “ekspresi” sejauh dapat dapat dikonfirmasi. Pada pandangan ini, makna ungkapan seperti ‘suhu gas adalah 100 ° Celcius’ didapat  secara mendalam oleh spesifikasi kondisi eksperimental yang perlu terjadi agar seseorang dapat membenarkan kebenaran pernyataan itu (misalnya, bahwa jika termometer bersentuhan dengan gas, akan menunjukkan tulisan yang sesuai).

Kriteria demarkasi Popper tidak menyangkut “makna” karena ‘ada angsa hitam’  yang sangat berarti walaupun tidak dapat Falsifikasi. Namun, meskipun ada perbedaan pendapat yang penting ini, ada juga banyak pandangan tentang sifat ilmu pengetahuan yang dimiliki oleh Popper, para positivis logis dan para empiris logis, diantaranya:

1) Sains bersifat kumulatif. Dengan kata lain, para ilmuwan membangun prestasi para pendahulunya, dan kemajuan sains adalah pertumbuhan yang stabil dalam pengetahuan manusia tentang dunia. Masa depan sains ini sangat kontras dengan kegiatan lain, seperti seni, sastra, dan filsafat, yang progresif dalam pengertian jauh lebih kalah dan kontroversial.

(2) Sains disatukan dalam arti bahwa ada satu seperangkat metode fundamental untuk semua ilmu pengetahuan, dan dalam arti bahwa ilmu alam paling tidak pada akhirnya dapat direduksi menjadi Fisika. Reduksionisme sekarang sangat kontroversial tetapi idenya adalah bahwa, karena segala sesuatu di dunia terbuat dari bahan dasar yang sama dalam kombinasi kompleks, hukum biologi harus diturunkan dari hukum kimia, dan hukum kimia dari hukum fisika .

(3) Terdapat perbedaan penting secara epistemologis, antara kontek penemuan dan kontek pembenaran. Bukti untuk pengetahuan ilmiah harus dievaluasi tanpa mengacu pada asal-usul kausal dari teori atau pengamatan tersebut; dengan kata lain, yang melakukan beberapa pengamatan khusus dan kapan teori diajukan dan oleh siapa karena alasan apa pun, tidak relevan dengan pertanyaan sejauh mana pengamatan memberikan bukti untuk teori tersebut.

(4) Terdapat logika yang mendasari konfirmasi atau Falsifikasi yang tersirat dalam semua evaluasi bukti ilmiah  untuk beberapa hipotesis. Evaluasi semacam itu bebas nilai dalam arti independen dari pandangan pribadi non-ilmiah dan kesetiaan para ilmuwan.

(5) Terdapat perbedaan tajam (atau adanya demarkasi) antara teori ilmiah dan sistem kepercayaan lainnya

(6) Terdapat perbedaan tajam antara istilah pengamatan dan istilah teoretis, dan juga antara pernyataan teoretis     dan yang menggambarkan hasil eksperimen. Pengamatan dan eksperimen adalah fondasi netral untuk pengetahuan ilmiah, atau setidaknya untuk pengujian teori ilmiah.

(7) Istilah ilmiah memiliki arti yang pasti dan tepat.

Tesis ini juga tersirat dalam konsepsi populer tentang sifat sains; namun, masing-masing dari mereka tampaknya berselisih dengan Filsafat ilmu Kuhn.

Sejarah Revolusioner Sains Kuhn:

Kuhn adalah seorang ahli fisika yang tertarik pada sejarah sains dan khususnya revolusi Copernicus. Pandangan standar yang ia temukan disajikan dalam buku-buku teks dalam karya-karya Sejarah dan Filsafat, dimana revolusi Copernicus, terutama argumen antara Galileo dan Gereja Katolik, adalah pertempuran antara akal dan eksperimen di satu sisi, dan takhayul serta dogma agama di sisi lain.

Banyak sejarawan dan ilmuwan berpendapat bahwa Galileo dan yang lainnya telah menemukan data eksperimental yang tidak konsisten dengan pandangan Aristotelian tentang kosmos. Kuhn menyadari bahwa situasinya jauh lebih kompleks, dan dia berargumen bahwa sejarah revolusi ini dan lainnya dalam sains tidak sesuai dengan induktivisme pada umumnya dan Falsifikasionisme sebagai metode ilmiah.

Kuhn dalam bukunya “The Structure of Scientific Revolution (1962)” menawarkan cara berpikir yang sangat berbeda tentang metodologi dan pengetahuan ilmiah, dan mengubah praktik sejarah sains. Filsafat sainsnya telah memengaruhi lingkungan akademik dari teori sastra hingga managemen sains, dan ia tampaknya satu satunya yang menggunakan kata ‘paradigma’ secara luas.

Kuhn berpendapat bahwa banyak catatan ilmuwan tentang subjek sejarah sangat menyederhanakan dan mendistorsi fakta tentang perkembangan dan perubahan teori. Seringkali hal ini karena ringkasan evolusi suatu disiplin dimaksudkan untuk memotivasi dan membenarkan teori-teori kontemporer, daripada untuk kepentingan setia pada kompleksitas sejarah.

Kuhn membandingkan hubungan antara sejarah buku teks sains dan apa yang sebenarnya terjadi pada hubungan antara buku panduan wisata dan seperti apa negara dan budayanya. Jelas buku pedoman ini fokus pada aspek tempat yang ingin dipromosikan oleh industri pariwisata, seperti museum, budaya kafe yang unik, dan mengecilkan seluruh aspek yang lebih suka diabaikan, seperti bangunan yang terlantar dan hostel untuk para tunawisma.

Meskipun kisah Copernicus dan revolusi ilmiah lainnya sering diceritakan sebagai kemenangan akal eksperimen atas takhayul dan mitos, Kuhn berpendapat bahwa: ‘Jika kepercayaan yang ketinggalan zaman ini disebut mitos, maka mitos dapat dihasilkan oleh jenis metode yang sama dan dimiliki untuk alasan yang sama yang sekarang mengarah pada pengetahuan ilmiah ‘(Kuhn 1962: 2).

Oleh, Muhammad Ma’ruf-Peneliti Pemikiran Barat dan Islam