Tanggapan Tulisan Dr. F Budi Hardiman

Menarik membaca tulisan Dr. F. Budi Hardiman dimuat di Kompas, Jumat 6 Januari 2017. Tulisan berjudul “Kesalehan dan Kekerasan“. Saya tertarik untuk menanggapi karena berkaitan dengan dilema moral manusia dan Tuhan, serta artikulasinya dalam wilayah privat dan publik.

Bagaimana menempatkan kesalehan privat dan publik dalam hukum modern, bagaimana memahami perintah Tuhan yang absolut, bagaimana mungkin membela Tuhan? Bukankah Tuhan yang dibela berarti Tuhan yang lemah?. Jika aksi radikalisme dan terorisme dilakukan karena perintah Tuhan, Bagaimana mungkin Tuhan memerintahkan berbuat jahat? Lalu bagaiman mungkin seorang yang keseharianya religius (taat agama), kemudian melakukan tindakan terorisme?

Sebelum menanggapi tulisan ini, ada baiknya mengamati dengan sudut pandang yang lain, apa yang dimaksud dengan Kesalehan dan Kekerasan. Kesalehan (istilah agama Islam) bisa identik dengan kebaikan (umum), kesalehan setidaknya memiliki tiga karakter, pengetahuan, niat dan perbuatan. Seseorang bisa dikatakan soleh secara sempurna, bila memiliki niat karena Allah dan hati yang tulus, memiliki pertimbangan karena perintah Allah sesuai dengan hukum akal (saling mengokohkan), juga dilakukan dengan aksi perbuatan, baik secara individual (hubungan vertikal dengan Allah; dzikir, shalat, membaca al-Quran dll ) dan sosial (hubungan antar manusia).

Sedang kekerasan bisa bermakna positif, jika dimaknai sebagai ketegasan, bagi pelanggar hukum agama dan hukum positif. Ketegasan juga bagian dari kasih sayang Allah, menghukum bagi yang melanggar karena perbuatan kealpaana manusia, memberi ganjaran bagi yang tidak taat. Baik hukum agama (Tuhan) dan hukum modern (manusia) diperlakukan sama dalam hal reward and punishmen. Bedanya tempat pelaksaan, absolut di tangan Tuhan di akherat, dan absolut di tangan manusia dan Tuhan (religius-sekuler) atau absolut di tangan manusia (sekuler).

Kesalehan dan Kekerasan, yang di tulis Prof F Budi Hardiaman, sepertinya maksudnya untuk menembak relasi Islam dan Kekerasan dalam bentuk yang lebih halus. Dua istilah ini, banyak dipakai dan tidak bisa lepas dari imbas dari presepsi yang dibangun media dalam mengkover kegiatan terorisme yang dilakukan oleh sebagian kelompok muslim.

Kegitaan terorisme ini menguat setidaknya beruntun paska invasi AS ke Afghanistan, Irak, Suriah, dan berimbas pada negara Eropa pada era sekarang. Variabel luar ini ikut membentuk tindakan terorisme, tetapi sayang sekali hampir jarang dipakai dalam menganalisa tindakan terorisme kontemporer. Akibatnya tentu saja, tidak ada pemahaman utuh, dan kejernihan dalam memilah, mana teroris yang murni akibat akses ilmu agama yang salah, mana teroris yang difasilitasi pihak luar untuk mempraktekkan ajaran yang salah tersebut. Sudah barang tentu teroris yang salah dalam mengakses ilmu agama yang benar, salah menganalisa pihak luar, karena posisi teroris dan pihak luar, seperti raja dan budak.

Disamping itu pengamat terorisme yang hanya mengamati jenis terorisme karena akses ilmu agama yang salah, enggan memperhatikan faktor luar, justru menyuburkan tindak terorisme, karena penyokong utama dibiarkan memanipulasi informasi dan kebenaran, sedang sang teroris tidak disadarkan dan jadi bulan bulanan media dan pengamat. Hemat penulis, kalau mau menjadi pengamat objektif, salahkan raja (penyokong) dan budak teroris (pelaku), dari situ akan nampak media tidak hanya menjadi pelayan informasi (pembentuk presepsi), tapi juga mencerahkan, karena sampai pada akses kebenaran (data yang utuh).

Analisa dan Respon Tek
Diantara beberapa butir pemikiran Prof. Dr. F Budiman yang diajukan kepada kita semua yang tercermin dalam beberapa paragraf, layak untuk kita renungi di negara Indonesia yang majemuk ini.

Awal artikel, penulis menulis demikian, “Akal sehat membantah bahwa kekerasan dapat muncul dari kesalehan. Orang yang saleh mustahil melakukan kekerasan, dan pelaku kekerasan pastilah tidak saleh”. Menurut hemat kami, perlu diberi batas apa yang dimaksud kekerasan, jika kekerasan dilakukan dalam kontek tindak terorisme, menghilangkan nyawa tak berdosa dan melanggar semua aturan agama dan hukum positif, sudah pasti masuk kategori “tidak saleh” pada saat melakukan tindak terorisme, tetapi jika ditemukan kesalehan sebelum melakukan tindak terorisme, maka sifat kesalehan yang dulu tidak gugur. Dulu saleh (baik) tapi setelah jadi teroris jadi tidak soleh (jahat). Sedang itung-itungan keadilan amal saleh, tentu saja kita serahkan pada pengadilan Tuhan kelak.

Akal sehat kita mengatakan, kekerasan (ketegasan) bisa muncul dari kesalehan yang tepat, misalnya dalam kontek perang Diponegoro melawanan Belanda, maka Diponegoro tepat jika disebut memiliki kesalehan ( religius), dan tentu saja dari sisi Belanda- Diponegoro diakui sebagai pemberontak yang saleh (motif agama). Diponegoro melakukan tindakan perang melawan Belanda didasarkan atas perintah Tuhan. Pilihan Diponegoro tidak melawan akal sehat meskipun dia memobilisasi rakyat atas dasar jihad (perintah Tuhan). Diponegoro tentu saja melakukan jihad atas dasar semangat religius dan murni karena perintah Tuhan itu baik dan mungkin juga tidak kepikiran apakah perbuatan tersebut baik karena akal sehat mengatakan demikian (dilema moral manusia dan Tuhan). Minimalnya jika semut diinjak akan menggeliat, apalagi ditindas secara masal, nurani ini dimiliki oleh semua manusia.

Jika kita melihat sosok Diponegoro yang saleh dalam jihad melawan Belanda, maka kemungkinan kecil kita akan menganalisa, bahwa Diponegoro mempunyai motif berambisi berkuasa (the will to power) dan menyangsikan akal sehat serta kesalehan Diponegoro. Jadi kesimpulanya, Diponegoro seorang saleh, mempunyai iman yang kuat, taat perintah Tuhan Yanga Absolut dan bisa jadi tidak menggunakan akal untung rugi, mengingat persenjataan Belanda lebih modern dan canggih. Tetapi akal sederhana Diponegoro mengatakan, nasib manusia terutama di Jawa akan rusak selamanya jika dia tidak terpanggil untuk memimpin jihad.

Problem Filsafat Moral dan Agama
Prof. F Budi Hardiman mengajak kita untuk merenungkan, statemen Plato, dikatakan; “ Lebih dari dua milenium yang silam, Plato, filsuf yang hidup di tengah politeisme Yunani Kuno telah menulis problem ini. Dalam dialog Euthypro, lewat mulut Socrates, ia mengajukan pertanyaan yang termashur, ; “Apakah orang saleh dikasihi dewa-dewa karena ia saleh, atau ia saleh karena dikasihi dewa-dewa?,.

Dengan perkataan lain, suatu tindakan moral dikatakan baik karena tindakan itu baik atau karena Tuhan bilang itu baik? Dengan kata lain apakah manusia mempunyai wilayah otoritas untuk mendefinisikan dan nuraninya mengatakan tindakan sesuatu itu dikatakan baik atau buruk?. Atau ukuran perbuatan baik dan buruk absolut di tangan Tuhan?.

Dalam teologi Islam, ada beberapa berpendapat, suatu perbuatan dikatakan baik atau buruk tergantung pada apa kata Tuhan. Ada juga yang berpendapat, bahwa akal bisa mengidentifikasi perbuatan baik dan buruk, dan juga nurani yang beragama dan tak beragama sekalipun mempunyai wewenang untuk mengatakan perbuatan baik dan buruk, hampir sama dengan Imanuel Kant, bedanya menurut Kant, pengetahuan tentang Tuhan tidak bisa diakses dengan 12 kategori. Pendapat kedua didasarkan kepada Filsafat Kenabian, bahwa wahyu datang memiliki tugas diantaranya; pertama, mengisi kekosongan hukum, kedua memperluas hukum, ketiga menjernihkan hukum akal, dan keempat, mengokohkan hukum akal.

Sehingga jika kita menggunakan pendapat kedua, maka seyogyanya tidak ada ganjalan lagi kenapa Tuhan harus dibela?, tentu yang dibela nilai Tuhan yang sesuai dengan akal dan nurani manusia, tidak ada kontradiksi antara wahyu dan akal, karena saling mengokohkan dan mengisi. Juga Tuhan tidak perlu di personifikasi sehingga jika membela Tuhan, berarti kesimpulanya Tuhan lemah.

Jalanya Filsafat Kenabian akan terus menanjak seiring denga kedewasaan akal manusia yang semakin matang-tanpa diinterupsi oleh munculnya sekulerisme seperti yang terjadi pada masa pertengkaran pihak gereja dan ilmuan pada abad pertengahan. Wahyu dan akal saling kontradiksi.

Sedang, dua paragraf terakhir Prof. F Budi Hardiman menutup dengan definisi kesalehan; “Kesalehan manusia mestinya lebih merupakan pengakuan akan keterbatasanya di hadapan yang tak terbatas daripada sebuah klaim pengetahuan final tentang perintah Tuhan. Sebagai makhluk terbatas, orang saleh sadar masih mencari kebenaran”. Definisi ini saya setuju, hanya saja perlu diperkuat, kesalehan sifatnya berderajat. Ada level nabi dan wali, ada level dibawah keduanya. Level kesalehan baik pada wilayah privat (subjektif) dan publik (objektif) seharusnya padu dan harmonis dengan hukum modern.

Ketinggian kesalehan subjektif hanya bisa diukur dari sesama orang shaleh (wali), sedang kesalehan objektif, bisa diukur dari cara berinteraksinya dengan sesama manusia dan bagaimana memperlakukan hukum modern dan hukum agama.

Pada taraf puncak kesalehan subjektif, bisa juga dilihat dari indikasinya pada rampungya perjalanan spiritual manusia dalam menyerap sifat-sifat Tuhan hingga sampai pada kesiapan mengajak masyarakat untuk menyerap sifat-sifat keutamaan Tuhan untuk ditransfer pada sifat ( entitas jiwa sosial) warga negara modern. Sehingga karakter individu yang saleh menjadi agen transformasi kesalehan sosial.

Pada paragraf terakhir di tulis, “Perintah Tuhan memiliki kebenaran final, akan tetapi pemahaman manusia atasnya tak pernah selesai, juga tergantung intepretasi aliran-aliran, denominasi, sekte-sekte, jadi sebaiknya rilek saja agar tetap sehat dalam beriman”. Dalam kontek ini, terjadi dalam setiap agama, hanya saja identifikasi perintah dan larangan memerlukan keahlian khusus, dalam kontek Plato, idealnya agar keutamaan individu dan warga kota bisa diakses bersamaan, maka pemimpin wajib seorang Raja-Filsuf. Artinya seorang yang setidaknya mempunyai kemampuan setingkat dibawah nabi yang mampu memahami perintah Tuhan dengan benar (apa adanya). Akan tetapi dalam kontek Aristoteles, mungkin akses tersebut tertutup, karena diserahkan pada absolutise akal manusia (sekuler murni), sedang Tuhan di tempatkan pada wilayah yang sepi dari kerumunan urusan manusia.

Sebagai kesimpulan, menurut hemat saya, artikel Prof. Dr. Hardiman mencoba mencari relasi Kesalehan dan Kekerasan, mencari titik lemah dari klaim kesalehan-akibat dari gagalnya mempresepsi Perintah Tuhan. Hal ini betul, dalam Islam, kelompok yang gagal ini memiliki problem epistemologi, karena akses ke sumber wahyu terhalang oleh tek berita (hadis) yang bercampur baur dengan perkataan penguasa muslim yang ekpansif.

Mereka (teroris) menjadi besar dalam dua abad terakhir, karena dibesarkan oleh kelompok yang sama (ekpansif barat) hanya beda agama dan negara saja.

Olehkarena itu sebagai rekomendasi, untuk menciptakan kaum yang toleran dan inklusif di wilayah Indonesia yang majemuk, maka paramater istilah kesalehan (agama) perlu diganti menjadi “spiritualitas” karena lebih netral dan cocok dengan sila pertama Pancasila. Krisis manusia intoleran (literalis) dan sekulerisme ekstrim (watak imperialis) disebabkan diantaranya jauh dan kurang memahami spiritualisme. Spiritulitas bisa bermakna dan termanifestasikan pada “diri subjektif individual” dan “diri objektif sosial”.

Setidaknya ada lima pengertian spiritualisme; pertama, percaya pada alam lain ghaib (ruhani), sedang alam ghoib terpisah dengan alam fisik, kedua memahami alam ruhani dan memiliki hubungan dengan alam fisik, ketiga, alam ruhani adalah lebih tinggi daripada alam fisik, keempat, alam fisik adalah simbol dari alam ruhani, kelima, alam fisik adalah manifestasi dari alam spiritualitas. Kelima pengertian ini harus dipahami dan dipraktekkan secara holistik sehingga seorang spiritualis pasti pancasialis (negara) dan saleh (agama).

Dimuat di Parstoday/6/1/2017