Identitas Indonesia di Tengah Arus Arab Spring (Analisis Media)

Sebuah Makalah dalam Seminar Nasional-Identitas Indonesia di Tengah Arus Liberalisasi Politik, Ekonomi dan Politik, Universitas PGRI Semarang, 17/2/2016.

Abstrak

Melihat Indonesia seperti melihat aliran sungai-mengalir mengikuti pola ruas sungai. Kemanapun Indonesia melangkah dari segala aspek (ekonomi, politik dan budaya) tidak bisa terlepaskan dari pola gerakan Internasional. Apa yang terjadi di dalam negeri adalah hasil riak gelombang apa yang terjadi di luar negeri. Gelombang Arab Spring melanda negara-negara muslim Timur Tengah berpengaruh terhadap identitas nasional warga negara Indonesia.

Pertanyaan kemudian muncul, bagaimana Indonesia menjaga indentitas nasional (Pancasila) pada saat yang sama menjaga kepentingan nasioal. Lebih tajam lagi, pertanyaan politik dan hukum dalam paper ini adalah bagaimana merekonsiliasikan menjaga kedaulatan masing-masing negara dan menghormati hukum internasional ditengah gerakan geopolitik (Arab Spring) bagi warga negara Indonesia.

Gerakan Arab Spring yang semula ditengarai sebagai gerakan demokratisasi berubah menjadi perang sipil. Ada apa dengan gerakan ArabSpring sehingga sebagian warga negara Indonesia ikut berpartisipasi aktif mendukung salah satu blok, yang kemudian memuculkan keikutsertaan sebagian warga Indonesia bergabung dengan gerakan terorisme.

Posisi paper ini akan mengungkap kejanggalan-kejanggalan gerakan Arab Spring dan memaparkan dampaknya bagi krisis identitas warga negara Indonesia. Kemudian memberi beberapa rekomendasi dan usulan langkah-langkah yang harus diambil dalam rangka menjaga indentitas nasional (Indonesia).

Kata kunci: Identitas Indonesia, Arab Spring, Globalisasi

Latar Belakang Masalah

Arus Arab Spring melanda sebagian besar negara timur tengah dan Afrika menimbulkan dampak dunia Internasional, tidak terkecuali bagi Indonesia. Arab Spring merupakan gerakan yang pada mulanya di kenal media umumnya sebagai sebuah gerakan yang pada intinya mencita-citakan demokrasi bagi sebagian besar negara timur tengah yang memang dikuasai oleh pemerintahan diktator sejak paska perang dunia II.

Biasanya ketika wacana Arab Spring dibicarakan, merujuk pada waktu- dimulai sejak tahun 2010 hingga paper ini ditulis 2016 yang berlangsung dari Tunisia, Mesir, Libya, Suriah, Irak, Jordania, Yaman, Arab Saudi, Qatar, Bahrain, Oman.

Isu-isu yang berkembang beraneka ragam mulai dari pelanggaran hak asasi manusia, pergantian rezim, tuntutan keadilan ekonomi dan reformasi politik. Masing-masing negara memiliki kekhasan persoalan yang diangkat. Namun dalam perkembanganya hingga sekarang-gelombang Arab Spring yang semula memberi harapan bagi demokratisasi dan kesejahteraan lambat laun menimbulkan kepesimisan. Hal ini diakibatkan karena isu demokratisasi bergeser menjadi perang sipil.

Berikut ini penulis deskripsikan secara singkat tentang peristiwa Arab Spring yang terjadi di beberapa negara timur tengah yang semula untuk demokratisasi berbuah menjadi perang sipil yang berdampak bagi Indonesia-krisis indentitas nasional. Penulis sengaja mengambil kasus hanya tiga negara (Libya, Suriah dan Irak) dari sebagian besar negara timur tengah dan Afrika yang dilanda Arab Spring karena berdampak sangat besar bagi krisis identitas nasional Inonesia.

Libya

Kasus pergantian rezim Libya secara paksa, yang disponsori oleh intervensi NATO membuahkan kematian tragis bagi Muammar Ghadafi yang sudah berkuasa 40 tahun. Demo yang semula berupa tuntutan demokratisasi berubah menjadi perang sipil, antara pihak oposisi bersenjata dukungan Nato melawan pemerintahan sah Moammar Ghadafi. Hingga sekarang, pemerintahan di Libya diperebutkan oleh beragam faksi; kelompok ISIS, Ihwanul Muslimin, Dewan Nasional, dan suku-suku di Libya.

Penggusuran Ghadafi via intervensi NATO menimbulkan banyak pertanyaan dari berbagai kalangan karena secara ekonomi Libya terbilang makmur.

Dampak bagi bangsa Indonesia terhadap kasus Libya juga sempat menimpulkan pro dan kontra antara isu demokratisasi dan konspirasi NATO menjatuhkan Ghadafi secara paksa. Penolakan atas “humanitarian intervention” NATO pada kasus Ghadafi di ekspresikan oleh Cina, Rusia, Venezwela dan Iran sebagai bagian dari masyarakat internasional akan tetapi tidak di gubris oleh NATO dan USA.

Kematian yang tragis yang menimpa Ghadafi disesali oleh sebagaian masyarakat Indonesia, salah satunya Arifin Ilham. Bahkan aksi heroik Ghadafi, dipuji oleh Sutiyoso sebagai aksi yang gentel dari seorang prajurit. Kasus Libya menyisakan banyak kejanggalan dari sisi justfikasi “humanitarian intervention”, penghormatan bagi kedaulatan bangsa, dan hukum Internasional. Proses transisi dari diktatorisme menuju demokrasi tidak berjalan mulus-bahkan negara Libya menjadi negara gagal. Keadaan ekonomi Libya jauh lebih baik masa diktatorisme daripada masa sekarang. Libya menjadi pintu masuk bagi kasus setelahnya yaitu Suriah-kelompok-kelompok pemberontak di lapangan memilik banyak kesamaan ideologi takfiri dengan berbagai bentuk baru.

Suriah

Tuntutan pergantian pemerintahan Basar Assad yang sudah berkuasa 30 tahun oleh beberapa kelompok di Suriah, berubah menjadi perang sipil. Beragam faksi pemberontak yang semula mengusung kritik terhadap kedikatatoran Assad berubah menjadi perang sipil.

Genderang perang kelompok oposisi bersenjata di Suriah menimbulkan dampak serius bagi Indonesia-sebagian masyarakat Indonesia ikut berperang melawan Assad. Sekitar 500-800 warga Indonesia termasuk dengan anak istrinya ikut bergabung berbagai faksi pemberontak di Suriah. Agitasi yang terus menerus yang mengajak berjihad di Suriah menimbukan krisis identitas nasional Indonesia, pelanggaran hukum internasional dan pelanggaran pasal terorisme. Momentum ini diperparah dengan semakin banyaknya ujaran kebencian pada kelompok tertentu-salah satu kasus terparah adalah dengan pembunuhan satu warga syiah dan pengusiran warga syiah Sampang dari tanah airnya. Hingga paper ini di tulis warga Syiah Sampang masih dalam pengungsian.

Tidak hanya kelompok minoritas yang terkena dampaknya, kelompok besar seperti Nahdatul Ulama (NU)- ritus-ritus ibadah yang sudah mendarah daging di kalangan nahdiyin, mendapatkan serangan masif: tuduhan bidah, syirik, khurafat, kafir oleh kelompok wahabi-takfiri yang satu idieologi dengan sebagian besar pemberontak Suriah. Kelompok-kelompok takfiri di Indonesia ini menimbulkan krisis identitas sebagai bangsa, di satu sisi berideologi khilafah yang bertentangan dengan Pancasila, disisi lain ideologi ini juga cenderung destruktif terhadap kelompok-kelompok lain (intoleran).

Irak

Adanya intervensi AS ke Irak, tahun 2003, dengan alasan kepemilikan senjata pemusnah masal oleh rezim Sadam yang tidak terbukti-menjadikan Irak luluh lantak. Pembubaran partai Bath dan pergantian pemerintahan perdana Mentri oleh Nouri AlMaliki menimbulkan masalah hembusan isu penindasan terhadap sunni Irak. Momentum ini dimanfaatkan oleh AS dan Israel dengan menciptakan ISIS dengan mendeklarasikan Abu Bakar Baghdadi sebagai khalifah yang mengklaim kekuasaanya dari Irak hingga Suriah. Tentu saja dengan pendeklarasian ini, secara otomatis menantang secara militer pemerintahan sah Irak.

Sementara, dari pihak oposisi di Suriah bersenjata yang semakin lemah karena berperang melawan pasukan Assad menemukan momentumnya dengan adanya deklarasi ISIS. Lalu lintas para pemberontak dari Irak hingga Suriah terbentang. Banyak daerah dikuasai ISIS dikarena sumber pendanaan yang kuat.

Arus Arab spring yang melanda Suriahpun akhirnya seolah menjadi satu paket dengan Irak. Isu yang berkembang di Indonesia, ISIS melawan dua pemerintahan syiah. ISIS dianggap sebagai pahlawan oleh para pendukung khilafah di Indonesia. Masalahpun timbul, baiat terhadap ISIS menjamur termasuk di Indonesia. Krisis identitas terhadap warga Indonesia pendukung khilafah di Indonesiapun secara otomatis menguat. Satu sisi, seolah ISIS menjadi jawaban cita-cita khilafah yang mereka tunggu-tunggu, disisi lain mereka seolah lupa bahwa Indonesia berdasarkan Pancasila.

Ketiga negara yang dilanda Arab spring; Libya, Suriah, Irak sengaja dijadikan penulis sebagai pintu masuk untuk menjelaskan efek dilema bagi identitas nasional Indonesia. Dilema (problem identitas) tersebut dapat kami bagi beberapa poin;

Politik dan Hukum
1.1. Dengan adanya Arab Spring di ketiga negara tersebut, makin menguatkan masalah bagi organisasi Indonesia yang mencita-citakan khilafah. Diantaranya krisis iman (pribadi) vs krisis kebangsaan. Khilafah sebagai keingianan yang terus dipompakan dan menjadi ideologi secara otomatis berlawanan dengan negara RI yang berasaskan pancasila dan UUD 1945. Terjadi pertentangan dalam pikiran dan batinya- disatu sisi khilafah adalah kehendak Allah sesuai dengan hukum Tuhan sebagai penjamin penyelesaian segala masalah di dunia, berlawanan dengan hukum buatan manusia. Ketegangan ini bisa terus menguat seiring dengan justifikasi klaim-klaim kekhalifahan (ISIS).

Secara singkat, ketegangan yang tidak selesai antara dilema pertentangan hukum buatan Tuhan dan manusia akan menimbulkan efek buruk yang tidak terkendali dan rawan manipulasi.Ujungnya adalah krisis indentitas di bidang politik dan hukum Tuhan dan hukum buatan manusia.

Budaya
1.2. Arab Spring makin menguatkan ketegangan antara Islam dan pemusnahan budaya lokal. Pola fikir takfiri (gemar mengkafirkan) yang menimbulkan praktek penghancuran oleh ISIS terhadap tempat-tempat peradaban dan bersejarah, makam sahabat nabi, patung, artefak di Suriah dan Irak ikut mempengaruhi pola pikir masyarakat Indonesia. Sebagai contoh perusakan makam raja-raja Jogya. Praktek pembidahan, syirik, mengakibatkan ritus-ritus Islam nusantara seperti maulid, tahlilan, barjanji, ziarah mendapatkan serangan masif. Kasus yang paling parah adalah pengkafiran bagi pengikut syiah di Indonesia. Krisis ini menimbulkan krisis identitas budaya Indonesia.

Ekonomi

Arab spring tentu saja secara ekonomi berdampak pada ekonomi internasional dan nasional. Penguatan isu terorisme dan ISIS menyedot energi sehingga waktu yang seharusnya fokus pada pembangunan nasional menjadi terganggu. Sedang dampak nyata dari Arab Spring secara ekonomi bagi negara bersangkutan seperti Libya dengan dikuasainya sumber daya alam oleh anggota NATO. Sedang di Suriah dan Irak tempat-tempat minyak dikuasai oleh ISIS dan para pendukungya. Sementara bagi bangsa Indonesia dampak itu menimbulkan krisis identitas kedaulatan ekonomi. Pola ISIS dan NATO dalam penguasaan ekonomi secara paksa bukan contoh yang baik bagi kampiun demokrasi. Makin menguatkan tesis pola imperialism kluno yang berubah menjadi imperialisme modern. Bagi pendukung khilafah di Indonesia tentu menimbulkan krisis ambiguitas identitas kedaulatan ekonomi nasional dan hukum Internasional.

Demografi

Menurut hasil penelitian The Pew Research Center (2015) menyatakan 4 persen dari jumlah penduduk Indonesia atau 10 juta warga Indonesia adalah pendukung Khilafah. Data ini menimbulkan krisis demografi di Indonesia, dan momentum Arab Spring menjadi penyebab makin menguatnya jumlah tersebut. Terdata dua fakta, pertama jumlah pendukung Khilafah di Indonesia yang besar sedang mereka berada di negara berdasarkan Pancasila, kedua, momentum Arab Spring yang menciptakan solidaritas dari berbagai penjuru dunia untuk bergabung dengan NIIS di suatu wilayah yang pemerintahan sahnya masih berjalan di bawah naungan PBB (Hukum Internasional). Jumlah pendukung di Indonesia ini akan berpotensi semakin besar mengingat penyebaran ideologi tidak bisa dicegah sebelum tejadi pelanggaran pidana.

Melacak Pengertian Arab Spring

Setelah memaparkan pengaruh gelombang Arab Sring terhadap krisis identitas nasional, penulis kemudian akan mencari pengertian yang tepat mengenai Arab Spring. Pelacakan deskripisi yang benar mengenai Arab Sring ini akan sangat menentukan justifikasi akurasi dalam mendeteksi masalah sekaligus solusi dan rekomendasi yang tepat. Berikut beberapa pengertian mengenai Arab Spring;
1.1. Pengertian Umum

Secara singkat pengertian Arab Spring merupakan gelombang kebangkitan bangsa Arab untuk merespon isu demokratisasi menghadapi diktatorisme yang melanda sebagian besar negara timur tengah. Pengertian ini di narasikan oleh media-media meinstreim Barat (CNN, CNBC, BBC, AFP, Reuter, The Guardian, dan Al-Jazeera (wakil media barat di timur tengah)
1.2. Dr. Jose Rizal, Pendiri Mer-C,

Arab spring adalah kebangkitan Arab dalam mencita-citakan berdemokrasi, akan tetapi di tengah jalan menjadi huru-hara. Arab Spring adalah bagian dari proyek Israel untuk melemahkan negara musuh yang berada di sekitar negara Israel. Sedang bagi AS adalah bagian dari usaha menguasai sumber daya alam.
1.3. Global Future Institute (GFI)

Salah satu peneliti Global Future Institute, Pranoto menulis, “Baik Revolusi Warna di jajaran Pakta Warsa, maupun Arab Spring yang menerjang kelompok negara Jalur Sutera, sejatinya serupa tetapi tak sama. Itulah pemaknaan mutlak yang harus dipahami bersama. Oleh sebab hampir semua gerakan memiliki ciri tanpa kekerasan (non-violent resistance), sangat berperannya Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), termasuk di dalamnya ialah kelompok pemuda serta mahasiswa sebagai ujung tombak. Barangkali perbedaan gejolak massa hanya pada waktu, tempat dan nama gerakan saja!.

Gerakan ini didukung oleh Amerika Serikat (AS) via Central Intellegent Agency (CIA). Didukung National Endowment for Democracy (NED), LSM “seribu proyek”-nya Pentagon yang dibiayai jutaan dolar per tahun oleh Kongres AS. Sementara CANVAS itu sendiri, sesungguhnya mata rantai atau “anak organisasi” dari NED. Canvas singkatan dari Center for Applied Non Violent Action and Strategies (CANVAS), pusat pelatihan unjuk rasa tanpa kekerasan. Menurut beberapa sumber, CANVAS telah melatih para tokoh demonstran di 37-an negara termasuk di antaranya ialah Korea Utara, Belarus, Zimbabawe, Tunisia, Mesir, Yaman, Bahrain, Suriah, Iran dan lain-lain. Inti dari deskripsi ini adalah menjelaskan bagaimana negara-negara imperialis menguasai sumber daya alam di negara-negara target (saluran pipa gas dan pasar minyak).” Selengkapnya http://www.kompasiana.com/mapranoto/ welcome-to-asia-spring_552fdd036ea83449558b45b3

1.4. Kebangkitan Islam dan Hukum Internasional

Arab Spring dimaknai sebagai gerakan tumbuhnya semangat umat Islam di kawasan timur tengah untuk menuntut keadilan di bidang politik dan ekonomi. Pengertian ini di dukung oleh media seperti Press TV. Oleh media seperti RT (Russion Today) berusaha memahami Arab Spring sebagai proyek imperialis dan mencoba untuk menggagalkanya dan mengembalikan pada narasi hukum Internasional.

Keempat pengertian Arab Spring diatas dapat dirangkum menjadi, sebuah gerakan terencana yang di pelopori oleh kekuatan Imperialis: AS, Nato da Israel untuk mengamankan (menguasai sumber daya alam (SDA) timur tengah dan melemahkan negara-negara (musuh) di sekeliling Israel. Oleh sebagian pihak ditentang dan mencoba di maknai dengan sentuhan Islam dalam bingkai penghormatan kedaulatan nasional dan hukum Internasional.

Deskripsi ini menurut penulis tepat karena jika semata sebuah peristiwa alamiah dan spontan murni karena isu demokrasi, pelanggaran HAM, korupsi maka tentunya negara-negara AS, Nato dan Israel akan mendukung tuntutan legal demokrasi (pemilu dll) dengan cara-cara demokratis, sedang aktor-aktor utama tersebut berpartisipasi aktif fokus pergantian rezim (Suriah) secara militer. Bahkan Israel secara langsung mendukung aktif pemberontak Suriah dengan mengobati teroris dan beberapa kali Israel mengebom Damaskus. Argumentasi lain adalah dukungan yang mutlak AS, Nato dan Israel terhadap negara-negara monarki teluk (Arab Saudi, Bahrain, Kuwait, Qatar) di tengah Arab Spring padahal negara-negara tersebut anti demokrasi.

Imbas Arab Spring terhadap Identitas Nasional

Sesuai dengan judu paper ini “Identitas Indonesia di Tengah Arus Arab Spring”. Maka yang perlu dipertanyakan adalah hubungan antara identitas Indonesia dan gejolak Arab Spring. Tentu untuk menjembatani kedua tema tersebut dibutuhkan pisau analisa dan mengelaborasi pengertian dasar dari dua tema tersebut.

Teori Identitas dan Globalisasi

Ditengah arus gelombang globalisasi, maka Indonesia sebagaimana negara lain harus mau berdialektika dengan arus perubahan dari luar. Untuk itu yang diperlukan adalah peta sikap identitas nasional dalam merespon pengaruh luar. Dalam kasus ini, bentuk globalisasi itu adalah peta geopolitik Arab Apring dan ciri khas identitas nasional Indonesia adalah lima sila yang terdapat dalam Pancasila. Dikarenakan negara-negara yang terkena imbas Arab Spring adalah negara muslim, dan salah satu aspirasi itu adalah adanya pemaksaan (secara militer) pendirian khilafah oleh kelompok-kelompok ekstrim maka imbas aspirasi tersebut hingga sampai ke tanah air.

Berikut penulis kemukaan beberapa temuan penelitian mengenai orientasi dan model sikap umat Islam dalam menghadapi arus globalisasi (geopolitik) yang terjadi di Inggris yang mememiliki karakteristik dengan muslim di Indonesia.

Orientasi Islamis/tradisionalis/modernis/sekularis;
1.A. Keberlanjutan Islam tradisional C. Percaya pada keberlanjutan Islam sebagai ideologi politik
1.B. Perubahan tradisi Islam D. Tidak percaya Islam sebagai Ideologi Politik

Model globalisasi untuk Perkembangan Identitas
1.A. Adaptasi Terhadap kebudayaan lokal C.Adaptasi terhadap kebudayaan global (transnasional)
1.B. Menolak Kebudayaan Lokal D. Menolak budaya global (transnasional)

Beragam Kategori globalisasi dan adaptasi terhadap Identitas
1.1. Islamis: Percaya Islam sebagai ideologi politik dan mendukung keberlangsungan Islam tradisional.
2.2. Modernis:Kombinasi keyakinanan pada Islam sebagai ideologi politik yang didukung oleh Islam tradisional
3.3. Tradisionalis: Tidak percaya Islam sebagai ideologi politik dan mendukung keberlangsungan Islam tradisional
4.4. Sekuler: Tidak percaya Islam sebagai ideologi politik juga tidak percaya keberlangsungan Islam tradisional
5.5. Hibrid: Menyerap budaya lokal (nasional) dan Internasional
6.6. Nasionalis: Berorientasi pada budaya nasional dan menolak budaya transnasional
7.7. Kebarat-baratan: menolak adaptasi budaya nasional dan mendukung adaptasi budaya transnasional
8.8. Tunawisma/Vagran: tidak menerima budaya nasional dan budaya transnasional

Identifikasi Kelompok Muslim Indonesia

Dari orientasi kategori dan adapatasi terhadap identitas diatas, maka jika di letakan dalam bingkai Indonesia maka akan muncul kelompok-kelompok yang disebut sebagai, kaum tradisionalis Nahdatul Ulama (NU), modernis (Muhammadiyah, Persis), dan sekuler. Sedang kelompok selanjutnya jelmaan khawarij modern (ISIS). Kelompok ekstrem ini (hanya percaya pada ideologi politik khilafah, hanya percaya pada ajaran Islam yang mereka pahami, tidak mau menyerap budaya transnasional dan lokal bahkan anti peradaban.

Sehingga yang menjadi problem identitas di Indonesia adalah kelompok ekstrem ini- dimanana makin menguat seiring dengan angin Arab Spring. Kelompok ekstrem ini tidak bisa beradaptasi dengan kontek lokal (Indonesia) dan sangat menyerap secara ektrem ideologi teror.

Identitas Indonesia dan Pancasila

Setelah memahami beragam orientasi kelompok Islam di Indonesia dan memetakan kelompok ekstrim, langkah selanjutnya mengetahui pengertian ideal identitas nasional Indonesia.

Identitas Indonesia adalah ciri khas yang terdapat pada Indonesia sebagai bangsa. Menurut Ir. Sukarno bapak pendiri republik RI (Rebuplik Indonesia) terdapat lima asas yang terdapat dalam Pancasila yang bisa mengaitkan dan menyatukan sekaligus sebagai identitas sebagai bangsa. Pertama, sebagai bangsa maka orang Indonesia memilik persamaan-percaya pada yang transenden (theis), kedua, sama-sama percaya pada nilai kemanusiaan universal, ketiga sama-sama percaya pada persatuan nasional, keempat sama-sama percaya bawa musyawarah sebagai cara menyelesaikan berbagai masalah- tidak didasarkan pada dekte mayoritas dan minoritas dan kelima, sama-sama percaya bahwa segenap bangsa mendambakan keadilan. Inilah secara singkat penjabaran ciri khas identitas Indonesia.

Kemudian yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana kelima identitas tersebut tetap terjaga sementara arus perubahan dari luar (globalisasi-Arab Spring) yang terdiri dari peristiwa politik, ekonomi dan budaya ikut mewarnai segala asek kehidupan bangsa. Disamping itu sebagai bangsa tentu memiliki ketahanan internal untuk menjaga kepentingan nasional. Ketahanan tersebut tentunya yang paling penting adalah penyegaran dan peneguhan fondasi negara kasatun RI yaitu ideologi Pancasila.

Pembentuk Identitas Muslim Indonesia dan Arab Spring

Sebelumnya telah dijelaskan lima unsur pembentuk identitas Indonesia (lima sila Pancasila). Selanjutnya kita elaborasi unsur pembentuk identitas muslim Indonesia. Unsur-unsur tersebut adalah pemahaman Islam (zaman nabi, Khalifah, Umayah, Abasiah, (Mongol, Ottoman, Safawi dan Moghul), periode tradisional menuju modern) digabungkan dengan pemahaman unsur yang membentuk identitas nasional Indonesia yaitu lima sila Pancasila.

Dalam perkembangan arus Arab Spring ini beberapa kelompok muslim Indonesia berdialektika dengan pemahaman agamanya sehingga membentuk tipikal pola orientasi berbagai kelompok Islam di Indonesia;

Proses dealiktika Identitas muslim Indonesia di tengah Arab Spring

NU

Dalam proses Arab Spring ini Nahdatul Ulama (NU) mengidentifikasi Islam nusantara (zaman walisongo bukan wali jenggot), mereka mengidolakan Islam yang ditebarkan dengan damai penuh rahmatallil’alamin, tanpa peperangan. Adapun jika ada peperangan, terjadi peperangan melawan kolonial. Kalangan NU gencar mengkampanyekan Islam nusantara untuk membendung pengaruh gerakan wahabi takfiri.

Tokoh-tokoh NU mengidentifikasi Arab Spring sebagai upaya pihak ketiga yang terus ingin menguasai sumber daya alam negara timur dan Indonesia, akan tetapi tidak mengkritik secara verbal dan keras pihak yang dimaksud. Misalnya tidak mengkritik secara keras AS, NATO dan Israel karena memang bukan agenda politik utama NU.

Kelebihan sikap politik sebagian tokoh NU sudah mengetahui apa yang sedang terjadi (Arab Spring) dan menjadikan wahabi (ideologi takfiri) sebagai common enemy tetapi tidak menjadikan AS, Nato dan Israel sebagai musuh utama.

Muhammadiyah

Kalangan Muhammadiyah terlihat satu barisan dengan NU dalam menyuarakan Islam moderat, hanya saja dalam menyosialisasikan Islam nusantara terkesan kurang percaya diri karena faktor sejarah terbentuknya Muhammadiyah yang memang bukan dari geneologi wali songo. Sebagai sikap politik, tokoh seperti Buya syafii Maarif mengkritik cara berpikir kelompok ekstrim (ISIS), pada saat yang sama mengkritik semua kubu yang sedang berkonflik dalam arus Arab Spring. Buya mengkritik keterlibatan Saudi Arabia dan Iran, cenderung menyalahkan kedua kubu tersebut, dan tidak secara tegas menjadikan AS, NATO dan Israel sebagai musuh utama.

Hal ini menjadi titik lemah jika dimasukan dalam agenda kerja Muhammadiyah, karena tone musuh bersama umat Islam dan Indonesia sangat penting. Jika dimasukkan dalam program organisasi Muhammadiyah, kejelasan sikap musuh bersama akan menjadi kekuatan politik umat.

HTI, PKS, Persis, FPI dan kelompok Ekstrem (Takfiri)

Sikap dari kelompok ini jelas mendukung pemberontak Suriah, sehingga satu kubu dengan ideologi Ihwanul muslimin, Wahabi takfiri dan Khawarif modern, AS, Nato dan Israel. Hanya saja ketika ISIS belakangan diluar kendali dengan tindakan anti-kemanusiaan, kelompok Islam di Indonesia terkesan tiarap dan menyelamatkan diri seiring dengan penangkapan anggota ISIS. Kelemahan dari kelompok ini adalah kesalahan dalam menetapkan musuh bersama umat Islam dan Indonesia- juga pemahaman ideologi khilafah yang labil yang tentu saja bertentangan dengan semangat kebinekaan Pancasila.

Syiah

Kelompok ini jelas terhitung kecil dari sisi jumlah, sehingga ini menjadi titik lemah dihitung dari kekuatan sikap politik. Sejak awal Arab Sring, kelompok syiah di Indonesia mengidentifikasi sikap politiknya sama dengan kebijakan politik Iran. Patronase ini tidak hanya karena faktor syiah itna Asyariayah (syiah 12 Imam) akan tetapi sikap politik luar negeri Iran yang mendukung kemerdekaan Palestina. Perang sipil yang dikobarkan oleh blok AS, NATO, Israel, Turki, Qatar, dibaca Iran sebagai pemotongan jalur perlawanan menghadapi Israel. Kelompok ini mengidentensifikasi Israel dan AS sebagai common enemy dan ideologi takfiri sebagai hal yang di manfaatkan oleh AS dan Israel.

Dalam mengidentifikasi Islam dan Pancasila, kelompok ini sangat dekat dan tidak jauh berbeda dengan kalangan NU, disamping itu ritus Syiah yang memang banyak kesamaan dengan NU.

Rekomendasi

Seiring dengan masih berlangsungnya Arab Spring, tentunya beragam kelompok Islam Indonesia akan terus berdialektika membentuk identitasnya- antara pemahaman agama Islam dan Pancasila.

Ketegangan intelektual ini akan terus berlanjut-dan jangan sampai ketegangan pemahaman ini mengalami sumbatan. Jika dibiarkan tanpa dialektika yang sehat maka akan riskan dimanfaatkan oleh perubahan gerakan dari luar (Arab Spring). Menurut hemat penulis, terdapat beberapa rekomendasi yang bisa dimanfaatkan secara bersama dalam rangka pembentukan proses identitas nasional yang terus berlangsung.

Aspek Individu (Teologi)

Pada level individu maka setiap warga indonesia terutama yang sudah terlanjur “demam” khilafah, harus berinisiatif secara cepat merekonsiliasikan antara identitas agama dan identitas negara. Ketegangan taklid (agama) dan pemahaman pancasila harus didialogkan. Karena basis persoalan ISIS dan khilafah ini ada pada pemahaman tauhid, maka persoalan tauhid harus didialogkan secara terbuka.

Akibat pemahaman dangkal antara tauhid dan khilafah mengakibatkan reduksi agama secara besar-besaran. Tauhid disimbolkan dengan hanya menunjuk telunjuk dan khilafah dengan bendera hitam. Padahal sejatinya- tauhid adalah persoalan ushuluddin dan tema khilafah adalah turunan dari pemahaman ushuludin.

Salah satu cara termudah memediasi identitas agama dan pancasila adalah dengan mendialogkan lima prinsip ushuluddin dengan lima sila pancasila.

Tauhid dan Sila Pertama

Penjabaran dan pemahaman tentang keesaan dan kemurnian tauhid tidak boleh hanya didasarkan pada tokoh utama seperti Abdurrohman Bin Abdul Wahab dan Ibnu Taimiyah. Kedua tokoh ini harus diperlakukan sebagai salah satu sumber tafsir saja tentang tauhid. Sehingga efek-efek pengkafiran, pensyirikan, penghancuran tempat-tempat makam, dan tempat bersejarah bisa dihindari. Maka dengan membuka referensi selain kedua tokoh tersebut maka pikiran akan menjadi terbuka. Singkat kata haruslah belajar tauhid dari tafsir selain kedua tokoh tersebut, termasuk tokoh-tokoh yang dikafirkan oleh kedua tokoh tersebut.

Proses ini tentu saja memakan waktu karena bagian pendewasaan umat memang butuh waktu. Jika persoalan tauhid (bagian dari proses beriman) dicari jawabanya di akal, maka terbuka kemungkinan untuk memahami tauhid selain non muslim. Makna tauhid beragam; tauhid dalam dzat, sifat dan perbuatan. Tauhid tidak hanya dipahami satu Tuhan dan diekpresiakan dengan kalimat menegakkan kalimat Allah-berteriak Allah Akbar sambil membawa bendera hitam, bertuliskan syahadat. Benar bahwa Muhammad pertama kali membawa misi tauhid, namun pemaknaan tauhid harus berlandaskan pada kebebasan manusia dan keadilan. Puncak kebebasan adalah menjadi hamba Tuhan, dan menegakkan keadilan. Namun salah besar bahwa menegakkan kalimat tauhid mutlak dipahami hanya mendirikan negara khilafah.

Setelah membuka cakrawala aneka pendekatan tafsir tauhid, kemudian merekonsialisasikan dengan buyi sila pertama-Ketuhanan Yang Mahas Esa. Ketuhanan Yang Maha Esa menyiratkan negara Indonesia negara yang memang bukan berlandaskan pada agama tertentu, melainkan negara berlandaskan pada Ketuhanan. Inilah poin penting dan keistimewaan Indonesia. Negara berlandaskan kepercayaan akan Tuhan. Modal kepercayaan ini selanjutnya dipahami bagaimana terejawantahkan secara bersama dengan agama lain.

Langkah berikutnya, merekonsiliasi penjelasan satu Tuhan versi agama wahyu monoteisme (Islam, Kristen dan Katolik) dan dengan spiritualitas agama Hindu, Budha dan Konghucu.

Bagi tafsir agama monoteisme, kal harus bisa menemukaan jawaban tentang keberadaan Tuhan dan Tuhan yang satu, karena kemuskilan adanya dua Tuhan dalam pemeliharan alam semesta.

Lalu kemudian melangkah selanjutnya bahwa pengejawantahan kemurnian tauhid itu bersifat eksistensial (pengalaman pribadi) yang didialogkan dengan pemahaman tauhid-hasil dialektika konten pengetahuan dengan riyadoh (laku spiritual). Bentuk ekpresi kemurnian tauhid tidak sesederhana mengkontraskan perilaku yang dianggap musrik: menilai orang menyembah berhala (berdoa dan makan di kuburan), meminta bantuan orang meninggal (ziarah), merusak makam dan situs peradaban yang dianggap berhala, kemurnian tauhid diwujudkan dengan baiat pada khilafah palsu. Bahkan perbuatan tersebut bisa jadi malah wujud dari ketidakmurnian tauhid karena berpikir yang murni tauhid dipahami hanya didasarkan praduga (penghakiman-kamu kafir, bidah, dll). Pemurnia tauhid adalah dengan proses tasbih dan tanzih).

Kenabian dan Sila kedua

Adanya penurunan para nabi oleh Tuhan dan terkhusus nabi Muhammad tentu saja membawa misi untuk segala lapis umat. Hal ini membawa misi Islam pada kemanusiaan yang universal persis seperti misi sila ke dua, kemanusiaan yang adil dan beradab. Perbedaanya hanya pada sumber saja, yang pertama dari Allah yang kedua dari kesepakatan ideologi manusia. Jika misi keduanya sama (Tuhan dan manusia) seharusnya kedunya tidak perlu dipertentangkan dan seharusnya membangun ruang rekonsiliasi dan dialog.

Kepemimpinan dan Sila Ketiga

Islam memberi pesan persatuan pada umatnya, dan salah satu syarat persatuan adalah adanya kepemimpinan satu yang adil hasil gabungan; yang ditunjuk oleh Tuhan dan pilihan manusia (demokrasi religious). Begitupun bunyi sila ketiga, persatuan Indonesia artinya tanpa persatuan dari aneka perbedaan, Indonesia akan hancur. Baik Islam maupun Sila ketiga sama-sama memberi pesan persatuan dibawah satu managemen kepemimpinaan (demokrasi religious).

Kebangkitan dan Sila Keempat

Islam percaya pada hari kebangkitan-alam akherat. Segala tindakan apapun akan berbuah baik dan buruk di akherat. Jika tanpa kepercayaan akan hari kebangkitan, maka segala perbuatan jahat di dunia tidak bisa dipahami. Dalam sila keempat berbunyi, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijakan dalam permusyawarakatan dan perwakilan. Artinya Pancasila memberi tenaga positif bahwa segala persoalan bangsa akan diselesaikan oleh para wakilnya (demokrasi) dengan bimbingan ilmu hikmah. Karena satu-satunya sumber hikmah tertinggi dari Tuhan, maka Islam mendukung kebijakan keterwakilan manusia dengan bimbingan Tuhan.

Keadilan dan Sila Kelima

Islam memberi pesan keadilan dan Tuhan berbuat adil pada umatnya. Meski kondisi manusia dalam keadaan cacat fisik, tetap penciptaan Tuhan Maha Adil. Segala perbuatan manusia baik jahat dan baik akan diadili di akherat. Inti dari misi Muhammad, diawal penciptaan Tuhan Maha Adil dan sebelum kiamat Tuhan akan memberi kemenanagan pada pembawa panji keadilan. Baik Islam dan sila kelima sama-sama mencita-citakan keadian.

Aspek Sosialogi (Geopolitik)

Disamping upaya dialektika teologi dan Pancasila yang bersifat individual, tentu juga harus diupayakan pengasahan kemampuan membaca peta ekonomi politik global secara terus menerus. pada saat yang sama mendialektika dan menyegarkan semangat cita-cita Pancasila-kemandirian ekonomi, politik dan budaya. Upaya ini telah disampaikan secara terbuka dalam ceramah-ceramah dan seminar seperti beberapa tokok NU: Hazim Muzadi Dr. Agus Sunyoto, Said Agil Siroj dan Gus Nuril.

Seperti peringatan Dr.Agus Sunyoto yang mengatakan; negara Indonesia bisa hilang, Indonesia yang berdasarkan negara bangsa (nation state) dengan cita-cita terciptanya yang adil dan makmur bisa hilang karena globalisasi. Indonesia terjepit diantara arus global liberalisme dan sosialisme. Penjajahan dahulu kelihatan secara fisik tetapi selanjutnya kolonialisme berbentuk neo-imperialis dalam bentuk globalisasi.

Sunyoto memandang harus hati-hati terhadap ide globalisasi, karena arah dari globalisasi (neokolim-neokolonialisme-penjajahan model baru) adalah keunggulan dominasi kulit putih barat. Salah satu gejalanya adalah, pengkosongan kolom KTP (Kartu Tanda Penduduk), penggunaan bahasa Inggris sebagai bahasa wajib Internasional dan tentu saja arus Arab Spring.

Sunyoto menyarankan penguatan pada pendidikan di pesantren untuk menahan arus globalisasi. Dia mencontohkan, Partai Husbul Haq Rusia yang mendapatkan suara 25 juta-salah satu kuncinya adalah menjaga tradisi. Bangsa Philipina kata Sunyoto tidak ada pesantren, maka identitas muslim akhirnya hilang. Wacana-wacana jauh kedepan inilah yang perlu diupayakan di negeri ini oleh para tokoh selain NU.

Disamping itu tentu saja dibarengi dengan kebijakan. Seperti perlu adanya rekomendasi penangaanan terorisme dengan penguatan kebijakan luar negeri dengan menambah anggaran kebijakan timur tengah. Menurut total anggaran Dirjen Asia Pasifik hanya sebanyak Rp. 185.4 miliiar dalam APBN (2013). Pemantapan hubungan luar negeri di Timur Tengah hanya mendapatkan alokasi 3.9 M. Anggaran Asia Pasifik dan dan Afrika APBN 2016 turun menjadi 59.2 miliar. Perwakilan jumlah staf kawasan Timur Tengah (tidak termasuk Turki) dan Negara-negara Afrika Utara diperkirakan hanya 115 orang. Seharusnya ada penambahan jumlah anggaran dan staf dikarenakan pekerjaan yang komplek politik luar negeri Indonesia, seperti dampak Arus Arab Spring yang hingga sekarang masih panas.

Daftar Referensi;

Buku dan Tulisan

Reza Ameli Saied Globalization, Americanization and British Muslim Identity, , Islamic College for Advanced Studies Press (ICAS), 133 Hight Road, Willesden, London NW10 2 SW

Blum William, Ekpor Amerika Paling Mematikan, Mizan Media Utama, 2013

Adjie Suradji, opini Kompas, RABO, 3/2/2016, “Ancaman Terorisme Generasi Baru”

Data internet

ttps://id.wikipedia.org/wiki/Pakta_Pertahanan_Atlantik_Utara

https://dinasulaeman.wordpress.com/2011/09/22/perampokan-a-la-nato/ http://www.theglobal-review.com/content_detail.php?lang=id&id=6297&type=1#.VrCMVbIrLIV

http://www.theglobal-review.com/content_detail.php?lang=id&id=6297&type=1#.VrCMVbIrLIV

Status Muhammad Arifin Ilham tentang Qoddafy

http://www.kompasiana.com/mapranoto/mencermati-pola-kolonialisme-di-syria-dan- mesir_552846d8f17e61ab358b4570http0

http://news.liputan6.com/read/2318131/bnpt-500-wni-tercatat-gabung-isis-di-suriah

http://dunia.tempo.co/read/news/2013/03/20/118468110/satu-dekade-invasi-amerika-serikat-ke-irak

http://internasional.kompas.com/read/2016/01/04/22003321/Trump.Menuding.Hillary.dan.Obama.Ciptakan.ISIS

http://nasional.tempo.co/read/news/2015/10/29/078714219/syafii-maarif-terorisme-hancurkan-peradaban-islam

http://www.harianjogja.com/baca/2013/09/20/makam-cucu-sultan-hb-vi-dirusak-tak-ada-pengamanan-ekstra-di-makam-raja-raja-mataram-imogiri-449281

sumber : https://id.wikipedia.org/wiki/Kebangkitan_dunia_Arab

Selengkapnya:http://www.kompasiana.com/mapranoto/welcome-to-asia-spring_552fdd036ea83449558b45b3

http://www.kompasiana.com/mapranoto/welcome-to-asia-spring_552fdd036ea83449558b45b3

http://www.antaranews.com/berita/436733/rumah-sakit-israel-terima-banyak-teroris-terluka-dari-suriah

https://id.wikipedia.org/wiki/Globalisasi

Globalization, Americanization and British Muslim Identity, Saied Reza Ameli, Islamic College for Advanced Studies Press (ICAS), 133 Hight Road, Willesden, London NW10 2 SW, hal: 284

http://www.muhammadiyah.or.id/id/content-44-det-tentang-muhammadiyah.html

https://www.youtube.com/watch?v=rK2f4GZuZdw

Agus Sunyoto, Sarasehan nasional, https://www.youtube.com/watch?v=CIjVRGDeM4I

Gus Nuril, “Pengajian GUS NURIL Terbaru HTI PKS dan FPI Ceramah KH Nuril Arifin 2015 Full Tentang Aliran Agama”

https://www.youtube.com/watch?v=rK2f4GZuZdw

http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/tasawuf/12/03/27/m1j8mk-antara-tanzih-dan-tasybih-1

https://www.youtube.com/watch?v=eUNEffANG_8

TV 9, https://www.youtube.com/watch?v=-cwOurSRzIs

http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/tasawuf/12/03/27/m1j8mk-antara-tanzih-dan-tasybih-1

Submit a Comment