Etika Tubuh dalam Islam

“Akan selalu ada pasien yang mendesak dan membutuhkan organ tubuh untuk memperpanjang hidup, pun akan selalu ada orang miskin yang menjual organ tubuhnya untuk bertahan hidup,  kehidupan begitu bermakna pada kedua kondisi kritis ini”

Ragam Fatwa Cangkok Organ

Sains biologi dan kedokteran terus mengalami perkembangan, keduanya terfokus pada tubuh manusia sebagai subjek kajian. Perdagangan organ tubuh berkembang dipicu oleh permintaan cangkok organ di banyak rumah sakit menimbulkan berbagai ekses negatif. Orang kaya terus mengekploitasi organ tubuh kaum miskin dengan jalan menculik. Hal ini memicu dikeluarkanya fatwa pelegalan cangkok organ yang mempengaruhi hukum positif Islam di negara berpenduduk Muslim.

Pro kontra tentang pelegalan cangkok organ, mewarnai sejarah pembuatan fatwa seputar sejauh mana seorang muslim boleh memanfaatkan tubuh untuk kepentingan manusia. Ebrahim  Moosa memberikan contoh, ulama Pakistan  era 1960-1970 sebagian besar mazhab lingkungan Deoband, anak benua indo-Pakistan, menyatakan cangkok organ tubuh adalah haram.  Tahun 1989, akademia fiqih Islam India, mengeluarkan peraturan pada situasi ekstrim dan kondisi membahayakan kehidupan, seorang muslim boleh menerima cankok organ tubuh dan yang dijinkan adalah sumbangan organ dari orang hidup seperti ginjal, karena orang bisa hidup hanya dengan satu ginjal.

Menurut pandangan ulama Pakistan era 1960, pencangkokan organ tubuh bermasalah karena melanggar martabat manusia, dengan dasar tubuh manusia tidak bisa dikorbankan karena sangat bernilai dan tidak bisa disingkirkan begitu saja. Dalam waktu yang singkat pencangkokan organ bergeser menjadi pengobatan. Kemudian timbul upaya untuk menguji keabsahan pengobatan dalam kerangka fiqih, (1) keperluan primer (dharuri) dan (2) keperluan sekunder.

Keperluan primer adalah situasi yang membahayakan kehidupan, yang dinyatakan tegas oleh ahli medis. Pada konteks ini, ada diktum  hukum “keperluan menyingkirkan larangan” (al-dharurah tubihul-mahzurat). Kedua, tidak urgen (ghoir idthirari). Untuk penyembuhan keperluan sekunder tidak boleh melanggar larangan yang bersifat ekplisit dalam al-Quran, haramnya minum alkohol, bangkai, daging babi, dan darah. Jika pengobatan yan bersifat sekunder melanggar sumber otoritas  yang lebih rendah daripada al-Quran, maka penetapan itu masih bisa ditoleransi.

Beda lagi dengan fatwa fuqaha Mesir yang menyatakan, sebelumnya hukum belum pernah mengenal pencangkokan organ tubuh, dengan demikian secara alami ini menjadi sesuatu yang terbuka terhadap ijtihad. Setiap keputusan harus mempertimbangkan “kepentingan umum yang dominan” (ri’aya al-mashalih al-Rajihah). Fatwa ini mendekati dengan pendapat, jika tidak ada larangan, doktrin “kebolehan asali” (ibahah ashliyah) bisa ditetapkan pada pencangkokan organ tubuh. Pendapat ini didasarkan pendapat mazhab Syafi’i, Malik yang menyatakan, satu sosok tubuh seorang beriman tidak bisa dinyatakan rusak secara permanen baik hidup atau mati. Fatwa ini juga didasarkan pandangan bahwa menjaga nilai orang yang masih hidup dan kehidupan mereka adalah lebih diprioritaskan daripada menjaga nilai orang yang mati.

Biasanya, pencangkokan organ berasal dari mayat dan pendonoran organ dari orang yang masih hidup, akan tetapi sebagian besar pencangkokan sekarang terkait dengan kematian batang otak. Fatwa ini menyatakan secara eksplisit tidak boleh ada organ tubuh yang diambil kecuali kematian sudah ditentukan secara pasti dengan uji kematian konvensional berdasarkan uji  kinerja jantung dan paru-paru, pandangan mata yang menetap, lemahnya kaki, membengkoknya hidung, pelipis yang semakin menjorok kedalam dan pembengkakan kulit. Jika tanda bernafas, denyut jantung dan nadi masih ada, maka masih dinyatakan hidup.

Menurut Dewan Fiqih OKI (Organisasi Kerjasama Islam, dahulunya Organisasi Konferensi Islam), kematian otak sebagai definisi kematian menurut kriteria Islam, argumentasinya adalah karena tidak ada peraturan tertulis (nas) yang bisa memberikan panduan secara ekplisit, hal ini berada di wilayah yuristik penalaran (ijitihat).

Majelis Ulama Indonesia (MUI) menyatakan, hukum transplantasi atau cangkok organ tubuh diperbolehkan selama sesuai dengan ketentuan syariat. Sebaliknya, jika tidak memenuhi ketentuan syariat, cangkok organ tak boleh dilakukan. Ketentuan hukum mengenai cangkok organ tersebut tertuang dalam fatwa yang dikeluarkan MUI pada 2010. Fatwa tersebut menegaskan, pencangkokan yang diperbolehkan jika melalui hibah, wasiat dengan meminta, tanpa imbalan, atau melalui bank organ tubuh. Donor organ tubuh dari orang meninggal juga diperbolehkan dengan syarat kematiannya disaksikan dua dokter ahli.

Dalam kumpulan fatwa-fatwa jilid kedua Ayatullah al-Udzma Imam Ali Khameini menyatakan, tidak ada halangan membedah tubuh mayat jika hal itu mensyaratkan penyelamatan jiwa yang terhormat, atau mengungkapkan temuan baru berupa informasi penyakit dalam kedokteran yang diperlukan masyarakat.  Membongkar kuburan muslim tidak diperbolehkan kecuali jika diperlukan medis  yang sangat mendesak. Boleh mengambil organ orang yang masih hidup dengan ijin, tidak boleh mengambil organ orang yang masih hidup sehingga menyebabkan kematian, meskipun keterangan dokter menyatakan dia mati dalam waktu dekat.

Tubuh yang Mulia

Mungkin masa sekarang sudah tidak ada yang keberatan tentang cangkok organ, tetapi  melihat beragam fatwa seputar pencakokan organ tubuh baik dari tubuh orang hidup ataupun organ mayat adalah sebuah dinamika perkembangan kedokteran, dimana penyakit baru selalu muncul seiring dengan respon pengobatanya. Laju cepatnya perkembangan kedokteran, meniscayakan kecepatan pembuatan fatwa, sehingga ekses ekploitasi tubuh (kapitalisasi tubuh), seperti penculikan para gelandangan untuk di jual organ tubuhya bisa dihindari.

Garis besar fatwa berdasarkan pada pemuliaan dan penghormatan pada tubuh yang bernyawa maupun mayat. Makna pemuliaan ini bergeser setiap waktu mengikuti perkembangan kedokteran, urgensi nyawa seorang pasien harus diperjuangkan tetapi tidak sampai batas membahayakan nyawa sang pendonor. Perkembangan sains kedokteran dan biologi untuk tujuan kemanusiaan yang lebih luas tidak boleh terhambat karena pelarangan pembedahan mayat karena alasan pemuliaan mayat.

Perkembangan hasil fatwa dari ulama manapun seputar pemanfaat tubuh untuk tubuh manusia, secara fiqih harus bisa menjawab kebutuhan kedokteran tanpa kehilangan pesan al-Quran. Sains harus terus berkembang dan membawa maslahat, begitu juga selamanya tubuh seorang muslim adalah terhormat dan tetap terjaga baik ada nyawanya maupun tidak. Akan selalu ada pasien yang mendesak membutukan organ tubuh untuk memperpanjang hidup, pun akan selalu ada orang miskin yang menjual organ tubuhnya untuk bertahan hidup,  kehidupan begitu bermakna pada kedua kondisi kritis ini.